Mencari Ilham dari Budaya
Ruduan Situmorang
Pada 24-27 November 2013 yang lalu, para budayawan dari lintas negara
telah mengadakan Forum Budaya Dunia di Nusa Dua Bali. Forum budaya ini
boleh dikatakan sangat khas dan unik. Selama ini, para petinggi di dunia
lebih memfokuskan diri pada forum ekonomi, sosial, bahkan hukum
sehingga esensi budaya sering luput dari perhatian. Boleh juga
dikatakan, forum kebudayaan ini menjadi langkah penting, walaupun akan
selalu terhambat pada pandangan-pandangan kaku para kaum militan dan
radikal. Mereka sering sangat sulit menerima kebudayaan secara
universal. Padahal, detik ini, kebudayaan bukan lagi harus semata
mengacu pada lokal, melainkan lebih mengarah pada adanya keinginan
bersama untuk memandang kebudayaan itu dari kacamata universal.
Karena itulah, Forum Budaya Dunia ini menjadi relevan. Diharapkan
untuk mampu menjadi jawaban pada morat-maritnya penanganan kemanusiaan.
Ekonomi yang anjlok, politik yang brutal serta sederet permasalahan
pelik yang mengancam sisi humanitas lainnya.
Melalui Forum Budaya Dunia ini, kita pun berharap mampu meredam
-bahkan enghilangkan- konfrontasi yang akhir-akhir ini makin masif.
Intinya, dialog kultural ini harus menjadi salah satu senjata untuk
memecahkan beberapa masalah. Hal itu tidak berlebihan karena manusia
pada hakikatnya memang lebih mampu bertahan hidup bersama secara damai
daripada bertahan hidup bersama dalam suasana yang penuh konflik dan
kekerasan.
Tentu juga, dengan pelaksanaan Forum Budaya Dunia ini, kita
diharapkan mampu membawa pesan kemanusiaan kepada siapa pun. Termasuk
lintas agama, ras, bahkan lintas negara. Sekali lagi, itu tidak
berlebihan karena memang budaya adalah simbol keberadaban manusia.
Kita telah bersepakat, manusia biadab sudah punah seiring lenyapnya
zaman prasejarah berikut barbar. Kita pun telah bersepakat, siapa pun di
dunia ini mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada dikotomi superior
dan inferior.
Secara logika tentunya hal ini akan bermuara pada penebalan rasa
memiliki. Bukan saling memusuhi. Walau pada praktiknya kita malah lebih
sering menaruh rasa saling memusuhi daripada saling memiliki. Akhirnya,
konfrontasi menjadi keniscayaan, penyadapan menjadi kebenaran, pemaksaan
paham dan agama makin meruyak, pendsikreditan suku-suku minoritas
seakan menjadi kewajiban. Satu kata saja: anomali.
Alternatif Pendekatan Kebudayaan
Untuk menghadapi anomali kemanusiaan inilah sejatinya forum bertema
kebudayaan dunia ini dirancang. Mestinya, forum ini juga menjadi benih
dan kabar kegembiraan bagi kita semua. Terutama bagi mereka yang masih
memiliki sisi humanitas dari berbagai ragam spektrum. Seperti kata
Radhar Panca Dahana, kehadiran forum kebudayaan ini menjadi semacam
kegembiraan yang tidak bisa ditutupi. Ini menjadi sinyal positif bagi
mereka yang belakangan ini mulai digerogoti dan telah dicap sebagai
orang terbuang dalam virus-virus pesimisme. Karena itu, ini saat yang
tepat untuk memilih alternatif pendekatan kebudayaan untuk memanusiakan
manusia itu secara manusiawi.
Terutama di Indonesia, pendekatan kebudayaan menjadi salah satu
alternatif untuk memecahkan masalah-masalah yang sangat sensitif.
Pendekatan politik dan ekonomi yang selama ini kita gadang-gadang,
ternyata tetap berujung pada jalan buntu. Pendekatan ekonomi, misalnya,
masih terkaveling dan seakan tercipta bagi mereka yang memiliki modal
tebal. Akhirnya, negeri ini kembali didera kapitalisme, padahal dulunya
kita begitu alergi terhadap paham kapitalisme. Alasannya jelas. Dengan
menganut paham kapital, jurang antara orang miskin dan orang kaya akan
makin dalam sehingga terasa akan sangat mustahil untuk membangun
jembatan pemerkuatan kedekatan emosional antara si miskin dan si kaya.
Tidak hanya kapitalisme, liberalisme, bahkan neokolonialisme mulai
bersarang. Zaman perbudakan yang dulu sudah lama kita tanggalkan dari
tubuh kita. Sekarang kita malah balik mengadopsi sistem budak atau
tepatnya neofeodalisme dengan memperlakukan orang-orang termarjinalkan
sebagai budak.
Lihatlah, begitu banyak TKI yang terkatung-katung di negeri lain.
Nasib mereka tidak jelas. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang harus
meregang nyawa. Padahal, menjadi TKI adalah bukan pilihan mereka. Itu
keharusan. Ironisnya, mereka menjadi TKI lantaran di negeri kaya ini
yang juga merupakan negeri mereka. Mereka tidak diberi kesempatan untuk
bekerja. Dengan kata lain, itu merupakan pilihan yang kita paksakan bagi
mereka tanpa ada jaminan kuat untuk menjaga kenyamanan mereka.
Apakah hal ini bukan merupakan wajah baru perbudakan? Lebih tajam
lagi, apakah hal ini menjadi terjemahan bahwa kita memang sudah hijrah
dari zaman jahilyah atau zaman kebiadaban menuju zaman keberadaban yang
kita katakan berbudaya? Terus terang, saya sangat ragu!
Sama seperti pendekatan ekonomi -bahkan sebenarnya jauh lebih parah-
pendekatan politik pun bopeng dan seakan tidak menyisakan jejak.
Semuanya menguap tidak jelas. Politik yang sejatinya menjadi amanah
diterjemahkan menjadi sebagai lahan untuk meraup kekayaan. Politik yang
dulunya dianggap suci dan sakral seperti pada kamus John Calvin, seorang
teolog Kristiani terkenal, ditransformasi menjadi arena para gladiator.
Ingatlah, gladiator tidak akan selesai jika salah satu dari mereka
-penantang dan sang juara, atau dalam politik antara koalisi dan
oposisi- tidak tumbang, tepatnya tewas. Bedanya mungkin, kalau di arena
gladiator yang mati adalah salah satu dari petarung, tetapi di arena
politik yang mati bukan petarungnya, melainkan penonton, dalam hal ini
rakyat. Akhirnya, rakyat pun kembali menjadi budak, terutama rakyat kaum
kecil atau rakyat yang sengaja dikecilkan.
Jika tidak mau menjadi budak, mereka akhirnya akan mati di pedang
para politikus. Sekali lagi, ini adalah wajah baru dari penjajahan.
Karena itu, hingga detik ini saya masih meragukan kebenaran apakah kita
sudah berbudaya atau tidak. Saya pun masih meragukan apakah kita sudah
beragama atau tidak, yang pasti agama tidak pernah melegalkan perbuatan
yang tidak manusiawi, termasuk jihad untuk membunuh orang yang kita
sebut kafir!
Menangkap Sinyal Positif
Jika pun kita mengaku sudah beragama atau berbudaya, saya yakin itu
lebih pada penekanan kemalasan, bukan pada kesalehan. Kita mengaku Tuhan
itu mahabaik, karena itu kita berdoa tanpa bekerja. Jika pun bekerja,
kita lebih banyak mengambil jalan yang haram melalui korupsi. Setelah
itu, kita pergi ke rumah ibadah untuk meminta maaf kepada Tuhan
mahabaik. Kita yakini akan selalu memaafkan kesalahan seberapa besar dan
seberapa sering pun kita melakukan kesalahan.
Anehnya, kita mengartikan Tuhan akan selalu mengampuni perbuatan
korupsi yang telah kita lakukan. Karena itu, tanpa ragu, kita korupsi
secara sadar bukan karena kemiskinan material, melainkan kemiskinan
moral. Apakah ini perilaku manusia yang beragama dan berbudaya? Sekali
lagi, saya sangat ragu!
Mengutip sekali lagi pernyataan Radhar Panca Dahana , Forum
Kebudayaan Dunia ini menjadi semacam kegembiraan yang tidak bisa
ditutupi karena ini menjadi sinyal positif bagi kita yang sudah pesimis
dalam bernegara. Apakah kita dapat menangkap sinyal positif itu? Apakah
kita dapat melihat bahwa benih kebajikan akan berkecambah melalui benih
kebudayaan? Bagaimanapun, saya -dan saya yakin masyarakat di dunia
terutama di Indonesia- dapat menangkap sinyal positif itu. Masalahnya
sekarang, apakah sinyal itu akan ditanggapi pemerintah secara serius
atau malah sebatas acara seremonial dan formalitas belaka?
Mari sama-sama berdoa semoga pemerintah kita ke depan bukan hanya
pintar membagi kekuasaan atas dasar kacamata koalisi melalui sudut
pandang politik, ekonomi, melainkan juga menjadi jeli untuk memimpin dan
membagi kekuasaan atas dasar kebudayaan!
Penulis Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan dan Peminat Sastra
0 comments:
Post a Comment