Sebelum ini, kita pernah sibuk
mendebat perihal Islam Nusantara. Banyak yang pro, tetapi banyak juga yang
sangat kontra. Alasan yang dibeberkan adalah tak mungkin kita “menasionalisasi”
agama. Entah itu benar atau salah, yang pasti, menurut pemahaman saya, jika, toh, kita tak bisa “menasionalisasi”,
tampaklah bahwa betapa agama itu sangat kaku. Saking kakunya, agama tak bisa
diterjemahkan sesuai dengan konteks. Agama menjadi benar di segala tempat dan
juga di segala waktu.
Agama
bahkan tampak menjadi barang mewah yang dominan dan determinan. Agama
menganggkangi negara dan negara terlihat tak bisa mengarah atau menyesuaikannya
ke adat setempat, termasuk ke hukum setempat. Dalam hal ini, warga negara yang
adalah hidup dari negara terlihat sekali lebih menakuti aturan agama daripada
aturan negara. Boleh jadi itu benar. Tetapi, apakah agama tak membenarkan
keberadaan sebuah negara? Dan,bukankah negara justru mendorong kita agar patuh
pada hukum negara? Lagipula, tidakkah idealnya manusia lebih tinggi dari agama?
Agama hanya jalan, bukan sosok yang akan masuk surga?
Agama itu Luwes
Maksud
saya menanyakan ini adalah betapa kakunya kita selama ini mengartikan agama.
Padahal, agama itu sangat luwes dan memberi kita ruang yang luas untuk
memaknainya. Buktinya, bersebarnya agama Islam dan Nasrani di negeri ini pada
masa kolonialisme adalah terjadi karena keluwesannya dan keberterimaannya pada
budaya setempat. Agamalah yang menyesuaikan diri pada budaya, bukan sebaliknya.
Saya tak mau bilang agar kita menolak ajaran agama, tetapi justru mengajak agar
kita memandang bahwa agama itu bukanlah sesuatu yang sangat
otoriter. Agama bukan Hitler.
Nah,
kembali ke Hari Raya Nyepi. Nyepi adalah sebuah ritual yang meniscayakan agar
umat kembali
suci, bersih, dengan pendalaman spiritual yang mantap. Ini dirayakan secara
khidmat melalui caturbrata (empat pantangan), yang terdiri atas melasti atau
mekiyis, tawur, sipeng (nyepi), dan ngembak nyepi (geni).
Mengutip I Nengah Segara Seni, melasti
adalah ritual melaksanakan upacara untuk angamet sarining bhuana, angelebur
malaning bhumi atau mengambil sari-sari bumi dan membersihkan kotoran dunia.
Adapun tawur adalah upacara di perempatan jalan, pada pusat pemerintahan
(provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa) untuk menetralisasi keadaan bhuana
agung (jagat raya) dan bhuana alit (tubuh manusia).
Sehari setelah upacara tawur,
barulah dilaksanakan puncak acara, yakni sipeng (nyepi), yakni inti dari
peringatan pergantian tahun. Ada empat hal yang selalu menjadi titik perhatian
dari caturbrata (empat pantangan), seperti amati geni (tak menyalakan api),
amati karya(tak bekerja), amati lelungan (tak bepergian), dan amati lelanguan
(tidak mencari hiburan).
Inti dari semua pantangan itu,
manusia sebagai makhluk ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa, harus menjalani puasa
secara utuh, baik secara aktivitas duniawi maupun rohani. Jadi, hari ini merupakan
salah satu hari raya yang mendorong kita untuk menyepi. Menyepi untuk
mengumpulkan kekuatan spiritual agar kita kembali menjadi manusia yang sejati,
yang bersih.
Tanpa bermaksud mendangkalkan,
tetapi justru menguatkan, agama-agama samawi juga punya spirit yang sama dengan
Nyepi, yaitu melalui puasa. Puasa, sebagaimana kita tahu, adalah juga bukan
semata merayakan untuk tidak makan dan minum, tetapi menarik diri pada
keheningan. Budha juga punya ritual yang identik, yaitu melalui meditasi. Maka
itu, dapat dibilang, puasa, meditasi, nyepi, adalah ritual yang menarik manusia
pada keheningan. Mengapa keheningan?
Merayakan
Nusantara
Keheningan adalah keadaan manusia
paling awal, tepat ketika kita berada di rahim. Tuhan pun mencipta kita dari
sebuah keheningan. Keheningan adalah tempat untuk menjenguk kebatinan. Kebatinan
ini dijenguk karena selama ini kita terlalu mengasyiki yang lahir hingga lupa
merayakan yang batin. Apa itu yang lahir dan yang batin?
Yang lahir adalah keriuhan dan
yang batin adalah keteduhan. Mestinya, keduanya berimbang, tetapi kita, sekali
lagi, lebih doyan menghinggapi keriuhan. Kita lebih suka mengikuti irama
hiruk-pikuk. Kita lebih suka pesta huru-hara. Padahal, kesegalanya itu, sebagaimana yang dipentaskan oleh
para politisi dan pesohor berikut dengan nafsu-nafsu kekuasaan serta
keserakahannya hanyalah luapan ego manusia yang mengapung dangkal di permukaan
kehidupan.
Ini tentu bukanlah hakikat hati dan tubuh kita. Bukankah kita terlahir
ibarat kertas putih, seperti kata Ebiet G. Ade, kita mesti telanjang dan
benar-benar bersih? Tidak ada yang melekat, kecuali keheningan saat kita lahir?
Dengan demikian, segala kemelakatan yang ada pada kita hanyalah kosmetika yang
sama sekali tak penting!
Maka itulah, sejatinya manusia tidak pernah dan tak akan pernah bahagia
dengan semua kemelakatan karena memang, itu bukan diri kita. Ibarat begini,
karena perang adalah keriuhan, mungkinkah manusia dapat bertahan hidup dalam
situasi seperti ini, di mana bara permusahan dan kebencian meletup-letup?
Jadi, memaknai Hari Raya Nyepi ini adalah sebuah imperasi agar kita
kembali bereuni dengan diri kita, dengan tubuh kita. Melihat diri kita yang
telanjang dan yang suci. Jika di sana, yaitu di tubuh kita melekat
ketidaksenonohan, kehebohan, keserakahan, kemewahan, inilah saatnya bagi kita
melepasnya. Mungkin, sangat tak mungkin kita melepasnya untuk selamanya.
Tetapi, bukankah menjadi kesenangan tersendiri manakala kita bisa kembali
bereuni, bahkan setubuh kembali dengan tubuh dan jiwa kita?
Dalam konteks yang lebih luas, memaknai Nyepi bagi negeri kita Indonesia
ini juga menjadi kemestian agar kita melihat sejarah tubuh negeri kita yang
guyub, yang berbeda tapi bersama, yang menghormati sama lain, yang mengagungkan
persaudaraan. Kita boleh menerima paham dari yang lain, tetapi bukan menjadi
sebuah bentuk penjajahan dan pengingkaran atas budaya kita. Bukankah dari dulu
kita menerima “agama impor” ini (Nasrani, Hindu, Budha, Islam, Konghucu) karena
agama ini mampu menerima budaya kita?
Nah, kalau agama ini menerima budaya kita, mengapa kita menjadi arogan
yang lalu menganggap budaya kita sebagai yang tak pantas masuk agama? Mengapa
kita tak membuatnya menjadi nusantara sebagai perekat? Ya, merayakan Nyepi
adalah membawa tubuh dan jiwa kita kembali ke sejarah kita yang adalah satu.
Tak ada pengingkaran. Selamat Hari Raya Nyepi dan selamat merayakan Nusantara!
Pegiat Literasi,
Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus
Inten Medan






0 comments:
Post a Comment