Menuju Indonesia Hebat
|
SEBENTAR lagi, kita akan kembali diperhadapkan pada pemilu, tepatnya pilpres pada 9 Juli 2014. Diharapkan memang, pemilu
apalagi pilpres ini bukan sekadar memenuhi syarat demokrasi yang
mengharuskan pola pemerintahan terpola secara periodik. Akan tetapi,
idealnya, pemilu atau pun pilpres ini harusnya menjadi sarana untuk
menyaring peserta sayembara pemimpin secara terbuka, tetapi rahasia.
Pemilu ini juga harusnya menjadi momen yang tepat untuk memilih pemimpin
yang prorakyat, bukan malah antirakyat. Setidaknya, kalau kita tidak
dapat mencari pemimpin terbaik dan ideal, paling tidak kita dapat
membuang dan mengeliminasi calon pemimpin terburuk dengan cara tidak
memilihnya.
|
Sekali lagi, kesuksesan kepemimpinan nasional, bahkan
lokal sebenarnya seluruhnya berada di tangan rakyat Indonesia.
Masalahnya, seringkali rakyat tidak sadar bahwa kunci kesuksesan
kepemimpinan nasional bahkan lokal itu berada di tangannya. Kita memang
tidak boleh serta merta menyalahkan rakyat karena memang rakyat selama
ini sedang mengalami frustrasi tingkat tinggi. Akibatnya, mereka sampai
pada kesimpulan bahwa siapa pun nantinya yang memimpin, tetap saja
Indonesia ini akan anjlok dan terjerembab pada masalah klasik dan
kronis: korupsi, kolusi, dan nepotisme terstruktur. Nah, di sinilah
masalah itu beranak pinak, yaitu, ketika rakyat benar-benar menutup mata
dan tidak lagi mau memilih.
Mendadak Pesimis
Lihatlah, sejak
reformasi dikobarkan, golput tak pernah nihil. Keadaan ini tentu sudah
jelas mengindikasikan bahwa rakyat belum terlalu yakin pada sistem
demokrasi. Di balik itu, ada juga sikap pemilih yang terkesan sangat
melodramatis sehingga mereka hanya akan memilih kalau calon yang
disodorkan itu benar-benar seperti superman atau bahkan malaikat. Pada
pihak lain, rakyat benar-benar menjadi tidak mau memilih karena mereka
menyangka bahwa calon yang dipilihnya itu bukan superman, apalagi
malaikat.
Alhasil, golput pun makin berserakan. Rakyat yang dulu
doyan pada adagium yang mengatakan bahwa selalu ada optimisme di balik
pesimisme mendadak berubah haluan dan semakin frustrasi, akhirnya tak
peduli. Buktinya, pada pemilu 2009, angka golput masih rendah, yaitu
masih berada pada angka 6,30%. Akan tetapi, pada pemilu selanjutnya pada
tahun 2004, 2009, dan 2014, angka golput hampir makin naik secara
eksponensial 15,93%, 29,01%, dan sesuai dengan perhitungan LSI, angka
golput pada tahun 2014 sampai menyentuh angka 34,02%. Tentu, data-data
ini sudah sangat jelas megindikasikan bahwa rakyat sedang diserang rasa
apatis secara berlebihan.
Nah, kembali ke persoalan semula,
apakah memang rasa apatis dapat menyelesaikan masalah? Tidak! Yang ada,
masalah yang datang justru akan makin beruntun karena kita tidak sigap
dan aktif untuk memberantasnya. Malah keseringan, kita hanya akan sigap
dan aktif untuk sebatas menonton yang berakhir pada mengutuk birokrat
sendiri. Padahal, mengutuk tidak terlalu membuahkan solusi. Bahkan,
tidak sedikit yang merasa bersyukur karena sebelumnya mereka tidak
memilih sehingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak ikut
bersalah. Apakah penilaian bersalah atau tidak sesederhana itu? Lalu,
apakah wajar kalau kita menyalahkan orang yang memilih pemimpin
sementara kita yang tidak memilih justru aktif dan heboh lantaran tidak
ikut memilih sehingga kita merasa benar sendiri?
Di sinilah kita
tidak terlalu sadar. Kita hanya ingin pemimpin yang prorakyat sementara
kita tidak merasa ikut tergerak untuk memilih. Ibaratnya, ada banyak
caleg yang bermurah dan baik hati untuk mencalonkan dirinya dan ada pula
banyak caleg yang rakus dan curang yang lalu memperalat politik melalui
politik uang. Caleg yang mengutamakan uang tentunya akan mempunyai
massa paling besar ketimbang caleg yang mengutamakan kebaikan dan
pelayanan. Alahasil, caleg yang baik itu kita biarkan berjalan sendirian
sementara caleg rakus sudah diikuti massa yang meminta uang. Nah,
ketika caleg yang bernapaskan politik uang itu terpilih, kita malah
mengutuk! Adilkah tindakan mengutuk seperti itu sementara kita sendiri
tidak pernah merasa tergerak untuk memilih?
Selalu Ada Pilihan
Yakinlah,
kepemimpinan nasional yang baik itu berada sepenuhnya di tangan kita.
Semuanya berpulang kepada kita. Masalahnya, apakah kita harus selalu
membiarkan caleg atau calon pemimpin yang baik itu berjalan sendirian
tanpa dukungan moral berupa ikut aktif memilih dari kita? Kalau kita
saja tidak mau memilih, apakah juga masih adil kalau kita mengharapkan
pemimpin yang baik?
Terus terang, saya tidak sedang mengutuki
orang yang golput, tetapi lebih pada penegasan bahwa kalau kita memilih
atau bahkan tidak memilih sama sekalipun, tetap saja mereka nantinya
akan terpilih. Kalau begitu, mengapa kita tidak ikut aktif saja untuk
memilih, tentunya memilih yang lebih baik? Bukankah selalu ada pilihan?
Kalau, misalnya, tidak ada pilihan yang baik, bukankah juga selalu ada
pilihan yang lebih baik dari antara yang buruk itu? Lagipula, kalaupun
misalnya kita tidak dapat memilih pemimpin yang ideal, bukankah melalui
pemilu kita juga akan dapat mengeliminasi pemimpin yang buruk supaya
mereka tidak terpilih?
Sekali lagi, semuanya berpulang kepada
kita. Indonsia ini hebat atau tidak tetap kembali kepada kita. Yang
penting, mari jangan terlalu lama bersikap apatis. Bukakan hati untuk
memilah dan memilih! Yang lebih penting lagi, jangan kita biarkan calon
pemimpin yang baik itu bekerja sendirian. Saya tidak mengatakan tidak
ada calon pemimpin yang munafik, tetapi di antara mereka, bukankah juga
ada pemimpin yang baik, setidaknya tidak munafik?
Singkatnya,
golput memang bukan pilihan. Zamannya golput sudah berakhir pada rezim
Orde Baru. Kalau pada zaman Orde Baru memilih untuk golput adalah pujian
karena merupakan bentuk penolakan pada rezim diktator, sekarang, kalau
memilih untuk golput adalah memilih untuk tidak mau memperbaiki keadaan.
Memilih untuk golput juga memilih untuk tetap menyetujui status quo
secara tidak langsung. Jadi - menurut saya - memilih golput bukan lagi
kebanggaan, kecuali kebanggaan mereka yang benar-benar tidak mau
memperbaiki keadaan!
Nah, pertanyaan selanjutnya, apakah kita mau
Indonesia ini hebat? Kalau mau, pilihlah calon pemimpin yang baik,
eliminasi pemimpin yang buruk. Kalau masih memungkinkan, pilihlah calon
pemimpin yang bukan makelar, melainkan menjadi pelayan bagi rakyat
seperti yang diutarakan oleh Paus Fransiskus. Tentunya, jangan sebatas
berangan-angan, kita harus turun tangan secara aktif melalui ikut
memilih! Ayo, Indonesia hebat ada di tangan kita!
(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan |
0 comments:
Post a Comment