Saturday, 21 June 2014

Masih Akan Memancanegarakan Budaya Sumut

Masih Akan Memancanegarakan Budaya Sumut

Riduan Situmorang
Maulana Syamsuri dalam tulisannya yang dimuat di harian ini pada edisi 1 Juni 2014 -“Mengusung Budaya Sumut ke Mancanegara”- sudah cukup terang menggambarkan potensi Sumut secara kultural, historikal dan material dalam persepketif personal sangat menjanjikan. Dari segi, kultural, rakyat Sumut mempunyai banyak tradisi berupa materi bahkan nonmateri. Dapat dijual ke khalayak umum, termasuk ke dunia internasional. Dalam nada yang sama, ranah historikal pun memberi penguatan. Apa yang kita lihat dan yang kita saksikan sekarang dapat dikategorikan sebagai hal yang komplementer terhadap apa yang kita perbuat di masa-masa lalu. Memang, tak dapat dipungkiri, tradisi-tradisi kita seperti Opera Batak bukanlah benar-benar asli dari Indonesia. Muatan cerita yang dibawakan dalam Opera Batak, benar-benar lahir dari perut bumi Indonesia, tepatnya dari Batak.
Masalahnya, selama beberapa dekade, Opera Batak yang pernah menjadi penampilan temporal yang tetap tidak lagi diperhatikan. Bahkan hampir pernah dilupakan. Itulah kiranya yang coba digali oleh para budayawan-budayawan kita seperti Thomson Hs. Tanpa kita tanya secara gamblang, pasti misi yang mereka bawakan adalah untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang pernah hidup.
Hal ini logis karena ukuran kekayaan dan peradaban suatu bangsa itu tidak lagi semata dilihat dari segi kekayaan materi. Lebih pada benda abstrak dan benda konkret yang pernah dilahirkan oleh bangsa itu sendiri melalui bentuk pemikiran, ideologi, kesenian, dan kebudayaan. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai aspek material bersifat personal, yaitu tentang bagaimana kemauan dan kemampuan personal-personal yang pernah hidup dan lahir dalam kebudayaan itu untuk kembali menghidupkan apa yang pernah mereka miliki.
Belum ada Titik Temu
Dalam hal material bersifat personal, saya meyakini, Thompson Hs hanyalah contoh kecil. Di baliknya, pasti masih banyak orang yang “sebenarnya ingin” budaya dan kesenian lokal dapat ditampilkan di wadah internasional. Hanya saja, kesinambungan niat antara pemerintah dan pegiat seni dan budaya belum menemui titik temu yang kongruen dengan peradaban. Bahkan belakangan, meruyak wacana, TBSU akan “dilengserkan” dan dipindahkan. Sungguh menurut saya sebagai hal yang tidak berperikemanusiaan, apalagi berperikebudayaan.
Di pihak lain, sisi kritis dan daya juang para pegiat seniman pun tidak terintegrasi dalam bentuk wadah yang sejalan. Masih berjalan pada daerah masing-masing dan sporadis, seperti Thompson Hs, misalnya, masih hanya bermodalkan semangat juang. Pemerintah terkesan hanya sebatas mengapresiasi dan tidak ikut serta secara aktif untuk mengembangkannya. Dalam bahasa singkatnya, pemerintah hanya ingin budaya lokal go international, tetapi pemerintahnya tidak mau ikut dalam proses bagaimana menginternasionalkan budaya lokal.
Dari segi lain, budayawan lain pun masih kurang ngeh untuk saling membantu. Kita kemudian lebih cenderung mengkritisi, tetapi lupa untuk saling memuji dan saling mengangkat. Bahkan, wadah para budayawan dan seniman belum ada yang benar-benar resmi, kecuali wadah yang guyub seperti KSI di bawah bimbingan IDP atau PLOt yang digawangi Thompson Hs. Kiranya ke depan, kita mengharapkan kesatuan niat dan bulat dari para seniman dan budayawan kita untuk membentuk sebuah wadah resmi.
Dalam artian resmi berarti harus diakui pemerintah, sehingga pemerintah dapat memberi bantuan moral dan materil secara bertahap karena sudah dianggarkan. Para seniman dan budayawan tentunya tidak bisa hanya bergerak sporadis, apalagi kalau harus bersifat konvensional tanpa pengakuan, apalagi dukungan dari pemerintah.
Jadi, PR yang penting bagi para budayawan dan seniman kita adalah mengadakan rembuk akbar untuk kemudian membentuk sebuah wadah resmi. Tentunya wadah ini nantinya tidak menjadi bersifat substitutif terhadap perkumpulan yang sudah ada, tetapi bersifat komplementer. Dengan kata lain, KSI dan PLOt misalnya tetap ada dan harus ada. Hanya, jika ingin mengadakan agenda nasional bahkan internasional, wadah-wadah guyub tadi bisa berkoordinasi dan bertukar pikiran dengan wadah resmi yang diakui pemerintah tadi.
Ibaratnya, wadah resmi itu menjadi corong terdepan untuk menyuarakan segala agenda kebudayaan dan kesenian terhadap pemerintah. Lihat, buruh saja mempunyai wadah resmi dan serikat, bahkan pada suatu masa di negeri ini, buruh pernah membentuk partai buruh.
Catat, saya tidak sedang mengusulkan para seniman dan budayawan kita berrela hati untuk membentuk wadah yang pelan-pelan mengarah kepartaian. Tetapi lebih condong pada adanya kesatuan niat untuk membentuk wadah resmi agar pemerintah kemudian lebih sadar dan lebih memerhatikan nasib kebudayaan dan kesenian. Buruh saja dapat menyeimbangkan pemerintahan. Pastinya para seniman dan budyawan yang mengorbankan pemikiran dan kekuatannya untuk kemasalahatan bersama pun tentu bisa menjadi alternatif lain.
Mari Saling Mendukung!
Misalnya, dalam waktu dekat jika tidak ada aral melintang, PLOt mempunyai rencana, kembali memancanegarakan Opera Batak Juni 2015. Mereka akan ke Jerman, Finlandia, Belanda, dan Hungaria. Kebetulan, saya bersama teman-teman pejuang di sana ikut ambil bagian. Masalahnya, apakah PLOt bisa berjalan sendirian? Terus terang, saya tidak sedang meremehkan kemampuan PLOt karena saya boleh dikatakan sudah cukup kenal dengan penjaga gawang PLOt, Thompson HS. Dia juga pernah melatih kami waktu SMA dalam penampilan Opera Batak bertajuk “Guru Saman” di Siantar dan Medan. Karena kerja keras Thompson Hs bersama Pastor Erwin Simanullang OFM Cap yang kebetulan pada masa itu menjabat sebagai rektor di SMA Seminari “Christus Sacerdos” Pematang Siantar, SMA Seminari ini akhirnya sudah melakukan agenda Opera Batak dan kesenian secara rutin dan tahunan. Terakhir, mereka pada posisi masih anak SMA bahkan sudah berhasil menasionalkan Opera Batak Sisingamangaraja ke Jakarta.
Artinya, memang Thompson Hs dan kawan-kawan melalui PLOt bisa saja mungkin melaksanakan misi ini sendirian. Bukankah akan lebih baik dan lebih maksimal hasilnya jika sesama pegiat kebudayaan dan kesenian saling mendukung, saling menguatkan, dan saling mempromosikan yang kemudian ditambah lagi dengan sokongan dana dan moral dari pemerintah.
Yakinlah, minimnya dana dan perhatian pemerintah kepada seni dan budaya ini sedikit mungkin dipengaruhi karena kurangnya daya getar para seniman dan budayawan melalui gerak bersama dalam satu wadah.
Para seniman dan budayawan kita hanya bergerak sporadis, itu pun melalui tulisan misalnya. Padahal, jika ada niat untuk bersatu, pasti pemerintah akan lebih memerhatikan, jika tidak, kita memaksa pemerintah untuk lebih memerhatikan nasib kebudayaan dan kesenian.
Akhirnya, mari kita dukung segala kegiatan apa pun itu dari anak bangsa. Terutama dari Sumut, masih mempunyai niat baik dan semangat untuk tetap memancanegarakan nilai-nilai tradisi dan kebudayaan yang pernah hidup dan kita hidupi!
Kalau kita sudah saling mendukung, niscaya apa yang kemarin dikritisi Ging Ginanjar dan dikutip oleh Maulana Syamsuri pada tulisannya “Mengusung Budaya Sumut ke Mancangera”, bahwa penampilan Opera Batak masih jauh dari nilai artistik tidak akan terulang lagi. Hanya saja harus kita apresiasi, berpenampilan ke mancanegara terlepas itu kemudian kacau sudahlah merupakan prestasi yang sangat besar.
Penulis Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan dan Peminat Sastra

0 comments: