Sunday, 28 February 2016

“Zero Tolerance” terhadap Kejahatan Mutilasi Anak

Perbuatan sadis yang dilakukan oknum anggota polisi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat telah “menggegerkan”.
Betapa tidak, polisi seharusnya menjadi pelindung justru melakukan pembunuhan kepada dua anak kandungnya yang masih berumur lima dan tiga tahun, suatu hal yang ironi dalam nalar dan logika kemanusiaan.

Kata “mutilasi” belakangan memang sering dipakai, terutama oleh media massa, untuk menggambarkan tindakan pembunuhanyangdisertaikekerasan berupa memotong bagian-bagian tubuh korban. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan; (mu•ti•la•si) n proses atau tindakan memotong-motong (biasa-nya) pada tubuh manusia atau hewan (Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Sedangkan American Heritage Stedmans Medical Dictionary menyatakan mutilasi adalah disfigurement or injury by removal or destruction of a conspicuous or essential part of the body (Cacat atau cedera dengan menghilangkan atau merusak bagian mencolok atau terpenting dari tubuh). ( sumber : The American Heritage Stedman’s Medical Dictionary 2002).

Menurut Webster Unabridged Dictionary “The act of mutilating, or the state of being mutilated; deprivation of a limb or of an essential part yaitu tindakan mutilasi, atau keadaan yang dimutilasi, kekurangan anggota tubuh atau bagian penting (Sumber: Webster’s Unabridged Dictionary Webster 1913). Dalam konteks hukum pidana, pengertian mutilasi tergambar dalam Black Law Dictionary.

Berdasarkan kamus yang biasa dipakai orang hukum ini, mutilasi adalah the act of cutting off or permanently damaging a body part, esp. an essential one. Dalam KUHP, perbuatan mutilasi merujuk pada pembunuhan berencana (pasal 340) atau pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan pidana (pasal 339). Bisa juga hanya merujuk pada pembunuhan biasa (pasal 338).

Dalam salah satu putusan Mahkamah Agung yang disertai kekerasan memutilasi bagianbagian tubuh korban, hakim sama sekali tak menyinggung istilah mutilasi. sebagai contoh: Dalam kasus mutilasi sadis, yakni perkara pembunuhan korban Soleh bin Zaidan di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (terakhir dengan putusan No. 108 PK/ Pid/2007), terdakwa Ibrahim bin Ujang dihukum karena secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana.

Padahal, para pelaku telah melakukan mutilasi terhadap tubuh korban dan menguburkan korban tanpa bagian kepala (Sumber: hukum onlie.com, 2009).

Kejahatan Mutilasi Anak

Kejahatan mutilasi terhadap anak merupakan perilaku keji yang telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak pidana yang digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis (rare crime), karena objek kejahatan tersebut adalah anak yang secara hakiki berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana mandat UUD Tahun 1945 dan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Menurut UNICEF Tahun 2014, satu dari lima korban pembunuhan di dunia adalah usia anak. Laporan berjudul The Hidden in Plain Sight menganalisis data dari 190 negara dilaporkan dengan jumlah statistik kasus pembunuhan anak, kekerasan, dan pemerkosaan yang mengerikan. Kejahatanpembunuhan ini sering kali sangat sulit dideteksi, bahkan umumnya tidak dilaporkan sehingga kasusnya tak tercatat dan tak tertangani.

Potret kejahatan mutilasi anak dilakukan dengan beragam cara dan pola, bahkan termasuk modus operandi kejahatan, yang sering kali pelaku mengelabui aparat hukum, menyamarkan identitas korban, sehingga sulit dalam proses pengungkapan, karena petunjuk identitas korban dan jejak para korban sering kali dihilangkan.

Jika diselisik dari perspektif kriminologi, sejatinya kejahatan yang berkembang di masyarakat memilikiberagamtipe. Menurut Ruth Shonle Cavan, terdapat sembilan jenis tipologi kejahatan yaitu, pertama, the casual offender, pelanggaran kecil sehingga tidak bisa disebut penjahat, seperti naik sepeda tidak pakai lampu di malam hari.

Kedua, the occasiona criminal, kejahatan ringan. Ketiga, the episodic criminal, kejahatan karena dorongan faktor emosi yang dahsyat, namun tak direncanakan, misalnya; awalnya bercanda, karena tersinggung kemudian membunuh. Keempat, the white collar crime, kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat dalam hubungan dengan fungsinya.

Dalam kasus kejahatan ini, sering kali dipersepsikan minor, pelaku terhadang kebal dengan hukum, karena kekuasaan dan kemampuan materi. Kelima, the habitual criminal yaitu mengulangi kejahatan (residivis) yang telah dilakukan sebelumnya. Keenam, the profesional criminal, kejahatan sebagai mata pencarian dan berlatar perekonomian. Mereka sadar melakukan kejahatan, namun tetap dipertahankan, karena menjadi profesi keseharian.

Ketujuh, organized crime, kejahatan yang terorganisasi secara rapi sehingga tak mudah dideteksi. Kedelapan, the mentally abnormal criminal, pelaku kejahatan yang jiwanya abnormal, misalnya orang yang psikopatis. Kesembilan, the nonmalicious criminal, kejahatan yang mempunyai arti relatif, karena ada sebagian bagi kelompok lain memandang bukan merupakan kejahatan, namun sebagian kelompok memandang sebagai kejahatan.

Berkaca dari tipologi Ruth Shonle Cavan tersebut, bagaimana dengan posisi kasus Brigadir Petrus Bakus anggota Satuan Intelkam Polres Melawi? Tentu masih perlu pendalaman untuk memastikan, apa dan mengapa ia melakukan kejahatan keji terhadap kedua anaknya. Apakah betul ada faktor gangguan jiwa atau tidak tergantung hasil pendalaman kasus. Namun, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti telah menegaskan Brigadir Petrus Bakus tidak mengalami gangguan jiwa.

Dalam perspektif hukum, sanksi yang dijatuhkan kepada tersangka kasus tindak pidana pembunuhan dengan mutilasi ini masih terbilang kabur atau sanksi yang dijatuhkan kerap berbeda-beda. KUHP Indonesia tidak mengatur ketentuan khusus tentang tindak pidana mutilasi, tetapi yang ada hanya tentang tindak pidana pembunuhan pada umumnya, sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun“.

Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana juga bisa dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana mutilasi, yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Selanjutnya, penjelasan Pasal 338 dan 340 KUHP menegaskan bahwa kasus mutilasi disamakan dengan penanganan kasus pembunuhan biasa pada umumnya.

Sementara UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 80, (3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Terakhir, (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya. Jika dilihat dari tingkat kejahatan, ketentuan KUHP dan UU Perlindungan Anak, pidana bagi pelaku masih rendah, padahal mutilasi tergolong sadis dibandingkan dengan pembunuhan pada umumnya.

Maka penting bagi kita semua, seluruh penyelenggara negara, pemerintah, DPR RI, eksponen civil society , berkomitmen sama mendorong terwujudnya norma baru pemberatan hukum bagi pelaku kejahatan mutilasi terhadap anak, karena merupakan kejahatan yang tidak bisa ditoleransi.
Susanto
Koran SIndo, 29/02/2016
Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)


0 comments: