Wednesday, 2 March 2016

MEA dan Tantangan Industri Pangan Lokal

Pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah diberlakukan sejak Januari 2016. Pasar pangan olahan di kawasan Asia Tenggara akan kian terbuka. Pelaku industri pangan lokal menghadapi tantangan berat.
Jika tidak ingin produknya kalah bersaing dengan produk pangan yang sama dari negara-negara anggota ASEAN lainnya, pelaku industri pangan lokal harus mempersiapkan diri lebih serius. Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa—terbanyak di kawasan Asia Tenggara, Indonesiamenjadipasarpanganyang menggiurkan.

Lantas, apakah pelaku industri pangan lokal siap menghadapi pasar tunggal MEA? Bagaimana peran perguruan tinggi membantu mengatrol mutu produk pangan lokal? Dua pertanyaan ini amat penting dikemukakan mengingat selama ini persyaratan mutu yang terlampau ketat mengakibatkan inovasi produk pangan lokal seringkali kalah dengan produk luar negeri. Akhirnya, opsi pangan impor pun diambil.

Kesiapan Mutu

Indonesia diharapkan berperan penting dalam membangun integrasi rantai produksi pangan baru di kawasan ASEAN. Selama ini kita hanya dikenal sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar produk pangan negara-negara maju. Indonesia harus bangkit untuk menjadi basis produksi pangan dunia.

Permintaan pangan yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk patut diimbangi dengan kesiapan mutu produk olahan pangan lokal. Penguatan industri pangan lokal di tengah kian terbukanya pasar bebas menghadapi persoalan yang sangat serius. Urusan pangan yang seharusnya mendapat kontrol negara secara penuh, seperti amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kini diserahkan kepada mekanisme dan kebuasan pasar.

Kemandirian pangan nasional semakin rapuh karena pangan akan dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal. Saat ini saja kebutuhan pangan nasional 70% bergantung dari impor dengan jumlah rupiah yang dibelanjakan setiap tahun tidak kurang dari Rp300 triliun. Penilaian masyarakat terhadap perjalanan panjang pembangunan industri pangan lokal pada umumnya disebut tumbuh alamiah di tengah menumpuknya berbagai masalah yang menghadang.

Minimnya akses permodalan, tiadanya jaminan harga, penguasaan teknologi pangan yang masih rendah, dan mutu sumber daya manusia yang apa adanya adalah serpihan contoh. Di samping itu, pengalaman lain dari para pelaku industri pangan lokal skala rumah tangga atau lazim disebut UMKM bidang pangan acap menghadapi soal perizinan yang rumit, regulasi yang seringkali berubah-ubah, dan ekonomi biaya tinggi karena korupsi birokrat.

Masalah baru akan segera menghadang ketika percepatan konektivitas diwujudkan pada MEA. Konektivitas diduga akan lebih mempermudah produk pangan negara lain anggota ASEAN masuk ke pasar domestik. Saat ini saja pasar domestik sudah dibanjiri berbagai macam produk pangan asing. Mulai dari makanan olahan, buah-buahan, dan produk pertanian lainnya berupa kedelai, beras, daging, jagung, bawang, gula, dan lain-lain.

Selama ini UMKM pangan lokal dibiarkan bersaing—untuk tidak mengatakan ditelantarkan— dengan koleganya yang berasal dari sejumlah negara maju tanpa proteksi. Bayangkan, sebuah UMKM pangan lokal di Medan misalnya yang dibebani berbagai masalah harus bersaing dengan UMKM sejenis dari Malaysia dan Thailand yang menikmati berbagai fasilitas dari pemerintahnya mulai dari permodalan, sarana dan prasarana, pelatihan teknologi dan inovasi kemasan, serta akses informasi pasar terkini.

UMKM pangan lokal—teruji tangguh saat mengatasi badai krisis ekonomi 1998—yang minim dukungan pemerintah sudah pasti kalah bersaing dari aspek mutu. Persoalan fundamental seperti standar pelayanan minimal bidang mutu dan keamanan pangan menjadi isu yang sangat strategis untuk difasilitasi.

Mendorong pengembangan UMKM pangan lokal agar mutu produk olahannya lebih baik harus dilakukan percepatan lewat pelatihan berkelanjutan. Potensi menuju ke sana sangat besar karena tersedia bahan baku yang melimpah dan perubahan tatanan ekonomi dunia memberi ruang meningkatkan ekspor produk pangan olahan.

Sangat Strategis

Berbagai suara kekha-watiran kerap disampaikan sejumlah kalangan. Siapkah industri pangan lokal menghadapi MEA? Pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran itu cukup beralasan mengingat konfigurasi industri pangan nasional sebagian besar masih terdiri atas usaha kecil dan menengah (UMKM).

Untuk memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) saja masih terseok- seok, konon lagi untuk standar ASEAN! Padahal, salah satu sektor ekonomi yang sangat strategis untuk dikembangkan terkait MEA adalah industri pangan lokal. Namun, pengembangannya menghadapi tantangan tersendiri. Pemerintah patut mengantisipasi hal ini secara lebih serius untuk menghindari pasar domestik dikuasai oleh industri pangan negara-negara tetangga yang ternyata lebih siap.

Pemerintah patut memahami secara baik bahwa pengelolaan industri pangan secara baik akan menetaskan sektor agribisnis pangan lokal yang berdaya saing tinggi untuk mengatrol kesejahteraan warga. Mutu produk pangan olahan yang berdaya saing tinggi itu bahkan diharapkan berimbas positif pada proses pencapaian penguatan kedaulatan pangan seperti termaktub dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Untuk itu, kehadiran pelatihan teknologi tepat guna di bidang pangan sangat dibutuhkan pelaku industri karena mendorong inovasi terkait pengembangan mutu dan keamanan produk pangan baru yang berdaya saing tinggi. Terkait dengan itu, peningkatan efisiensi dan standardisasi produk menjadi faktor pendukung yang amat penting diperhatikan dengan melibatkan perguruan tinggi untuk memperkuat riset di tataran teknologi pangan.

Pembentukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi diharapkan dapat menjadi biokatalisator yang efektif untuk mengatrol mutu sumber daya manusia yang mampu menghasilkan percepatan kemajuan iptek untuk mendorong keberhasilan industri pangan lokal. Proses hilirisasi riset pangan dari perguruan tinggi patut diarahkan untuk menghasilkan produk pangan baru yang bermutu baik guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Penguatan industri pangan lokal, keberhasilannya, membutuhkan sentuhan pemikiran dari insan perguruan tinggi. Terlebih di tengah masalah lama yang acap menjadi ganjalan. Produknya kerap kurang dipercayai oleh konsumen karena menggunakan bahan tambahan makanan yang tidak dianjurkan pemerintah. Bahan tambahan tersebut antara lain boraks, formalin, penyedap rasa berlebihan, dan pewarna tekstil.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak diizinkan ini akan menurunkan mutu. Bagi Indonesia yang dipuja dan puji sebagai negara agraris patut memanfaatkan peluang MEA untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Out comenya mempersempit ketimpangan kesejahteraan antara warga perkotaan dan perdesaan yang bermuara untuk mengurangi laju urbanisasi.

Hal yang tak kalah penting ialah industri pangan lokal akan lebih mudah memasuki pasar yang lebih sulit lagi yakni ASEAN+6 (Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru).
POSMAN SIBUEA
Koran Sindo, 03/03/2016
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan, Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser) 

0 comments: