Friday, 23 May 2014

Mengenang Mei Kelabu di 1998

SIAPA yang masih sadar bahwa kondisi sekarang adalah kado terindah dari para pejuang reformasi, demokrasi, dan Pancasila kita. Siapa pula yang tidak hanya sekadar sadar, tetapi tahu dan paham bagaimana cara menghormati mereka yang tewas hanya untuk sebuah demokrasi.
Tidak bisa dibantah, tragedi Mei 1998 - terutama pengorbanan mahasiswa Trisakti - menjadi titik tolak kita untuk beranjak ke zaman baru, meninggalkan keangkuhan era Orde Baru.

Kita tidak bisa menikmati kebebasan andai saja para mahasiswa-pejuang tersebut tidak turun tangan walaupun nyawa menjadi taruhannya. Hasilnya, kita bisa merayakan demokrasi sekarang ini semata karena titisan darah mereka. Karena itu, mereka menjadi pantas untuk dinobatkan sebagai martir demokrasi yang harus mendapat tempat khusus di hati masyarakat. Mereka pun sejatinya menjadi cerminan sikap, lantaran telah berhasil menarik tali busur panah sejarah untuk diarahkan ke jalur yang tepat.

Meskipun demikian, apa yang kita saksikan ternyata tidak cukup menggembirakan. Nasib tragis mereka yang harus meregang nyawa belum juga tertangani. Bahkan, berita-berita selajutnya yang mengiringi gonjang-ganjing atau politik huru-hara dalam bahasa Fadly Zon tidak dikupas secara adil. Pemerkosaan, pembantaian, pembakaran, bahkan penembakan sepertinya secara sengaja dan terstruktur dikelola untuk menjadi sebuah alibi dan konspirasi sehingga tidak dibeberkan.

Pemerintah terkesan lamban, bahkan gejalanya lebih mengarah pada adanya niat untuk melupakan tragedi tersebut. Indikasinya jelas, andai ada niat yang benar-benar untuk meluruskan sejarah, semua berita kelam yang mengiringi Mei kelabu saat itu sudah pasti dibeberkan. Mungkin efeknya akan sangat memalukan, tetapi apakah alasan memalukan harus menjadi alibi baru untuk menutupi sebuah fakta?
Kalau kita memang masih sadar bahwa keadaan sekarang adalah buah dari titisan darah para mahasiswa-pejuang, kini saat yang tepat untuk menyucikan darah mereka sebagai wujud dari keputusan politik yang menghormati pahlawan. Harus ada kebijakan dan tindakan nyata, tidak cukup sebatas orasi, tetapi butuh kejernihan hati untuk menjadikan tumpahan darah tersebut menjadi tumpahan darah yang sakral dan terkultuskan di bilik-bilik hati masyarakat.

Maka, berhenti dari kepura-puraan pun menjadi keniscayaan. Sebab, sejarah sekelam apa pun bentuknya tidak akan pernah bisa dilupakan. Kendatipun pemerintah secara sengaja ingin mencuci tumpahan darah yang menempel pada seragam keangkuhan tersebut, tetap saja berita kelam itu akan menjadi kenangan. Jangankan menjadi kenangan, tindakan yang dengan sengaja mencuci - terutama membersihkan diri agar dianggap sebagai pahlawan untuk membawa pembaharuan melewati tragedi Mei 1998 - akan menjadi kanker yang akan selalu menusuk, bahkan menyerang otak demokrasi. Selihai apa pun para pemain politik - terutama mereka yang terlibat sebagai aktor utama - tidak akan pernah bisa menyembunyikan kasus yang memiriskan.

Ibarat kanker yang tiba-tiba sudah berada pada stadium akhir, tragedi Mei 1998 pun bisa-bisa memuncak pada situasi yang tidak terduga. Karena itu, mari jernihkan hati, sucikan tumpahan darah mereka, jangan malah dicuci, apalagi kalau dicuci untuk membersihkan nama diri sendiri.

Selain itu, kita pun sebagai masyarakat, terutama karena saat ini akan segera memilih pemimpin nasional yang baru, mari bertindak bijaksana. Rayakanlah demokrasi sebagai kado terindah dari para martir demokrasi dengan menggunakan hak pilih secara bijak. Saya tidak sedang mengatakan di antara capres dan cawapres akan ada aktor utama yang harus dihindari, tetapi saya hanya menegaskan hanya dengan melalui pemimpin nasional yang terpilih nantinyalah nasib para martir demokrasi kita akan bisa ditangani dengan baik sehingga mereka akan didudukkan secara terhormat dalam sejarah Indonesia, bukan malah dihilangkan, apalagi dicuci bersih!

Kematangan Berpikir
Yakinlah, mereka memang sudah tewas oleh bangsanya sendiri. Akan tetapi, jika kita menggunakan momentum demokrasi dengan baik, niscaya mereka akan bahagia. Sebaliknya, jika kita menyianyiakan momentum ini, mereka pun kembali akan berteriak dalam sunyi. Tidak seorang pun bisa mendengarnya, kecuali mereka yang sadar pada sejarah.

Lalu, apa yang mendesak harus kita lakukan dan harus kita miliki? Yang mendesak - terutama karena Mei ini sekaligus juga menjadi momen kampanye pilpres - adalah memiliki kematangan berpikir untuk tidak mudah terpengaruh pada kampanye-kampanye hitam yang bisa membuat masa kelabu Mei 1998 sebagai jalan untuk melemahkan kandidat lainnya. Kita tahu - entah itu buram atau terang - siapa aktor di baliknya. Karena itu, tetaplah berpikir bijak dan tidak mudah terprovokasi pada isu-isu miring.

Sekali lagi, yang dibutuhkan bukan sebatas memburu aktor kerusuhan Mei 1998, melainkan memutuskan untuk tidak lagi lupa pada masa kelam. Bila perlu, jika memang para aktor itu tidak bisa diadili di pengadilan negara, jalan satu-satunya bagi kita adalah mempersempit daya jangkau politik mereka. Semuanya ada pada kita karena berkat para mahasiswa-pejuang itu. Kekuasaan sudah mutlak berada di tangan kita, itu pun hanya akan menjadi kebenaran jika memang kita mau menggunakan hak pilih kita secara bijak.

Saya menjadi teringat pada Soeharto, tepatnya pada pernyataan persnya di Kairo, 15 Mei 1998, tiga hari setelah mahasiswa-pejuang tewas di kampus. Saat itu dia mengatakan bersedia mundur dari jabatannya sebagai presiden jika itu keinginan rakyat. Kini, Soeharto yang selama ini kita anggap kejam sudah berpulang. Bahkan, sekeji-kejinya Suharto, dia tetap menyatakan rela mundur jika itu keinginan rakyat. Semuanya berpulang kepada kita.

Timbul pertanyaan, jika Soeharto sediktator apa pun ternyata masih mendengarkan niat rakyat, apakah pemerintah ke depan masih mendengarkan niat rakyat? Lalu, kalau keinginan rakyat adalah untuk membuat kisah pelik di balik tragedi Mei 1998 menjadi terang, apakah pemerintah ke depan akan bersedia memenuhinya? Mau tidak mau pemerintah memang harus mau karena kekuasaan sudah sepenuhnya berada di tangan rakyat. Masalahnya, mampukah kita menyeleksi para calon pemimpin itu dengan hati bijak?

Mengakhiri tulisan ini, saya dengan hati tulus mengajak kita untuk memberikan penghormatan yang ikhlas kepada para mahasiswa-pejuang kita. Mari kita kenang tragedi Mei 1998 dan menjadikannya momentum, bahkan titik balik menuju kemenangan rakyat! (Oleh: Riduan Situmorang)



Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan

0 comments: