Ketika Sastra Menjadi Senjata
|
Sastra, bahkan sejak dulu sudah didaulat sebagai sebuah
ilmu yang sangat independen yang tidak boleh dicekoki dan dikaburkan,
seperti halnya sejarah yang selama ini sering dikaburkan oleh penguasa.
Sastra, sesuatu yang benar-benar mandiri.
Akan tetapi akhir-akhir
ini, terutama menjelang Pilpres 2014, saya terkejut bukan kepalang.
Mereka yang selama ini saya kenal sebagai politisi mendadak menjadi
"penyair". Bahkan puisi yang mereka hasilkan pun "hampir" lebih populer
apabila dibandingkan dengan puisi bikinan sastrawan terkenal.
Sebagai
bukti, puisi yang misalnya dimuat di berbagai harian hampir tidak
pernah dibahas dan diperbincangkan secara luas. Akan tetapi, ketika
mereka yang dulu saya kenal sebagai politisi membuat puisi, mendadak
puisi mereka ramai diperbincangkan, dikupas, bahkan di-up load secara
luas di sosial media.
Percayalah, sebagai orang yang juga telah
berhasil menerbitkan beberapa puisi di sejumlah media cetak, saya tidak
sedang merasa khawatir karena lahan kami telah dicaplok. Saya yakin
pula, beberapa teman sastrawan malah merasa bangga karena mereka
diperhatikan, setidaknya profesi mereka sebagai sastrawan ternyata juga
diminati, bahkan digandrungi para politisi.
Akan tetapi, yang
saya khawatirkan dan sesalkan - saya yakin, teman-teman sastrawan pun
sangat menyesalkannya, bahkan mungkin mengutuknya - karena sastra itu
telah dijajah secara kejam. Puisi yang dulunya berbicara tentang
estetika, yang juga mencekal tetapi masih punya etika, sekarang malah
digunakan menjadi senjata untuk saling mencekal.
Ibarat dalam perang,
puisi diperalat menjadi senjata untuk melemahkan lawan, bahkan
mendiskreditkan eksistensi lawan, dalam hal ini lawan politik. Puaisi
bukan lagi berbicara tentang estetika dan etika, melainkan tentang
perang dan kebencian untuk saling melemahkan. Akhirnya, puisi bukan lagi
bentuk yang disusun dari kata-kata indah, melainkan dibangun dalam
konstruksi bahasa sarkasme secara tersembunyi dengan satu tujuan:
melemahkan dan mendiskreditkan lawan.
Apakah puisi memang menjadi
senjata? Idealnya tidak! Puisi adalah bahasa khas karena disusun indah.
Puisi berisi makna yang disuarakan lewat bahasa semiotik untuk
mengantarkan substansi pesan secara semantis. Puisi juga sering menjadi
suara-suara kalbu dalam arti yang kompleks. Jadi, kalau harus diadopsi
dari Charles Sanders Peirce (dalam T L Short, 2007), puisi sebagai
bahasa kalbu juga menjadi tanda yang kompleks yang dapat menjadi indeks,
yakni tanda yang menunjuk pada referen tertentu. Apakah itu sebagai
tanda untuk qualisign (tanda dugaan), sinsign (proses perwujudan), dan
legisign (sudah terwujud secara definitif).
Benar, puisi memang
bukan hanya populer di kancah politik Indonesia. Bahkan, sejak
J.F.Kennedy resmi menjabat sebagai Presiden AS, pembacaan puisi dalam
setiap pelantikan Presiden Amerika sepertinya menjadi hal wajib.
J.F.Kennedy mengakui puisi merupakan sebuah kekuatan (power). Karena
puisi merupakan kekuatan, tidak semestinya diperalat menjadi senjata
untuk mengutuk lawan, kecuali mengkritik zaman dan memang harus
benar-benar murni untuk mengkritik zaman.
Seperti kata Sutardzi
Calzoum Bahri, bahasa (sebagai pengantar puisi) adalah hal yang bebas,
bahkan saking bebasnya dia tidak terikat pada bentuk dan makna
sekalipun. Jika dia sapu, dia bukan alat untuk membersihkan, melainkan
sapu itu sendiri. Jika dia kursi, dia pun bukan tempat untuk duduk
bersandar, melainkan kursi itu sendiri. Jika dia senjata, dia bukan
senjata yang mempunyai peluru untuk merubuhkan lawan, melainkan murni
sebagai senjata itu sendiri secara mandiri. Ringkasnya, puisi merupakan
hal yang benar-benar mandiri, tidak bisa ditunggangi politik praktis,
apalagi pragmatis.
Perang yang Aneh
Pada logika seperti ini,
apalagi setelah menyaksikan perang puisi oleh para politisi-sastrawan,
saya benar-benar sampai pada kesimpulan bahwa sastra, terutama puisi di
negeri ini, sudah menjadi budak yang diperalat sebagai senjata. Perang
bukan lagi hanya mnenggunakan senjata dan nuklir, melainkan sudah
merangsek ke ranah-ranah sakral seperti menggunakan agama dan sastra.
Maka,
ketika seseorang memerangi lewat puisi, orang lain yang merasa
diperangi balik membalas lewat puisi pula. Maka, lahirlah puisi
berbalas-balasan. Bahasa mandiri "aku rapopo" dibanting dengan puisi
"Aku Raisopopo". "Aku Raisopopo" pun ditangkis melalui "Aku Iso Opo".
Maaf,
siapalah saya ini yang harus mengkritik dan menelaah puisi para
politisi-sastrawan tersebut. Saya tidak bisa menilai puisi tersebut
sudah mempunyai intuisi dan rima. Saya, seperti tadi, tidak menghalangi
para politisi itu menjadi sastrawan. Toh, sastrawan profesi yang bebas
dan mandiri untuk siapa pun seperti hakikat sastra itu sendiri.
Sastrawan itu gelar pengakuan, bukan semata pemberian.
Kalau
seseorang lulus dari fakultas kedokteran, sudah barang tentu dia akan
menjadi dokter terlepas dia mampu mengobati pasien atau tidak. Kalau
seseorang lulus dari jurusan kependidikan, dia pun sudah barang tentu
disebut menjadi guru terlepas dia mampu mengajar atau malah hanya mampu
menghajar. Tetapi tidak untuk sastrawan, seseorang yang lulus dari
fakultas sastra tidak serta merta mengantarnya pada sebutan sastrawan
karena sastrawan merupakan jabatan bebas dari pemaksaan. Sastrawan juga
gelar pengakuan secara mandiri, bukan melalui voting yang mempertuhankan
data-data kuantitatif.
Kalau beranjak dari taksonomi Charles
Sanders Peirce tadi, gejala perang puisi oleh para politisi-sastrawan
itu sudah berada pada taraf meresahkan, yaitu legisign. Dia bukan lagi
sebatas qualisign (praduga) ketika kita, misalnya, mendengar pintu
ditutup dengan keras tanpa melihat siapa yang menutup. Dia pun bukan
lagi sebatas sinsign (proses perwujudan), ketika kita melihat seseorang
dengan wajah ketus dan kesal muncul dari balik pintu yang dibanting
tadi. Akan tetapi, setelah kita masuk, ternyata sudah ada seorang wanita
yang menangis tersedu-sedu karena sudah diselingkuhi oleh suaminya,
yaitu lelaki yang membanting pintu tadi.
Karena itu, perang puisi
ini bukan lagi sebatas sinsign dan qualisign, perang ini sudah terbukti
secara definitif lantaran para politisi secara blak-blakan memperalat
puisi yang mandiri sebagai senjata untuk melemahkan. Sungguh perang yang
aneh, apakah akan ada bentuk perang yang lebih aneh lagi? Semoga tidak!
(Oleh: Riduan Situmorang)
Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan |
0 comments:
Post a Comment