Thursday, 29 May 2014

Politik Balas Budi

Politik Balas Budi

Oleh: Riduan Situmorang
Menurut saya, karakter yang membuat Indonesia tetap terpuruk adalah karakter yang enggan untuk mengungkap bahkan membeberkan masalah. Selain itu, Indonesia juga terlalu terkungkung pada perasaan berutang manakala mereka pernah ditolong oleh seseorang. Alhasil, ketika di negeri ini sudah jelas-jelas ada gejala penyelewengan kekuasaan seperti korupsi, kita masih saja tetap sibuk mencari-cari bukti. Pada saat yang tidak kita duga-saat pemerintah mencari bukti-berita korupsi tadi malah tertelan berita lainnya. Pada akhirnya, berita semula menjadi tertutupi dan tidak dikupas secara mendalam sehingga masalah korupsi yang sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal kembali tidak ditangani.
Nah, penyakit yang lebih mengenaskan adalah sifat Indonesia yang selalu berutang, tepatnya berutang budi. Memang, pada prinsipnya utang harus dibayar dengan persyaratan ukuran kualitas dan kuantitas harus sama. Misalnya, kalau saya meminjam uang kepada Anda sebanyak Rp5.000,00, saya paling tidak harus membayarkan Rp5.000,00 kepada Anda. Kalau Anda mematok bunga, saya bahkan harus membayar lebih dari Rp5.000,00. Akan tetapi, jika Anda berbaik hati dengan merelakan uang tadi sebagai sumbangan, saya merasa tidak wajib untuk membayarnya.
Hanya saja, tanpa saya sadari, ternyata kebaikan Anda itu di kemudian hari bisa menjadi bumerang. Memang, Anda tidak akan menagihnya. Akan tetapi, saya yang menerima kebaikan Anda akan merasa berutang, tepatnya berutang budi. Nah, apakah utang budi wajib dibayar?
Jujur saja, sebelum membaca kamus, saya menduga bahwa utang budi itu adalah sumbangan yang tidak harus dibalas. Akan tetapi, daripada didera rasa penasaran, saya akhirnya membuka kamus. Saya kemudian menjadi sangat terkejut. Betapa tidak, utang budi yang selama ini saya anggap sebagai keikhlasan ternyata malah jauh dari kata ikhlas. Tidak percaya? Baca pengertian utang budi berikut!
Dalam KBBI, utang budi adalah mendapat kebaikan hati dari orang lain dan wajib dibalas? Sampai di sini, apakah Anda masih mau berutang budi? Jujur, kalau utang budi wajib dibalas, menurut saya, hal itu bukanlah sebuah kebaikan. Alih-alih bantuan, apalagi kebaikan, hal itu malah akan membuat kita menjadi sapi perah. Kita tentunya akan merasa tersiksa karena kita akan selalu kepikiran untuk membayarnya di kemudian hari.
Dampaknya jelas, ketika si pemberi utang budi itu melakukan kesalahan, pasti kita yang menerima kebaikan atau utang budi tadi tidak akan kuasa untuk membeberkannya. Yang ada, kita malah akan menutup-nutupi kesalahan sehingga masalah itu tetap abadi dan tidak terselesaikan. Yang lebih menyedihkan lagi, kita tentunya senantiasa akan berada pada bayang-bayang sehingga ketika pemberi kebaikan tadi menyuruh kita, kita seakan selalu diwajibkan untuk menurutinya. Tanpa kita sadari, melalui kebaikan tadi, kita malah ditransformasi menjadi budak. Akhirnya jelas, utang budi memang dibawa mati.
Saling Menutupi 
Yakinlah, pemahaman seperti inilah yang membuat penyakit kronis seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini tetap terawat. Gejalanya jelas! Pada kasus korupsi, misalnya, sudah barang tentu uang hasil korupsi itu tidak seratus persen utuh untuk koruptor. Pasti ada jatahnya. Sekian persen untuk perantara, sekian persen untuk pemberi jalan, dan sekian persen untuk yang lainnya. Ada pula yang tidak bekerja malah menerima hasil uang korupsi tadi. Mungkin, pada posisi ini, kedudukan mereka ada pada sebagai penerima utang budi.
Nah, ketika, misalnya, KPK secara kebetulan mencium gelagat buruk, orang-orang yang ada pada lingkaran korupsi tadi malah berdiam dan tidak memberi tahu. Ketika salah satu dari mereka dipanggil menjadi saksi aktor utama koruptor, mereka pun saling menyembunyikan. Padahal, mereka sebenarnya tahu, tetapi seperti tadi, Indonesia memang berkarakter tidak mau membeberkan masalah, belum lagi karena mereka sudah dililit utang budi yang harus dibalas, dibawa, dan hampir tidak dapat dilunasi hingga ajal menjemput. Bukankah utang budi dibawa mati?
Memang, sebaiknya, utang budi mestinya tidak harus, apalagi wajib dibalas. Hal itu akan membuat penyakit klasik kita akan tetap terawat. Kalau tidak, setidaknya, jangan karena utang budi ini, kita yang berutang menjadi merasa wajib untuk melayani pemberi utang budi. Jangan pula karena utang budi ini, kita malah tidak berhak untuk melawan karena kita bukan sapi perah. Yakinlah, politik balas budi ini akan selalu menyesatkan! ***
* Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)

0 comments: