Wednesday 24 February 2016

Terkikisnya Budaya Batak Toba

Riduan Situmorang
Hingga detik ini, siapa pun orangnya sudah mengakui, budaya lokal—dalam hal ini budaya Batak Toba—sudah hampir terkikis. Masalahnya adalah, kebanyakan dari kita masih hanya sebatas mengkhawatirkan. Kita hanya berani pada tahap mengkhawatirkan, belum pada berani mengambil tindakan konkret untuk mengatasi supaya kebudayaan yang telah kita rengkuh selama ini tetap terjaga dan terawat. Dengan pemikiran seperti itulah, maka akhirnya saya berasumsi, hal yang paling mengkhawatirkan sebenarnya adalah diri kita dengan segala ketidakmauan dan ketidakpedulian kita. Dengan kata lain, kita belum mau mamungka sian na metmet jala sian hita sandiri.
Sesungguhnya, budaya-budaya Batak Toba yang mulai luntur itu hampir dari segala lini, mulai dari fisik, esensi, praktik, hingga pada hakikat substansialnya. Pada kesempatan ini, saya hanya akan mengutarakan sebagian saja.
Pada Natal dan Tahun Baru kemarin, saya pulang kampung—dalam bahasa Batak Tobanya: Mulak Tu Bona Ni Pinasa. Tentu saja alasan pulang kampung bagi orang Batak umumnya bukan karena alasan berlibur, melainkan karena adanya kesadaran, pulang kampung merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Betapa tidak, pulang kampung menjadi sebuah ritus untuk mangalap pasu-pasu dan poda dari bona pasogit
 Intinya, pulang kampung bukan acara untuk sekadar bernostalgia apalagi berlibur, melainkan sebuah ritus untuk pembekalan tondi karena Batak Toba menganut paham unik, yaitu sebisanya manusia yang ada di tano parserahan harus kembali ke kampung.
Kembali ke Kampung
Paham unik itu akan dengan mudah kita temukan pada lagu Pulau Samosir karya Nahum Situmorang. Di sana Nahum Situmorang mengatakan molo marujung ma muse ngolukku sai ingot ma anggo bakkeku disi tanomon mu disi udeanku sai ingot ma. Arti langsungnya, jika nanti saya meninggal, tolonglah mayatku dikuburkan di Samosir (kampung halaman). Hal itu masuk akal karena selama ini orang Batak Toba menganggap kampung halaman sebagai hal yang sakral.
Ingatlah, tali pusat orang Batak Toba selama ini masih sering digantungkan di para-para atau tempat mengeringkan kayu bakar yang umumnya ada tepat di atas perapian. Hal itu pulalah yang menjadi dasar mengapa orang selalu berpesan supaya mayatnya kembali dikuburkan di kampong. Sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan, tugu-tugu semacam sarkofagus merupakan sebuah upaya penyatuan tulang belulang nenek moyang yang berserak di Tano Parserahan, tanah perantauan.
Pertanyaannya adalah, megapa harus tali pusat itu yang digantungkan dan bukan organ-organ lainnya? Mengapa pula harus digantungkan di para-para, mengapa tidak disimpan di kulkas atau di tempat lainnya saja? Jawabannya sederhana, tali pusat adalah sarana bayi untuk makan semasa di kandungan. Artinya, bayi itu tidak akan hidup jika saja tali pusat itu tidak ada.
Lalu, mengapa tali pusat itu digantungkan di para-para? Jawabannya juga sederhana, yaitu karena bagi orang Batak Toba—menurut ompu si jolo-jolo tubu—unsur pendukung kehidupan manusia itu terdiri atas tiga unsur, yaitu mudar (darah), hosa (napas), dan halason (kehangatan). Masalah darah dan napas itu menjadi hak mutlak Tuhan. Manusia hanya perlu menjaga supaya darah dan napas itu tetap terawat.
Menurut ompu si jolo-jolo tubu, cara yang paling efektif untuk menjaga kesehatan itu adalah dengan menjaga kehangatan tubuh. Nah, kehangatan tubuh ini dapat kita peroleh dengan mudah, yaitu dengan marsisulu di tataring dan tentu saja tali pusat yang digantungkan di para-para tadi akan tetap hangat. Di sanalah sumber kehidupan tadi (tali pusat) tetap hangat karena diletakkan di para-para.
Masalahnya kemudian adalah, kita seringkali salah mengartikan ritus pulang kampung. Akhirnya, kebanyakan dari kita melakukan pulang kampung hanya sebatas bernostalgia dan bersenang-senang saja. Dengan kata lain, substansi pulang kampung itu menjadi hilang. Masih banyak contoh lainnya. Marsiadapari atau yang lebih kita kenal dengan istilah gotong royong, misalnya, sudah kabur dan hampir tidak ada lagi. Contoh kokretnya di kampung saya di desa Hutapaung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, marsiadapari sudah langka.
Biasanya dulu-dulu warga kampung (dan saya sendiri dulu sering ikut gotong royong) selalu mengadakan gotong royong untuk membersihkan jalan dan perkampungan, sekarang sudah tidak ada lagi. Dulu, masyarakat yang masih erat dan dipersatukan dalam ikatan paguyuban tanpa pamrih, sekarang sudah digantikan dengan kerja borongan berwajah proyek. Hal itu berimbas pada tergusurnya niat paguyuban. Alih-alih menumbuhkan kebersamaan, kerja borongan ini malah membuat  warga menjadi tersekat-sekat. Akhirnya, persaudaraan pun pelan-pelan menuju ambang kritis karena sudah dicekoki paham individualistik melalui sistem proyek dan borongan.
Harus Ada Tindakan Konkret!
Kini muncul pertanyaan, apakah kerja borongan yang disodorkan para kaum kapitalisitik ini harus kita hindari atau malah harus kita adopsi untuk menggantikan posisi marsiadapari yang masih guyub? Terus terang, saya tidak sedang berusaha untuk menggurui pembaca. Saya hanya ingin menegaskan, marsiadapari yang guyub itu harus dipertahankan karena menurut hemat saya, marsiadapari jauh lebih bermartabat daripada kerja borongan dan proyek. Bagaimana caranya? Yang lebih penting, apakah kita memang mau?
Saya kemudian makin meringis (saya tahu, pembaca pun meringis bersama saya) ketika melihat acara adat perkawinan Batak Toba yang juga mulai meninggalkan nilai-nilai kulturalnya. Nah, masalahnya kembali adalah, kita tetap hanya sebatas meringis dan prihatin. Artinya kita tetap diam saja tanpa banyak bergerak dan bertindak langsung.
Kebanyakan dari kita sadar, musik keyboard tidak seharusnya menggantikan gondang, seruling saja sebenarnya tidak terlalu kuat untuk menggantikan wibawa sarune, tetapi kita tetap kembali pada penyakit tadi. Kita hanya sebatas sadar dan tidak mau berubah. Lihatlah, akhir-akhir ini, pesta perkawinan pasti akan selalu diramaikan dengan musik keyboard. Kita sudah lebih senang berpoco-poco daripada manortor. Beginikah kita seharusnya? Begini pulakah pemerintah, terdiam dan tak tergugah?
Maaf, sekali lagi, saya tidak sedang menggurui para pembaca. Saya hanya ingin menggugah kembali, budaya itu adalah jati diri kita sendiri. Saya yakin, kalau hati kita sudah tergugah, kita pelan-pelan akan kembali bertindak. Pemerintah pun demikian. Kiranya pemerintah harus tetap gigih memperjuangkan keasrian budaya lokal supaya jangan tergerus.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya hanya mau membeberkan, kebudayaan kita—khususnya kebatakan kita—sudah tergerus. Lalu, kapan kita bergerak untuk kembali menghidupkannya? Sebagai bahan perenungan, izinkan saya mengutip petuah pemerhati budaya dan bahasa Batak Toba: “mamungka sian ulaon na metmet, sian iba sandiri, sian saonari” (dari hal-hal kecil, dari diri sendiri, dari sekarang juga.
Penulis Seorang Pendidik dan Bergiat di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

0 comments: