Tuesday, 15 March 2016

Meneguhkan Gerakan Intelektualisme

Kemarin, 14 Maret 2016, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) genap berusia 52 tahun. Sebagai salah satu organisasi otonom (ortom) di lingkungan Persyarikatan, IMM memiliki posisi yang sangat strategis untuk membantu Muhammadiyah menjadi gerakan amal usaha sekaligus gerakan ilmu.
Itu karena basis aktivitas IMM adalah di perguruan tinggi. Dengan demikian, IMM memiliki modal sosial yang besar untuk menjadi gerakan intelektual. Jika Muhammadiyah ingin membangun masyarakat ilmu sebagaimana dicanangkan dalam muktamar ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, intelektualisme di kalangan aktivis IMM harus terus disemai.

Mengapa gerakan intelektualisme di Muhammadiyah penting dikembangkan? Jawabnya, karena pada usia ke- 103, Muhammadiyah telah menjelma menjadi gerakan amal usaha yang begitu besar. Berbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial sukses dicapai Muhammadiyah.

Capaian di bidang amal usaha tentu tidak boleh menjadikan Muhammadiyah berada di zona aman (comfort zone). Muhammadiyah harus terus bergerak, menyalakan api pembaruan (tajdid). Satu-satunya cara adalah dengan mengobarkan spirit intelektualisme. Hanya dengan cara inilah, Muhammadiyah bisa merespons berbagai wacana kontemporer.

Dengan usia lebih dari satu abad, banyak kesuksesan yang telah dicapai Muhammadiyah. Karena itu, tidak menghe-rankan jika Muhammadiyah mendapat pujian dari berbagai kalangan. Umumnya pujian itu berkaitan dengan kesuksesan Muhammadiyah mengelola amal usaha.

Pujian terhadap Muhammadiyah di antaranya dikemukakan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang besar, modern, dan sukses terutama sebagai gerakan amaliah. Cak Nur juga menegaskan bahwa dalam kalangan Islam, tidak saja nasional, melainkan internasional, Muhammadiyah merupakan sebuah cerita sukses (success story).

Tetapi, adaungkapanCakNur yang penting direnungkan, terutama oleh kaum muda Muhammadiyah yang tergabung dalam IMM. Di samping menyatakan kekagumannya, Cak Nur juga mengingatkan aktivis Muhammadiyah. Menurut Cak Nur, watak praksisme Muhammadiyah pada saatnya akan berimplikasi pada kurangnya wawasan.

Padahal, wawasan penting sebagai perangkat untuk memberikan kesadaran menyeluruh atas semua kegiatan amaliah. Wawasan bermanfaat sebagai sumber energi positif bagi pengembangan, inovasi, dan kreativitas kegiatan amaliah. Kecenderungan praksisme Muhammadiyah sejatinya juga diakui Ahmad Syafii Maarif.

Tokoh yang akrab disapa Buya Syafii ini menyadari bahwa Muhammadiyah lebih menonjol sebagai gerakan aksi daripada gerakan ide (intelektual). Sebagai gerakan aksi, kiprah Muhammadiyah dalam sejarah modern Indonesia sungguh luar biasa. Justru karena lebih menonjol sebagai gerakan aksi daripada gerakan intelektual itulah, banyak kritik dialamatkan pada Muhammadiyah.

Sebagian pengkritik bahkan menyoal label gerakan pembaruan (tajdid) yang melekat pada Muhammadiyah. Berbagai kritik telah dikemukakan kalangan dalam dan luar negeri sejak perhelatan Muktamar Ke-41 Muhammadiyah di Solo, Desember 1985. Untuk merespons berbagai kritik itu, Muhammadiyah melakukan perubahan nama Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.

Kepemimpinan hasil Muktamar Ke-43 Muhammadiyah di Aceh pada 1995 mempercayakan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam diketuai akademisi ternama, Amin Abdullah. Kini nama Majelis Tarjih kembali berubah menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid. Perubahan nama majelis yang menjadi ruh pembaruan ini penting untuk menekankan dimensi gerak dalam pemikiran Islam.

Dengan cara inilah, spirit tajdid diharapkan hidup kembali. Dengan demikian, kesadaran kolektif di kalangan Muhammadiyah terhadap tradisi intelektualisme diharapkan tumbuh subur. Kekhawatiran terhadap meredupnya spirit tajdid tampak menonjol di kalangan kaum muda Muhammadiyah, termasuk IMM.

Sejumlah pentolan IMM membentuk Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Kelompok ini menyelenggarakan serangkaian kegiatan workshop (tadarus) pemikiran Islam. Mereka juga rajin menulis buku-buku bertema sosial keislaman. Publikasi ide-ide yang mencerahkan melalui media massa juga dilakukan.

Berbagai kegiatan JIMM menandakan munculnya tradisi intelektualisme di tengah menguatkan gejala aktivisme dan praksisme di kalangan Muhammadiyah. Sayang sekali, keberadaan JIMM memicu perdebatan. Padahal, keberadaan JIMM didukung elite Muhammadiyah seperti Buya Syafii, Din Syamsuddin, Muslim Abdurrahman, Amin Abdullah, dan Munir Mulkhan.

Tokoh-tokoh senior ini berharap spirit intelektualisme JIMM menjadi energi positif bagi Muhammadiyah pada masa mendatang. JIMM juga diharapkan turut mengawal pemikiran keislaman Muhammadiyah yang bermazhab tengahan (al-wasathiyyah). Di luar warga Muhammadiyah, kehadiran JIMM juga disambut dengan sikap berbedabeda. Deliar Noer misalnya menganggap positif kehadiran JIMM.

Dia bahkan menyebut JIMM sebagai ”the second” Muhammadiyah. Respons yang menunjukkan sikap gelisah ditunjukkan Kuntowijoyo. Dia menyatakan bahwa setiap ada ”pemberontakan” kaum muda selalu muncul gejala ”sawan kekanak-kanakan”. Fenomena kekanak-kanakan berupa cara berpikir yang ”sok liberal”, ”kekiri-kirian”, dan ”sok radikal.”

Kuntowijoyo kemudian mencontohkan apa yang sedang diwacanakan aktivis JIMM yakni Islam kiri, Islam liberal, Islam proletar, Islam borjuis, dan pendidikan mazhab Paulo Freire. Terlepas ada pro dan kontra, kehadiran JIMM yang dipelopori aktivis IMM di sejumlah daerah telah menandakan bahwa api tajdid Muhammadiyah tetap menyala. Keluarga besar Muhammadiyah jelas berharap agar kepemimpinan hasil muktamar ke-47 terus menyemai spirit intelektualisme yang digelorakan angkatan muda.

Apalagi, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir dan Abd Mu’ti dikenal sebagai figur yang sangat bersahabat dengan gagasan progresif. Dua figur tersebut diyakini dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai rumah besar, tempat bertemunya berbagai mazhab pemikiran (school of thoughts).

Sudah saatnya Muhammadiyah menjadi tenda kultural bagi semua mazhab pemikiran keislaman. Apalagi Din Syamsuddin telah meletakkan fondasi terwujudnya paham Islam yang berkemajuan, moderat, dan ramah terhadap perbedaan. Kepemimpinan Muhammadiyah saat ini harus mengayomi semua mazhab pemikiran keagamaan. Model berpikir binaris yang selalu menghadapkan kelompok konservatif-progresif dan fundamental-liberal, harus ditanggalkan.

Semoga spirit intelektualisme Muhammadiyah terus terjaga. Harus ada kesediaan kaum muda Muhammadiyah yang menekuni kerjakerja intelektual. Selamat Milad Ke-52IMM. Semoga menjadi momentum untuk meneguhkan diri sebagai gerakan intelektual.

BIYANTO
Koran SIndo, 15/03/2016
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim

0 comments: