Revolusi Doa dari Vatikan untuk Perdamaian
Oleh: Riduan Situmorang
Sebagai tindak lanjut dari kunjungan tiga hari Paus Fran-siskus ke
daerah asal para nabi pada pekan terakhir Mei lalu, Paus mengundang
pemimpin dua negara yang selalu bertikai - Israel dan Palestina - yaitu
Peres dan Abbas ke Vatikan 7 Juni kemarin. Undangan ini - menurut Paus
Fransiskus sendiri - murni hanya untuk berdoa, bukan untuk diskusi
politik. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi logis dari buntu dan
“gagalnya” pendekatan politik damai yang telah berkali-kali dilayangkan
oleh AS dan bahkan oleh kedua negara yang bertikai. Maka, tanpa
mendahului apa yang dipikirkan Paus Fransiskus, saya menduga niat Paus
Fransiskus tidak lain tidak bukan adalah untuk membuka pikiran pemimpin
dunia yang sekarang mulai cenderung sekuler pelan-pelan kembali untuk
memilih pendekatan konvensional, yaitu melalui doa bersama. Hal itu
wajar karena pendekatan modern seperti politik selama ini selalu saja
gagal. Nah, seberapa penting sebenarnya doa itu?
Yang pasti, kita tidak dapat mengukur kekuatan doa, apalagi membatasi
ukuran kekuatannya. Dia adalah sesuatu yang abstrak, tetapi hasilnya
bisa konkret. Dia pun bukan magis yang diperalat iblis, tetapi ungkapan
teologis yang berhubungan transsendental. Karena itu, doa hanyalah
keindahan. Jadi, segala tindakan yang menyakiti bukanlah wujud konkret
dari doa, melainkan wujud konkret dari keserakahan iblis yang mengubah
doa menjadi magis. Pada prinsipnya, doa pun universal. Tidak ada doa
Kristiani, doa Islam, doa Budha, dan doa-doa lainnya. Kitalah yang
kemudian terlalu gegabah menyekatnya dalam teologi sempit. Jadi,
wajarlah apabila diresapi dan dihidupi, doa menjadi senjata pamungkas
untuk menyatukan segala sesuatu yang tampak berbeda karena dia adalah
sesuatu yang universal.
Bukan Pelarian
Pada doa, kita tidak menghalalkan logika kekuatan, apalagi kekerasan,
tetapi di dalam doa, kita diharuskan untuk meresapi kekuatan logika
kedamaian. Inilah yang kemudian secara jeli ditangkap oleh Paus
Fransiskus. Sang Paus sadar bahwa dengan doa, ritual-ritual kesempatan
untuk menghormati satu sama lain menjadi terbuka, baik dengan realitas
kemanusiaan, terutama mengenai Tuhannya. Apalagi, North Carolina pernah
menyimpulkan hasil penelitiannya dari doa-doa yang dihidupi para tokoh
Perjanjian Lama - Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel - bahwa doa hanyalah
ekspresi cinta di antara sahabat, ratapan orang jujur yang menjadi
korban, upaya untuk mengobati luka sosial, dan juga sebagai upaya untuk
menentang kekuatan represif. Jadi, doa adalah sesuatu tindakan yang
kongruen dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan.
Masalahnya, apakah kemudian selepas dari doa para pemimpin - Paus
yang Kristen, Peres yang Yahudi, dan Abbas yang Islam - di Taman Vatikan
lantas bermuara pada terciptanya kedamaian di dunia, terutama di daerah
asal para nabi, yaitu Israel dan Palestina? Tidak ada yang tahu. Yang
pasti, doa bukanlah pelarian ketika tidak ada lagi jalan-jalan lain.
Akan tetapi jika diresapi, dimaknai, dan dihidupi, melalui doa, niscaya
hati mereka yang sungguh-sungguh berdoa akan merasa saling mengasihi
karena doa merupakan ekspresi cinta di antara para sahabat.
Dengan kata lain, doa mensyaratkan supaya segala timbunan ego
diturunkan demi kemaslahatan bersama. Israel, misalnya, sudah harus
menurunkan dosis egoismenya dengan cara mengakui Palestina sebagai
negara. Bukan karena Palestina layak merdeka, melainkan karena hak dasar
setiap manusia itu adalah bebas dan merdeka. Sebaliknya, Palestina pun
harus bertanggung jawab penuh dan menggaransi kenyamanan bagi orang
Israel dan Kristen untuk berziarah secara bebas ke Betlehem. Pada saat
yang sama, Palestina pun harus mengakui Israel sebagai negara yang juga
berhak atas kota suci agama mereka, bahkan menggaransi tindakan-tindakan
radikal yang sering muncul di sana tidak ada lagi.
Itulah sebenarnya wujud konkret doa yang diharapkan oleh Paus dan
oleh kita semua melalui doa bersama ini. Harus ada pengorbanan dan
pergerakan maju yang berani dengan hati jernih. Harus ada pula rasa
saling menjaga, bukan saling mengintip. Lagipula, doa itu merupakan
sebuah pengorbanan, setidaknya karena doa, kita sudah berkorban untuk
sejenak memberi hati kepada Tuhan. Hal itu tentunya paralel bahwa sesama
sahabat yang sedang berdoa harus berkorban dengan cara menurunkan dosis
tuntutan. Masalahnya, apakah mereka berdoa hanya untuk pencitraan atau
keterpaksaan?
Doa Revolusioner
Kita tidak tahu. Yang pasti, kita telah sama-sama melihat dan
menyaksikan mereka berdoa. Kita yakin pula, dengan doa itu, mereka sudah
dicegah untuk melakukan hal yang tidak baik, apalagi yang mengkhianati.
Masalah mereka yang berdoa menjadi penyamun di kemudian hari adalah
masalah belakangan yang harus kita kutuk. Apalagi, kita meyakini doa
adalah sesuatu yang mengundang yang ilahi untuk hadir dalam hati yang
sesak. Seperti kata William Domeris yang mengartikan doa, terutama doa
yang diajarkan Yesus Kristus, tepatnya pada kalimat “ datanglah
kerajaan-Mu!” adalah sebuah doa revolusioner yang menikam jantung
kekuasaan dan penindasan pongah.
Hal yang sama, pada prinsipnya segala doa hanyalah undangan pada Yang
Ilahi untuk berkenan datang. Jadi, kalau mereka - terutama Peres dan
Abbas - sudah berani mengundang Yang Ilahi untuk hinggap di bumi, hal
itu sudah menjadi definisi lain bahwa mereka harus mengorbankan sesuatu
untuk Yang Ilahi itu. Apa Yang Ilahi itu? Dia adalah pembebasan hati
manusia dari setiap timbunan-timbunan kebencian.
Berani mengundang Yang Ilahi berarti harus berani pula membiarkan
Tuhan bekerja, yaitu menghapuskan segala penindasan. Jadi seperti seruan
Paus Fransiskus, “Lakukan sesuatu yang berani, kita tidak bisa
terus-terus seperti ini”.
Dalam hati, melalui doa bersama ini, kita sangat menginginkan agar
kedamaian sesegera mungkin tercipta dari sana untuk dunia melalui
langkah berani dari doa tersebut. Sederhananya kemudian adalah semoga
gereja menjadi nama lain dari kasih, semoga sinagoga menjadi lambang
persaudaraan, dan semoga pula masjid menjadi lambang rahmat karena pada
hakikatnya agama itu adalah jalan untuk melahirkan keharmonisan, bukan
kekacauan.
Hanya saja yang perlu kita garis bawahi kemudian adalah bahwa
berharap dan hanya berdoa-doa saja tidak cukup. Perlu ada
langkah-langkah tegas dari masing-masing pihak sebagai wujud konkret
dari doa tersebut. Seperti pemahaman radikal atas doa, yaitu lex orandi,
lex convivendi. Disana dikatakan bahwa bagaimana kita berdoa tidak
hanya menentukan dan menunjukkan bagaimana kita beriman, tetapi juga
menunjukkan bagaimana kita hidup, terutama hidup bersama. Semoga para
pemimpin negara yang bertikai - terutama Israel dan Palestina - memahami
hakikat, terutama mau memberi bukti konkret dari doa tersebut sehingga
dengan begitu, damai dari negeri asal para nabi pun akan lahir untuk
dunia. ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed,
aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.
0 comments:
Post a Comment