Monday, 16 June 2014

Revolusi Doa dari Vatikan untuk Perdamaian

Revolusi Doa dari Vatikan untuk Perdamaian

Oleh: Riduan Situmorang
Sebagai tindak lanjut dari kunjungan tiga hari Paus Fran-siskus ke daerah asal para nabi pada pekan terakhir Mei lalu, Paus mengundang pemimpin dua negara yang selalu bertikai - Israel dan Palestina - yaitu Peres dan Abbas ke Vatikan 7 Juni kemarin. Undangan ini - menurut Paus Fransiskus sendiri - murni hanya untuk berdoa, bukan untuk diskusi politik. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi logis dari buntu dan “gagalnya” pendekatan politik damai yang telah berkali-kali dilayangkan oleh AS dan bahkan oleh kedua negara yang bertikai. Maka, tanpa mendahului apa yang dipikirkan Paus Fransiskus, saya menduga niat Paus Fransiskus tidak lain tidak bukan adalah untuk membuka pikiran pemimpin dunia yang sekarang mulai cenderung sekuler pelan-pelan kembali untuk memilih pendekatan konvensional, yaitu melalui doa bersama. Hal itu wajar karena pendekatan modern seperti politik selama ini selalu saja gagal. Nah, seberapa penting sebenarnya doa itu?
Yang pasti, kita tidak dapat mengukur kekuatan doa, apalagi membatasi ukuran kekuatannya. Dia adalah sesuatu yang abstrak, tetapi hasilnya bisa konkret. Dia pun bukan magis yang diperalat iblis, tetapi ungkapan teologis yang berhubungan transsendental. Karena itu, doa hanyalah keindahan. Jadi, segala tindakan yang menyakiti bukanlah wujud konkret dari doa, melainkan wujud konkret dari keserakahan iblis yang mengubah doa menjadi magis. Pada prinsipnya, doa pun universal. Tidak ada doa Kristiani, doa Islam, doa Budha, dan doa-doa lainnya. Kitalah yang kemudian terlalu gegabah menyekatnya dalam teologi sempit. Jadi, wajarlah apabila diresapi dan dihidupi, doa menjadi senjata pamungkas untuk menyatukan segala sesuatu yang tampak berbeda karena dia adalah sesuatu yang universal.
Bukan Pelarian
Pada doa, kita tidak menghalalkan logika kekuatan, apalagi kekerasan, tetapi di dalam doa, kita diharuskan untuk meresapi kekuatan logika kedamaian. Inilah yang kemudian secara jeli ditangkap oleh Paus Fransiskus. Sang Paus sadar bahwa dengan doa, ritual-ritual kesempatan untuk menghormati satu sama lain menjadi terbuka, baik dengan realitas kemanusiaan, terutama mengenai Tuhannya. Apalagi, North Carolina pernah menyimpulkan hasil penelitiannya dari doa-doa yang dihidupi para tokoh Perjanjian Lama - Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel - bahwa doa hanyalah ekspresi cinta di antara sahabat, ratapan orang jujur yang menjadi korban, upaya untuk mengobati luka sosial, dan juga sebagai upaya untuk menentang kekuatan represif. Jadi, doa adalah sesuatu tindakan yang kongruen dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan.
Masalahnya, apakah kemudian selepas dari doa para pemimpin - Paus yang Kristen, Peres yang Yahudi, dan Abbas yang Islam - di Taman Vatikan lantas bermuara pada terciptanya kedamaian di dunia, terutama di daerah asal para nabi, yaitu Israel dan Palestina? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, doa bukanlah pelarian ketika tidak ada lagi jalan-jalan lain. Akan tetapi jika diresapi, dimaknai, dan dihidupi, melalui doa, niscaya hati mereka yang sungguh-sungguh berdoa akan merasa saling mengasihi karena doa merupakan ekspresi cinta di antara para sahabat.
Dengan kata lain, doa mensyaratkan supaya segala timbunan ego diturunkan demi kemaslahatan bersama. Israel, misalnya, sudah harus menurunkan dosis egoismenya dengan cara mengakui Palestina sebagai negara. Bukan karena Palestina layak merdeka, melainkan karena hak dasar setiap manusia itu adalah bebas dan merdeka. Sebaliknya, Palestina pun harus bertanggung jawab penuh dan menggaransi kenyamanan bagi orang Israel dan Kristen untuk berziarah secara bebas ke Betlehem. Pada saat yang sama, Palestina pun harus mengakui Israel sebagai negara yang juga berhak atas kota suci agama mereka, bahkan menggaransi tindakan-tindakan radikal yang sering muncul di sana tidak ada lagi.
Itulah sebenarnya wujud konkret doa yang diharapkan oleh Paus dan oleh kita semua melalui doa bersama ini. Harus ada pengorbanan dan pergerakan maju yang berani dengan hati jernih. Harus ada pula rasa saling menjaga, bukan saling mengintip. Lagipula, doa itu merupakan sebuah pengorbanan, setidaknya karena doa, kita sudah berkorban untuk sejenak memberi hati kepada Tuhan. Hal itu tentunya paralel bahwa sesama sahabat yang sedang berdoa harus berkorban dengan cara menurunkan dosis tuntutan. Masalahnya, apakah mereka berdoa hanya untuk pencitraan atau keterpaksaan?
Doa Revolusioner
Kita tidak tahu. Yang pasti, kita telah sama-sama melihat dan menyaksikan mereka berdoa. Kita yakin pula, dengan doa itu, mereka sudah dicegah untuk melakukan hal yang tidak baik, apalagi yang mengkhianati. Masalah mereka yang berdoa menjadi penyamun di kemudian hari adalah masalah belakangan yang harus kita kutuk. Apalagi, kita meyakini doa adalah sesuatu yang mengundang yang ilahi untuk hadir dalam hati yang sesak. Seperti kata William Domeris yang mengartikan doa, terutama doa yang diajarkan Yesus Kristus, tepatnya pada kalimat “ datanglah kerajaan-Mu!” adalah sebuah doa revolusioner yang menikam jantung kekuasaan dan penindasan pongah.
Hal yang sama, pada prinsipnya segala doa hanyalah undangan pada Yang Ilahi untuk berkenan datang. Jadi, kalau mereka - terutama Peres dan Abbas - sudah berani mengundang Yang Ilahi untuk hinggap di bumi, hal itu sudah menjadi definisi lain bahwa mereka harus mengorbankan sesuatu untuk Yang Ilahi itu. Apa Yang Ilahi itu? Dia adalah pembebasan hati manusia dari setiap timbunan-timbunan kebencian.
Berani mengundang Yang Ilahi berarti harus berani pula membiarkan Tuhan bekerja, yaitu menghapuskan segala penindasan. Jadi seperti seruan Paus Fransiskus, “Lakukan sesuatu yang berani, kita tidak bisa terus-terus seperti ini”.
Dalam hati, melalui doa bersama ini, kita sangat menginginkan agar kedamaian sesegera mungkin tercipta dari sana untuk dunia melalui langkah berani dari doa tersebut. Sederhananya kemudian adalah semoga gereja menjadi nama lain dari kasih, semoga sinagoga menjadi lambang persaudaraan, dan semoga pula masjid menjadi lambang rahmat karena pada hakikatnya agama itu adalah jalan untuk melahirkan keharmonisan, bukan kekacauan.
Hanya saja yang perlu kita garis bawahi kemudian adalah bahwa berharap dan hanya berdoa-doa saja tidak cukup. Perlu ada langkah-langkah tegas dari masing-masing pihak sebagai wujud konkret dari doa tersebut. Seperti pemahaman radikal atas doa, yaitu lex orandi, lex convivendi. Disana dikatakan bahwa bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan dan menunjukkan bagaimana kita beriman, tetapi juga menunjukkan bagaimana kita hidup, terutama hidup bersama. Semoga para pemimpin negara yang bertikai - terutama Israel dan Palestina - memahami hakikat, terutama mau memberi bukti konkret dari doa tersebut sehingga dengan begitu, damai dari negeri asal para nabi pun akan lahir untuk dunia. ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

0 comments: