Thursday, 24 March 2016

Perlukah Upgrade Status BNN

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan Indonesia darurat narkotika. Meski demikian, institusi yang diberi kewenangan untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika belum dibenahi, termasuk upgrade status kelembagaannya.
Keinginan Badan Nasional Narkotika (BNN) untuk melakukan revitalisasi kelembagaan dengan meningkatkan strata setingkat kementerian yang mendapat respons positif dari pemerintah dapat dipahami jika melihat tantangan perkem-bangan kejahatan narkotika yang telah dikategorikan sebagai extraordinary crime, transnational crime, dan organized crime.

BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) mencatat, kerugian akibat penyalahgunaan narkotika diperkirakan mencapai sebesar Rp23,6triliun atau USD2,6 miliar pada 2004. Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba pada 2011 telah mencapai 2,2% dari total populasi penduduk (berusia 10-60 tahun) atau sekitar 3,8 juta-4,3 juta orang.

Hal itu mengalami peningkatan sebesar 0,21% bila dibandingkan dengan tahun 2008 (1,99% atau sekitar 3,3 juta orang). Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi, meningkat dari 90.523 butir (2001) menjadi 1,3 juta butir (2006). Adapun sabusabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1.241,2 kg (2006). Data kasus penyalahgunaan narkotika antara tahun 2008 hingga 2012 sebanyak 145.448 kasus dengan jumlah tersangka 188.985 orang.

Jumlah kerugian biaya ekonomi narkoba berdasarkan hasil penelitian BNN tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp48,2 triliun. Angka kerugian dan kasus narkotika tersebut tidak mewakili fakta empiris di lapangan. Hasil penelitian BNN memberikan kesimpulan bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang mempunyai daya perusak generasi yang sangat besar.

Narkoba merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta dapat merugikan diri sendiri, keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat tanpa mengenal strata ekonomi seseorang. Melihat perkembangan kejahatan narkotika tersebut, untuk penanganannya diperlukan extra-ordinary measure. Namun apakah meningkatkan strata kelembagaan BNN setingkat dengan kementerian merupakan solusi efektif dalam optimalisasi kinerja BNN?

Upgrade status BNN memang bukanlah satu-satunya solusi yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja penanggulangan narkotika. Akan tetapi peningkatan status kelembagaan tersebut sangat diperlukan dan sangat memengaruhi keberhasilan organisasi. Permasalahan utama yang dihadapi sistem penegakan hukum di Indonesia adalah disharmoni dalam sistem koordinasi.

Pola inkonvensional seperti yang diterapkan pada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP dalam ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 31/1999 mengakibatkan disharmoni sistem koordinasi. Bahkan hal itu memicu terjadinya konflik antarinstitusi. Konstruksi sistem penegakan hukum pidana yang destruktif tidak dapat memberikan jaminan optimalnya kinerja penegak hukum dan tercapainya tujuan penegakan hukum itu sendiri.

Kondisi tersebut diperparah dengan belum maksimalnya penyediaan infrastruktur penegakan hukum, terutama database dan sistem teknologi yang integral dari sudut pandang sistemik. Kepentingan upgrade status kelembagaan juga sesungguhnya didasarkan pada konsep kemitraan dan networking yang dalam budaya organisasi dan birokrasi di Indonesia dipengaruhi doktrin hierarki dalam konsep stratifikasi sosial yang tinggi.

Kesetaraan menjadi kata kunci terwujudnya kemitraan yang merupakan prasyarat pembentukan networking. Inilah alasan mendasar mengapa diperlukan upgrade status kelembagaan BNN setingkat dengan kementerian. Meskipun demikian, upgrade status kelembagaan BNN tersebut harus diikuti dengan penguatan sistem dan metode sehingga grade yang lebih tinggi tidak hanya menghasilkan produk yang sama dengan grade yang lebih rendah sebelumnya.

Keberhasilan penanganan tindak pidana narkotika tidak bisa diukur secara kuantitas saja. Misalnya hanya dengan banyaknya pelaku pengedar dan pecandu yang ditangkap atau banyaknya barang bukti narkotika yang disita. Akan tetapi perlu dilakukan peningkatan kualitas penanggulangan narkotika yang tidak hanya memutus mata rantai peredaran, tetapi juga melumpuhkan organisasi kejahatan narkotika hingga memiskinkan pelaku.

Barangkali kita dapat berkiblat ke metode penanganan perkara narkotika di Belanda yang menerapkan konsep follow the money dengan mengombinasikan undang-undang (UU) narkotika dengan UU money laundering. Penanganan narkotika di Belanda tersebut menggunakan metode financial criminal investigation dengan tracing asset keuntungan hasil kejahatan.

Metode itu sangat efektif memiskinkan pelaku kejahatan sehingga detteren effect yang ditimbulkan selain membuat jera pelaku juga membuat pelaku tidak memiliki modal untuk kembali berbisnis narkotika. Metode ini melumpuhkan sistem keuangan organisasi kejahatan narkotika.

Kendala utama yang akan dihadapi jika metode financial criminal investigation ala Belanda tersebut diterapkan di Indonesia adalah belum adanya konsep sistem koordinasi yang integral dan harmonis serta belum tersedianya infrastruktur berupa database dan sistem teknologi yang integral.

Oleh karena itu, untuk membangun sistem penegakan hukum yang tangguh melawan perkembangan kejahatan narkotika, harus dimulai dengan upgrade status BNN setingkat kementerian. Kemudian perlunya pembenahan konsep koordinasi yang harmonis dan integral, baik internal penegak hukum maupun antarinstansi terkait, penerapan metode yang efektif, dan pembenahan infrastruktur penegakan hukum.

Akhirnya, jika kita sepakat bahwa Indonesia darurat narkotika, sepatutnya menjadi tanggung jawab kita semua untuk mendukung upaya penanggulangan tindak pidana narkotika dengan extra-ordinary measure.

DR SUKARDI, SH, MHUM
Koran Sindo, 24/03/2016
Penyidik Subdit Money Laundering Direktorat Tipideksus Bareskrim Polri

0 comments: