Masih Akan Memancanegarakan Budaya Sumut
Riduan Situmorang
Maulana Syamsuri dalam tulisannya yang dimuat di harian ini pada edisi 1 Juni 2014 -“Mengusung Budaya Sumut ke Mancanegara”-
sudah cukup terang menggambarkan potensi Sumut secara kultural,
historikal dan material dalam persepketif personal sangat menjanjikan.
Dari segi, kultural, rakyat Sumut mempunyai banyak tradisi berupa materi
bahkan nonmateri. Dapat dijual ke khalayak umum, termasuk ke dunia
internasional. Dalam nada yang sama, ranah historikal pun memberi
penguatan. Apa yang kita lihat dan yang kita saksikan sekarang dapat
dikategorikan sebagai hal yang komplementer terhadap apa yang kita
perbuat di masa-masa lalu. Memang, tak dapat dipungkiri, tradisi-tradisi
kita seperti Opera Batak bukanlah benar-benar asli dari Indonesia.
Muatan cerita yang dibawakan dalam Opera Batak, benar-benar lahir dari
perut bumi Indonesia, tepatnya dari Batak.
Masalahnya, selama beberapa dekade, Opera
Batak yang pernah menjadi penampilan temporal yang tetap tidak lagi
diperhatikan. Bahkan hampir pernah dilupakan. Itulah kiranya yang coba
digali oleh para budayawan-budayawan kita seperti Thomson Hs. Tanpa kita
tanya secara gamblang, pasti misi yang mereka bawakan adalah untuk
menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang pernah hidup.
Hal ini logis karena ukuran kekayaan dan peradaban suatu bangsa itu
tidak lagi semata dilihat dari segi kekayaan materi. Lebih pada benda
abstrak dan benda konkret yang pernah dilahirkan oleh bangsa itu sendiri
melalui bentuk pemikiran, ideologi, kesenian, dan kebudayaan. Inilah
yang kemudian saya sebut sebagai aspek material bersifat personal, yaitu
tentang bagaimana kemauan dan kemampuan personal-personal yang pernah
hidup dan lahir dalam kebudayaan itu untuk kembali menghidupkan apa yang
pernah mereka miliki.
Belum ada Titik Temu
Dalam hal material bersifat personal, saya meyakini, Thompson Hs
hanyalah contoh kecil. Di baliknya, pasti masih banyak orang yang
“sebenarnya ingin” budaya dan kesenian lokal dapat ditampilkan di wadah
internasional. Hanya saja, kesinambungan niat antara pemerintah dan
pegiat seni dan budaya belum menemui titik temu yang kongruen dengan
peradaban. Bahkan belakangan, meruyak wacana, TBSU akan “dilengserkan”
dan dipindahkan. Sungguh menurut saya sebagai hal yang tidak
berperikemanusiaan, apalagi berperikebudayaan.
Di pihak lain, sisi kritis dan daya juang para pegiat seniman pun
tidak terintegrasi dalam bentuk wadah yang sejalan. Masih berjalan pada
daerah masing-masing dan sporadis, seperti Thompson Hs, misalnya, masih
hanya bermodalkan semangat juang. Pemerintah terkesan hanya sebatas
mengapresiasi dan tidak ikut serta secara aktif untuk mengembangkannya.
Dalam bahasa singkatnya, pemerintah hanya ingin budaya lokal go international, tetapi pemerintahnya tidak mau ikut dalam proses bagaimana menginternasionalkan budaya lokal.
Dari segi lain, budayawan lain pun masih kurang ngeh untuk saling
membantu. Kita kemudian lebih cenderung mengkritisi, tetapi lupa untuk
saling memuji dan saling mengangkat. Bahkan, wadah para budayawan dan
seniman belum ada yang benar-benar resmi, kecuali wadah yang guyub
seperti KSI di bawah bimbingan IDP atau PLOt yang digawangi Thompson Hs.
Kiranya ke depan, kita mengharapkan kesatuan niat dan bulat dari para
seniman dan budayawan kita untuk membentuk sebuah wadah resmi.
Dalam artian resmi berarti harus diakui pemerintah, sehingga pemerintah dapat memberi bantuan moral
dan materil secara bertahap karena sudah dianggarkan. Para seniman dan
budayawan tentunya tidak bisa hanya bergerak sporadis, apalagi kalau
harus bersifat konvensional tanpa pengakuan, apalagi dukungan dari
pemerintah.
Jadi, PR yang penting bagi para budayawan dan seniman kita adalah
mengadakan rembuk akbar untuk kemudian membentuk sebuah wadah resmi.
Tentunya wadah ini nantinya tidak menjadi bersifat substitutif terhadap
perkumpulan yang sudah ada, tetapi bersifat komplementer. Dengan kata
lain, KSI dan PLOt misalnya tetap ada dan harus ada. Hanya, jika ingin
mengadakan agenda nasional
bahkan internasional, wadah-wadah guyub tadi bisa berkoordinasi dan
bertukar pikiran dengan wadah resmi yang diakui pemerintah tadi.
Ibaratnya, wadah resmi itu menjadi corong terdepan untuk menyuarakan
segala agenda kebudayaan dan kesenian terhadap pemerintah. Lihat, buruh
saja mempunyai wadah resmi dan serikat, bahkan pada suatu masa di negeri ini, buruh pernah membentuk partai buruh.
Catat, saya tidak sedang mengusulkan para seniman dan budayawan kita
berrela hati untuk membentuk wadah yang pelan-pelan mengarah kepartaian.
Tetapi lebih condong pada adanya kesatuan niat untuk membentuk wadah
resmi agar pemerintah kemudian lebih sadar dan lebih memerhatikan nasib
kebudayaan dan kesenian. Buruh saja dapat menyeimbangkan pemerintahan.
Pastinya para seniman dan budyawan yang mengorbankan pemikiran dan
kekuatannya untuk kemasalahatan bersama pun tentu bisa menjadi
alternatif lain.
Mari Saling Mendukung!
Misalnya, dalam waktu dekat jika tidak ada aral melintang, PLOt
mempunyai rencana, kembali memancanegarakan Opera Batak Juni 2015.
Mereka akan ke Jerman, Finlandia,
Belanda, dan Hungaria. Kebetulan, saya bersama teman-teman pejuang di
sana ikut ambil bagian. Masalahnya, apakah PLOt bisa berjalan sendirian?
Terus terang, saya tidak sedang meremehkan kemampuan PLOt karena saya
boleh dikatakan sudah cukup kenal dengan penjaga gawang PLOt, Thompson
HS. Dia juga pernah melatih kami waktu SMA dalam penampilan Opera Batak
bertajuk “Guru Saman” di Siantar dan Medan. Karena kerja keras Thompson
Hs bersama Pastor Erwin Simanullang OFM Cap
yang kebetulan pada masa itu menjabat sebagai rektor di SMA Seminari
“Christus Sacerdos” Pematang Siantar, SMA Seminari ini akhirnya sudah
melakukan agenda Opera Batak dan kesenian secara rutin dan tahunan.
Terakhir, mereka pada posisi masih anak SMA bahkan sudah berhasil
menasionalkan Opera Batak Sisingamangaraja ke Jakarta.
Artinya, memang Thompson Hs dan kawan-kawan melalui PLOt bisa saja
mungkin melaksanakan misi ini sendirian. Bukankah akan lebih baik dan
lebih maksimal hasilnya jika sesama pegiat kebudayaan dan kesenian
saling mendukung, saling menguatkan, dan saling mempromosikan yang
kemudian ditambah lagi dengan sokongan dana dan moral dari pemerintah.
Yakinlah, minimnya dana dan perhatian pemerintah kepada seni
dan budaya ini sedikit mungkin dipengaruhi karena kurangnya daya getar
para seniman dan budayawan melalui gerak bersama dalam satu wadah.
Para seniman dan budayawan kita hanya bergerak sporadis, itu pun
melalui tulisan misalnya. Padahal, jika ada niat untuk bersatu, pasti
pemerintah akan lebih memerhatikan, jika tidak, kita memaksa pemerintah
untuk lebih memerhatikan nasib kebudayaan dan kesenian.
Akhirnya, mari kita dukung segala kegiatan apa pun itu dari anak
bangsa. Terutama dari Sumut, masih mempunyai niat baik dan semangat
untuk tetap memancanegarakan nilai-nilai tradisi dan kebudayaan yang
pernah hidup dan kita hidupi!
Kalau kita sudah saling mendukung, niscaya apa yang kemarin dikritisi
Ging Ginanjar dan dikutip oleh Maulana Syamsuri pada tulisannya
“Mengusung Budaya Sumut ke Mancangera”, bahwa penampilan Opera Batak
masih jauh dari nilai artistik tidak akan terulang lagi. Hanya saja
harus kita apresiasi, berpenampilan ke mancanegara terlepas itu kemudian
kacau sudahlah merupakan prestasi yang sangat besar.
Penulis Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan dan Peminat Sastra





0 comments:
Post a Comment