Mengenang Mei Kelabu di 1998
|
SIAPA yang masih
sadar bahwa kondisi sekarang adalah kado terindah dari para pejuang
reformasi, demokrasi, dan Pancasila kita. Siapa pula yang tidak hanya
sekadar sadar, tetapi tahu dan paham bagaimana cara menghormati mereka
yang tewas hanya untuk sebuah demokrasi.
|
Tidak bisa dibantah, tragedi Mei 1998 - terutama
pengorbanan mahasiswa Trisakti - menjadi titik tolak kita untuk beranjak
ke zaman baru, meninggalkan keangkuhan era Orde Baru.
Kita tidak
bisa menikmati kebebasan andai saja para mahasiswa-pejuang tersebut
tidak turun tangan walaupun nyawa menjadi taruhannya. Hasilnya, kita
bisa merayakan demokrasi sekarang ini semata karena titisan darah
mereka. Karena itu, mereka menjadi pantas untuk dinobatkan sebagai
martir demokrasi yang harus mendapat tempat khusus di hati masyarakat.
Mereka pun sejatinya menjadi cerminan sikap, lantaran telah berhasil
menarik tali busur panah sejarah untuk diarahkan ke jalur yang tepat.
Meskipun
demikian, apa yang kita saksikan ternyata tidak cukup menggembirakan.
Nasib tragis mereka yang harus meregang nyawa belum juga tertangani.
Bahkan, berita-berita selajutnya yang mengiringi gonjang-ganjing atau
politik huru-hara dalam bahasa Fadly Zon tidak dikupas secara adil.
Pemerkosaan, pembantaian, pembakaran, bahkan penembakan sepertinya
secara sengaja dan terstruktur dikelola untuk menjadi sebuah alibi dan
konspirasi sehingga tidak dibeberkan.
Pemerintah terkesan lamban,
bahkan gejalanya lebih mengarah pada adanya niat untuk melupakan
tragedi tersebut. Indikasinya jelas, andai ada niat yang benar-benar
untuk meluruskan sejarah, semua berita kelam yang mengiringi Mei kelabu
saat itu sudah pasti dibeberkan. Mungkin efeknya akan sangat memalukan,
tetapi apakah alasan memalukan harus menjadi alibi baru untuk menutupi
sebuah fakta?
Kalau kita memang masih sadar bahwa keadaan sekarang
adalah buah dari titisan darah para mahasiswa-pejuang, kini saat yang
tepat untuk menyucikan darah mereka sebagai wujud dari keputusan politik
yang menghormati pahlawan. Harus ada kebijakan dan tindakan nyata,
tidak cukup sebatas orasi, tetapi butuh kejernihan hati untuk menjadikan
tumpahan darah tersebut menjadi tumpahan darah yang sakral dan
terkultuskan di bilik-bilik hati masyarakat.
Maka, berhenti dari
kepura-puraan pun menjadi keniscayaan. Sebab, sejarah sekelam apa pun
bentuknya tidak akan pernah bisa dilupakan. Kendatipun pemerintah secara
sengaja ingin mencuci tumpahan darah yang menempel pada seragam
keangkuhan tersebut, tetap saja berita kelam itu akan menjadi kenangan.
Jangankan menjadi kenangan, tindakan yang dengan sengaja mencuci -
terutama membersihkan diri agar dianggap sebagai pahlawan untuk membawa
pembaharuan melewati tragedi Mei 1998 - akan menjadi kanker yang akan
selalu menusuk, bahkan menyerang otak demokrasi. Selihai apa pun para
pemain politik - terutama mereka yang terlibat sebagai aktor utama -
tidak akan pernah bisa menyembunyikan kasus yang memiriskan.
Ibarat
kanker yang tiba-tiba sudah berada pada stadium akhir, tragedi Mei 1998
pun bisa-bisa memuncak pada situasi yang tidak terduga. Karena itu,
mari jernihkan hati, sucikan tumpahan darah mereka, jangan malah dicuci,
apalagi kalau dicuci untuk membersihkan nama diri sendiri.
Selain
itu, kita pun sebagai masyarakat, terutama karena saat ini akan segera
memilih pemimpin nasional yang baru, mari bertindak bijaksana.
Rayakanlah demokrasi sebagai kado terindah dari para martir demokrasi
dengan menggunakan hak pilih secara bijak. Saya tidak sedang mengatakan
di antara capres dan cawapres akan ada aktor utama yang harus dihindari,
tetapi saya hanya menegaskan hanya dengan melalui pemimpin nasional
yang terpilih nantinyalah nasib para martir demokrasi kita akan bisa
ditangani dengan baik sehingga mereka akan didudukkan secara terhormat
dalam sejarah Indonesia, bukan malah dihilangkan, apalagi dicuci bersih!
Kematangan Berpikir
Yakinlah,
mereka memang sudah tewas oleh bangsanya sendiri. Akan tetapi, jika
kita menggunakan momentum demokrasi dengan baik, niscaya mereka akan
bahagia. Sebaliknya, jika kita menyianyiakan momentum ini, mereka pun
kembali akan berteriak dalam sunyi. Tidak seorang pun bisa mendengarnya,
kecuali mereka yang sadar pada sejarah.
Lalu, apa yang mendesak
harus kita lakukan dan harus kita miliki? Yang mendesak - terutama
karena Mei ini sekaligus juga menjadi momen kampanye pilpres - adalah
memiliki kematangan berpikir untuk tidak mudah terpengaruh pada
kampanye-kampanye hitam yang bisa membuat masa kelabu Mei 1998 sebagai
jalan untuk melemahkan kandidat lainnya. Kita tahu - entah itu buram
atau terang - siapa aktor di baliknya. Karena itu, tetaplah berpikir
bijak dan tidak mudah terprovokasi pada isu-isu miring.
Sekali
lagi, yang dibutuhkan bukan sebatas memburu aktor kerusuhan Mei 1998,
melainkan memutuskan untuk tidak lagi lupa pada masa kelam. Bila perlu,
jika memang para aktor itu tidak bisa diadili di pengadilan negara,
jalan satu-satunya bagi kita adalah mempersempit daya jangkau politik
mereka. Semuanya ada pada kita karena berkat para mahasiswa-pejuang itu.
Kekuasaan sudah mutlak berada di tangan kita, itu pun hanya akan
menjadi kebenaran jika memang kita mau menggunakan hak pilih kita secara
bijak.
Saya menjadi teringat pada Soeharto, tepatnya pada
pernyataan persnya di Kairo, 15 Mei 1998, tiga hari setelah
mahasiswa-pejuang tewas di kampus. Saat itu dia mengatakan bersedia
mundur dari jabatannya sebagai presiden jika itu keinginan rakyat. Kini,
Soeharto yang selama ini kita anggap kejam sudah berpulang. Bahkan,
sekeji-kejinya Suharto, dia tetap menyatakan rela mundur jika itu
keinginan rakyat. Semuanya berpulang kepada kita.
Timbul
pertanyaan, jika Soeharto sediktator apa pun ternyata masih mendengarkan
niat rakyat, apakah pemerintah ke depan masih mendengarkan niat rakyat?
Lalu, kalau keinginan rakyat adalah untuk membuat kisah pelik di balik
tragedi Mei 1998 menjadi terang, apakah pemerintah ke depan akan
bersedia memenuhinya? Mau tidak mau pemerintah memang harus mau karena
kekuasaan sudah sepenuhnya berada di tangan rakyat. Masalahnya, mampukah
kita menyeleksi para calon pemimpin itu dengan hati bijak?
Mengakhiri
tulisan ini, saya dengan hati tulus mengajak kita untuk memberikan
penghormatan yang ikhlas kepada para mahasiswa-pejuang kita. Mari kita
kenang tragedi Mei 1998 dan menjadikannya momentum, bahkan titik balik
menuju kemenangan rakyat! (Oleh: Riduan Situmorang)
Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan
|
0 comments:
Post a Comment