Hiruk-pikuk perihal rencana revisi Undang- Undang No 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) akhirnya kembali berujung
pada penundaan.
Rencana revisi UU KPK bukan kali ini saja mandek dan seakan membentur tembok tebal. Sejak diwacanakan pada 2010 silam, rencana revisi UU KPK selalu menuai kontroversi dan memantik perdebatan panjang, menguras energi, serta menyita perhatian publik. Padahal, sejak 2011, revisi UU KPK menjadi salah satu rancangan undang-undang yang menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Bahkan, pada Oktober 2012, Komisi Hukum DPR yang ketika itu ditugasi menyusun naskah akademik dan RUU telah memberikan persetujuannya untuk menyerahkannya kepada Badan Legislasi DPR untuk melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsep.
Akan tetapi proses ini kemudian berhenti ketika Presiden SBY saat itu, melalui pernyataannya yang dimuat dalam beberapa media, menegaskan sikap politiknya yang sepertinya enggan membahas revisi UU KPK dengan berbagai alasan yang dibuat. Padahal, awalnya, salah satu penggagas revisi UU KPK adalah politisi yang bernaung dalam partai politik yang menyokong pemerintahan Presiden SBY ketika itu.
Dalam perkembangan berikutnya, di awal pemerintahan Presiden Jokowi, sejarah kembali mengulang proses yang telah terjadi dalam periode pemerintahan sebelumnya. Ketika rencana revisi UU KPK kembali digulirkan sejak awal tahun 2015, seluruh fraksi di DPR dan Pemerintah setuju untuk kembali menempatkan agenda revisi UU KPK sebagai salah satu prioritas dalam Prolegnas untuk dilakukan pembahasan pada 2015.
Namun, lagi-lagi, proses ini berhenti ketika pada 13 Oktober 2015, Presiden Jokowi dan pimpinan DPR menyepakati dalam forum rapat konsultasi untuk menunda pembahasan revisi UU KPK. Alasan penundaan disebabkan ketika itu pemerintah dan DPR sementara fokus untuk membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2016) dengan dalih, guna memastikan program dan kebijakan ekonomi berjalan dengan baik.
Selanjutnya, di awal 2016, kembali DPR menyetujui membahas revisi UU KPK dalam forum rapat harmonisasi oleh Badan Legislasi dengan dihadiri para pengusul yang menjadi inisiator revisi UU KPK. Bahkan mayoritas pengusul revisi UU KPK kembali digaungkan politisi yang menyokong pemerintahan.
Proses ini kembali berhenti, penundaan dibuat, lagilagi setelah pimpinan DPR bertemu dalam forum rapat konsultasi dengan Presiden Jokowi yang kemudian menghasilkan beberapa alasan yang mendasari ditundanya pembahasan terhadap revisi UU KPK.
Beragam alasan muncul dan dinyatakan di hadapan publik, misalnya, agar tidak terjadi kegaduhan politik, masih dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui urgensi revisi, masih perlunya mematangkan rencana revisi serta rencana pemerintah dan DPR mengundang pihakpihak yang tidak setuju dengan revisi UU KPK.
Membajak Mekanisme
Penundaan rencana revisi UU KPK dengan berbagai alasan yang melingkupinya menyisakan beberapa catatan menarik. Pertama, penundaan revisi RUU KPK nyata-nyata mendistorsi kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang menurut amanat konstitusi (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945) sekaligus menafikan hak konstitusional anggota DPR dalam mengajukan usulan rancangan undangundang sebagaimana yang tertera dalam Pasal 21 UUD 1945, yaitu “anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
Dengan adanya pengaturan yang demikian, dalam konteks ini, penundaan yang dilakukan bisa jadi dikarenakan pimpinan DPR dan Presiden Jokowi “gagal paham” mengenai mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan.
Jika mengacu pada pendekatan yuridis-formal, kebijakan yang menggunakan terminologi penundaan yangdilakukanmelalui forum rapat konsultasi antara pimpinan DPR dengan Presiden seakan “membajak”, sejak awal, proses dan mekanisme pembahasansebuah konsep rancangan undang-undang yang telah diatur secara normatif, baku, dan mengikat, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dan peraturan teknis lainnya, salah satunya melalui Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Yang mesti digarisbawahi, ketika penundaan dilakukan, rencana revisi UU KPK masih dalam bentuk konsep di mana konsep revisi UU KPK dapat diartikan sebagai abstraksi ide atau representasi gagasan pengusul yang dituangkan dalam bentuk draf rancangan undangundang, yang tentunya membutuhkan pengesahan melalui forum rapat paripurna DPR untuk dapat menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR.
Pada tahap konsep, dalam konteks rancangan undangundang usul inisiatif DPR, penyusunan sebuah rancangan undang-undang menjadi domain mutlak anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi DPR sebagai usul inisiatif (Pasal 112 Peraturan DPR Nomor 1/2014).
Karena itu sudah sewajarnya konsep (draf) rancangan undang-undang yang telah melalui proses dan tahapan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi diajukan oleh pengusul kepada pimpinan DPR untuk disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk diusulkan menjadi rancangan undangundang DPR.
Kedua, pertanyaannya kemudian, dapatkah DPR dan Presiden dalam forum rapat konsultasi menunda konsep (draf awal) rancangan undangundang? Secara normatif, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan, mestinya dipahami dalam cakupan yang dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/ penetapan, dan pengundangan.
Dalam konteks ini, posisi DPR dan Presiden hanya akan bertemu dalam forum pembahasan sebuah rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat 2 UUD 1945), sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan Slamet Effendy Yusuf yang ketika itu menjadi ketua rapat PAH III (perubahan UUD 1945). Dia menjelaskan, “...pada prinsipnya sebenarnya kekuasaan legislatif itu adalah beradapadaPasal20 ayat (1), di sana d i k a t a k a n b a h w a D e w a n Perwakilan Rakyat memegang k ekuasaan membentuk u n d a n g - undang.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah undang-undang ketika dibahas, apakah dibahas oleh DPR saja atau kita menganut model yang selamainiberlangsungyaitu, bersama pemerintah. Karena itu, muncullah ayat (2) pada Pasal 20 UUD, yaitu setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku III Jilid 2, hlm 853).
Pesan ini jelas menegaskan porsi kekuasaan DPR selaku inisiator pembentukan undangundang sehingga pada tahap perencanaan dan penyusunan sebuah rancangan undangundang yang nantinya menjadi usul inisiatif DPR, tentunya menjadi hak dan wewenang DPR. Di sinilah titik tekan maksud dari perubahan UUD 1945 yang menggeser pola kekuasaan yang semula bersandarkan pada kekuasaan eksekutif (executive heavy) menuju pemberdayaan legislatif (legislative heavy ).
Selanjutnya, jika dipelajari original intent perumusan perubahan UUD 1945 dapat diketahui sikap batin para perumus perubahan UUD 1945 ketika itu, di antaranya pandangan yang dikemukakan oleh Zain Badjeber (F-PPP) sebagai berikut: “...usul inisiatif anggota DPR tidak langsung dia RUU, tetapi belum RUU hasil DPR sehingga tidak ada pembahasan bersama dengan Presiden, karena harus dibahas dulu di antara apakah semua fraksi DPR setuju dengan usul inisiatif itu.
Jadi antara anggota DPR itu harus menyetujui untuk menjadi produk RUU DPR. Nah, apakah itu juga termasuk apa yang dimaksud pada Pasal 20. Artinya, yang sudah disetujui oleh DPR tidak boleh ditolak oleh Presiden padahal belum dibahas bersama. Nah, ini kan ada kekecualian bahwa pembahasan bersama antara DPR dan Presiden hanya menyangkut RUU yang sudah disepakati oleh DPR....” (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku III Jilid 2, hlm 799).
Ketiga, bersandar pada kerangka pikir di atas, semestinya konsep yang menjadi draf awal revisi UU KPK, yang diusulkan oleh anggota DPR dan telah dibahas dalam rapat Badan Legislasi, tidak “dibajak” secara semena-mena oleh pimpinan DPR dan Presiden dalam forum rapat konsultasi, kendatipun, dalih penolakan revisi UU KPK menjadi salah satu pertimbangannya. Bagaimanapun massifnya penolakan, sejatinya tidak menafikan mekanisme yang telah disepakati.
Semestinya arus penolakan disalurkan melalui pandangan fraksi-fraksi dalam rapat paripurna DPR, dalam konteks penyempurnaan rancangan undang-undang, masing-masing fraksi diberikan hak untuk mengemukakan pendapatnya, baik yang berupa persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan perubahan, atau bahkan berupa penolakan terhadap draf revisi UU KPK (Pasal 124 Peraturan DPR Nomor 1/2014).
Sebaliknya, jika Presiden yang menolak revisi UU KPK, idealnya ketika konsep revisi UU KPK telah menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR yang disahkan melalui rapat paripurna, argumentasi penolakan Presiden dapat disalurkan melalui forum pembahasan yang dilakukan dalam pembicaraan tingkat pertama antara DPR dan Presiden, yaitu melalui pandangan Presiden yang disampaikan dalam pengantar musyawarah jika rancangan undang-undang berasal dari DPR serta penyampaian pokok-pokok penolakan melalui daftar inventarisasi masalah yang dibuat Presiden (Pasal 68 ayat (2) dan (3) UU Nomor 12/2011).
Dalam konteks negara hukum yang demokratis, praktik politik yang dilakukan pimpinan DPRdanPresidenmenunjukkan belum dipahaminya proses dan tahapan mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan. Kenyataan ini juga kembali menegaskan bahwa proses pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan kerap kali dipengaruhi kepentingan politik.
Bahkan, pola “pembajakan” sebuah konsep (draf) rancangan undang-undang, yang dipraktikkan melalui forum rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan Presiden, berpotensi kembali membalik pola pergeseran kekuasaan legislatif selaku pemegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang, menjadi executive heavy sebagaimana yang dipraktikkan dalam pemerintahan Orde Baru.
Anehnya, forum rapat konsultasi hanya berlaku jika revisi akan dilakukan terhadap UU KPK, forum rapat konsultasi tidak berlaku terhadap pembahasan seluruh rancangan undang-undang yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas 2016.
Ke depan, kita hanya bisa berharap agar pimpinan DPR dan Presiden masingmasing memahami pola hubungan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif agar proses berbangsa dan bernegara berjalan sebagaimana mestinya sesuai amanat konstitusi.
Rencana revisi UU KPK bukan kali ini saja mandek dan seakan membentur tembok tebal. Sejak diwacanakan pada 2010 silam, rencana revisi UU KPK selalu menuai kontroversi dan memantik perdebatan panjang, menguras energi, serta menyita perhatian publik. Padahal, sejak 2011, revisi UU KPK menjadi salah satu rancangan undang-undang yang menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Bahkan, pada Oktober 2012, Komisi Hukum DPR yang ketika itu ditugasi menyusun naskah akademik dan RUU telah memberikan persetujuannya untuk menyerahkannya kepada Badan Legislasi DPR untuk melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsep.
Akan tetapi proses ini kemudian berhenti ketika Presiden SBY saat itu, melalui pernyataannya yang dimuat dalam beberapa media, menegaskan sikap politiknya yang sepertinya enggan membahas revisi UU KPK dengan berbagai alasan yang dibuat. Padahal, awalnya, salah satu penggagas revisi UU KPK adalah politisi yang bernaung dalam partai politik yang menyokong pemerintahan Presiden SBY ketika itu.
Dalam perkembangan berikutnya, di awal pemerintahan Presiden Jokowi, sejarah kembali mengulang proses yang telah terjadi dalam periode pemerintahan sebelumnya. Ketika rencana revisi UU KPK kembali digulirkan sejak awal tahun 2015, seluruh fraksi di DPR dan Pemerintah setuju untuk kembali menempatkan agenda revisi UU KPK sebagai salah satu prioritas dalam Prolegnas untuk dilakukan pembahasan pada 2015.
Namun, lagi-lagi, proses ini berhenti ketika pada 13 Oktober 2015, Presiden Jokowi dan pimpinan DPR menyepakati dalam forum rapat konsultasi untuk menunda pembahasan revisi UU KPK. Alasan penundaan disebabkan ketika itu pemerintah dan DPR sementara fokus untuk membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2016) dengan dalih, guna memastikan program dan kebijakan ekonomi berjalan dengan baik.
Selanjutnya, di awal 2016, kembali DPR menyetujui membahas revisi UU KPK dalam forum rapat harmonisasi oleh Badan Legislasi dengan dihadiri para pengusul yang menjadi inisiator revisi UU KPK. Bahkan mayoritas pengusul revisi UU KPK kembali digaungkan politisi yang menyokong pemerintahan.
Proses ini kembali berhenti, penundaan dibuat, lagilagi setelah pimpinan DPR bertemu dalam forum rapat konsultasi dengan Presiden Jokowi yang kemudian menghasilkan beberapa alasan yang mendasari ditundanya pembahasan terhadap revisi UU KPK.
Beragam alasan muncul dan dinyatakan di hadapan publik, misalnya, agar tidak terjadi kegaduhan politik, masih dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui urgensi revisi, masih perlunya mematangkan rencana revisi serta rencana pemerintah dan DPR mengundang pihakpihak yang tidak setuju dengan revisi UU KPK.
Membajak Mekanisme
Penundaan rencana revisi UU KPK dengan berbagai alasan yang melingkupinya menyisakan beberapa catatan menarik. Pertama, penundaan revisi RUU KPK nyata-nyata mendistorsi kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang menurut amanat konstitusi (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945) sekaligus menafikan hak konstitusional anggota DPR dalam mengajukan usulan rancangan undangundang sebagaimana yang tertera dalam Pasal 21 UUD 1945, yaitu “anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
Dengan adanya pengaturan yang demikian, dalam konteks ini, penundaan yang dilakukan bisa jadi dikarenakan pimpinan DPR dan Presiden Jokowi “gagal paham” mengenai mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan.
Jika mengacu pada pendekatan yuridis-formal, kebijakan yang menggunakan terminologi penundaan yangdilakukanmelalui forum rapat konsultasi antara pimpinan DPR dengan Presiden seakan “membajak”, sejak awal, proses dan mekanisme pembahasansebuah konsep rancangan undang-undang yang telah diatur secara normatif, baku, dan mengikat, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dan peraturan teknis lainnya, salah satunya melalui Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Yang mesti digarisbawahi, ketika penundaan dilakukan, rencana revisi UU KPK masih dalam bentuk konsep di mana konsep revisi UU KPK dapat diartikan sebagai abstraksi ide atau representasi gagasan pengusul yang dituangkan dalam bentuk draf rancangan undangundang, yang tentunya membutuhkan pengesahan melalui forum rapat paripurna DPR untuk dapat menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR.
Pada tahap konsep, dalam konteks rancangan undangundang usul inisiatif DPR, penyusunan sebuah rancangan undang-undang menjadi domain mutlak anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi DPR sebagai usul inisiatif (Pasal 112 Peraturan DPR Nomor 1/2014).
Karena itu sudah sewajarnya konsep (draf) rancangan undang-undang yang telah melalui proses dan tahapan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi diajukan oleh pengusul kepada pimpinan DPR untuk disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk diusulkan menjadi rancangan undangundang DPR.
Kedua, pertanyaannya kemudian, dapatkah DPR dan Presiden dalam forum rapat konsultasi menunda konsep (draf awal) rancangan undangundang? Secara normatif, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan, mestinya dipahami dalam cakupan yang dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/ penetapan, dan pengundangan.
Dalam konteks ini, posisi DPR dan Presiden hanya akan bertemu dalam forum pembahasan sebuah rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat 2 UUD 1945), sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan Slamet Effendy Yusuf yang ketika itu menjadi ketua rapat PAH III (perubahan UUD 1945). Dia menjelaskan, “...pada prinsipnya sebenarnya kekuasaan legislatif itu adalah beradapadaPasal20 ayat (1), di sana d i k a t a k a n b a h w a D e w a n Perwakilan Rakyat memegang k ekuasaan membentuk u n d a n g - undang.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah undang-undang ketika dibahas, apakah dibahas oleh DPR saja atau kita menganut model yang selamainiberlangsungyaitu, bersama pemerintah. Karena itu, muncullah ayat (2) pada Pasal 20 UUD, yaitu setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku III Jilid 2, hlm 853).
Pesan ini jelas menegaskan porsi kekuasaan DPR selaku inisiator pembentukan undangundang sehingga pada tahap perencanaan dan penyusunan sebuah rancangan undangundang yang nantinya menjadi usul inisiatif DPR, tentunya menjadi hak dan wewenang DPR. Di sinilah titik tekan maksud dari perubahan UUD 1945 yang menggeser pola kekuasaan yang semula bersandarkan pada kekuasaan eksekutif (executive heavy) menuju pemberdayaan legislatif (legislative heavy ).
Selanjutnya, jika dipelajari original intent perumusan perubahan UUD 1945 dapat diketahui sikap batin para perumus perubahan UUD 1945 ketika itu, di antaranya pandangan yang dikemukakan oleh Zain Badjeber (F-PPP) sebagai berikut: “...usul inisiatif anggota DPR tidak langsung dia RUU, tetapi belum RUU hasil DPR sehingga tidak ada pembahasan bersama dengan Presiden, karena harus dibahas dulu di antara apakah semua fraksi DPR setuju dengan usul inisiatif itu.
Jadi antara anggota DPR itu harus menyetujui untuk menjadi produk RUU DPR. Nah, apakah itu juga termasuk apa yang dimaksud pada Pasal 20. Artinya, yang sudah disetujui oleh DPR tidak boleh ditolak oleh Presiden padahal belum dibahas bersama. Nah, ini kan ada kekecualian bahwa pembahasan bersama antara DPR dan Presiden hanya menyangkut RUU yang sudah disepakati oleh DPR....” (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku III Jilid 2, hlm 799).
Ketiga, bersandar pada kerangka pikir di atas, semestinya konsep yang menjadi draf awal revisi UU KPK, yang diusulkan oleh anggota DPR dan telah dibahas dalam rapat Badan Legislasi, tidak “dibajak” secara semena-mena oleh pimpinan DPR dan Presiden dalam forum rapat konsultasi, kendatipun, dalih penolakan revisi UU KPK menjadi salah satu pertimbangannya. Bagaimanapun massifnya penolakan, sejatinya tidak menafikan mekanisme yang telah disepakati.
Semestinya arus penolakan disalurkan melalui pandangan fraksi-fraksi dalam rapat paripurna DPR, dalam konteks penyempurnaan rancangan undang-undang, masing-masing fraksi diberikan hak untuk mengemukakan pendapatnya, baik yang berupa persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan perubahan, atau bahkan berupa penolakan terhadap draf revisi UU KPK (Pasal 124 Peraturan DPR Nomor 1/2014).
Sebaliknya, jika Presiden yang menolak revisi UU KPK, idealnya ketika konsep revisi UU KPK telah menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR yang disahkan melalui rapat paripurna, argumentasi penolakan Presiden dapat disalurkan melalui forum pembahasan yang dilakukan dalam pembicaraan tingkat pertama antara DPR dan Presiden, yaitu melalui pandangan Presiden yang disampaikan dalam pengantar musyawarah jika rancangan undang-undang berasal dari DPR serta penyampaian pokok-pokok penolakan melalui daftar inventarisasi masalah yang dibuat Presiden (Pasal 68 ayat (2) dan (3) UU Nomor 12/2011).
Dalam konteks negara hukum yang demokratis, praktik politik yang dilakukan pimpinan DPRdanPresidenmenunjukkan belum dipahaminya proses dan tahapan mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan. Kenyataan ini juga kembali menegaskan bahwa proses pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan kerap kali dipengaruhi kepentingan politik.
Bahkan, pola “pembajakan” sebuah konsep (draf) rancangan undang-undang, yang dipraktikkan melalui forum rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan Presiden, berpotensi kembali membalik pola pergeseran kekuasaan legislatif selaku pemegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang, menjadi executive heavy sebagaimana yang dipraktikkan dalam pemerintahan Orde Baru.
Anehnya, forum rapat konsultasi hanya berlaku jika revisi akan dilakukan terhadap UU KPK, forum rapat konsultasi tidak berlaku terhadap pembahasan seluruh rancangan undang-undang yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas 2016.
Ke depan, kita hanya bisa berharap agar pimpinan DPR dan Presiden masingmasing memahami pola hubungan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif agar proses berbangsa dan bernegara berjalan sebagaimana mestinya sesuai amanat konstitusi.
AHMAD YANI, SH, MH
Koran Sindo, 03/03/2016
Koran Sindo, 03/03/2016
Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI dan Pendiri Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
0 comments:
Post a Comment