Wednesday 24 February 2016

Dunia Para Preman

(Riduan Situmorang)--Sebagai penduduk di Kota Medan, tak ada keistimewaan bagi saya ketika 30/01/2016 kemarin ormas kepemudaan—IPK dan PP—saling membantai. Bukan karena perkelahian ini tak sadis, melainkan karena hal serupa sudah acap dipertunjukkan hampir di seluruh Ibu Pertiwi. Kalau diberitakan Medan kala itu mencekam, itu semata ulasan syahwat jurnalisme yang ingin membuat beritanya heboh. Memang, ada ketakutan di antara kami atau mungkin kita, tetapi itu hanya sementara. Sebab, ketakutan yang lebih besar sudah sering berkelindan.
Boleh dibilang, sesehari kita, saya dan Anda, melulu merasa terancam. Ada pungli di mana-mana. Jangan kira itu hanya dilakukan oleh orang-orang tak terdidik, justru seringkali, orang yang berpendidikan yang melakukan pungli. Para preman jalanan memang memalak kita dengan dalih minta uang keamanan. Tetapi, kalau dicermati, adanya dalih memalak dengan dalih keamanan ini sebenarnya sedang menarasikan bahwa negeri ini memang tak aman.
Dengan kata lain, para pemalak ini mau bilang, jangan percayakan keamananmu pada negara. Negara sudah usang. Keamanan itu ada pada kami. Negara tak mampu memberi keamanan, apalagi kenyamanan, kecuali kalau kau sudah membelinya dari kami! Kami adalah distributor dan toko penjual kemanan yang diutus oleh negara. Inilah zaman tribalisme.
Serba Fulus
Sekilas, penilaian seperti itu berlebihan dan barangkali terlalu pesimis, tetapi, begitulah kenyataan yang sesungguhnya. Jangankan memberi keamanan, negara justru sering membuat teror. Wujudnya bisa berupa susahnya mendapatkan izin, susahnya mendapatkan makan, dan masih banyak lagi. Rakyat ketakutan. Karena itu, rakyat banyak memakai body guard. Kalau tak mampu membayar body guard, setidaknya mereka membayar uang keamanan yang selalu ditagih per bulannya oleh para preman.
Mengharapkan negara dalam menghadapi ini tentu bukan pilihan elok. Negara hanya akan bersedia setelah kita memberi fulus. Bahasanya saja yang tak vulgar. Jika bahasa preman disebut uang keamanan, bahasa negara disebut biaya administratif. Dengan kata lain, negara tetap saja memalak warganya. Bahkan lebih besar. Silakan urus data-data administratif! Di sana calo bergelimang. Mau gampang, pilih calo mahal. Mau lebih gampang lagi, cari beking. Di meja itu, negara bertransaksi secara halus. Berkas tidak akan diselesaikan, kecuali fulus sudah mengalir. Bukankah ini pungli?
Ya, premanisme ada di mana-mana. Di sekolah, kita akan dipertemukan dengan gangster-gangster kecil. Otot menjadi patokan. Siapa kuat, dia menang. Urusan kehormatan beralih dari seberapa tebal kantong, seberapa perkasa otot. Otak urusan belakangan. Maka itu, tawuran seringkali terjadi bukan karena kekurangan uang, tetapi karena saling mengadu seberapa banyak uang. Banyak uang akan dapat membeli banyak teman. Kualitasnya dinilai dari seberapa banyak kerumunan, seberapa banyak kebisingan. Atau supaya lebih gengsi, tawuran sengaja disajikan dalam bentuk balapan. Namanya gemot.
Guru tak bisa marah, apalagi menghukum. Jika menghukum, pasal hak asasi akan melenggang. Guru dipaksa menutup mata atas itu semua. Guru dipaksa berbohong pada hati nuraninya. Guru tak lagi harus dihormati. Bahkan, pada berbagai kasus, kita akan menemukan guru sebagai orang lemah. Atau, sengaja dilemahkan. Berikan uang, maka nilai akan kemilau. Wujudnya bisa berupa cuci rapor.
Guru benar-benar tak lagi punya otoritas, termasuk dalam menentukan nilai. Otoritas itu telah dikuasai para pemilik modal. Banyak saja sebabnya. Kepala sekolah, misalnya, akan marah jika nilai siswanya rendah. Kepala sekolah terpaksa marah karena sudah dimarahi dinas. Dinas marah karena takut dihukum menteri. Dari pusat memang diumumkan agar penilaian seobjektif mungkin. Tetapi, ini hanya permainan cantik dari para preman yang tak vulgar.
Dengan gesit, secara terpaksa guru didoktrin: memberi nilai yang baik pada siswa tak ada ruginya. Siswa akan senang mengingat kita sebagai pemurah, padahal menjadi murahan. Sebaliknya, memberi nilai jelek, kita akan rugi tumpang tindih. Dikecam rekan sejawat sebagai orang yang sok idealis, dimarahi atasan, bahkan diancam mati-matian oleh orang tua. Kalau sudah begini, jangan bermimpi cepat naik jabatan. Yang ada, justru ditindas atau disingkirkan secara halus melalui diktum mutasi.
Di ranah agama, premanisme juga ditentukan kerumunan dan kebisingan. Semakin banyak kerumuman, semakin gampang menyudutkan. Siapa yang paling bising, maka dialah yang paling benar. Maka itu, dengan mudah saja mengatakan yang lain sebagai yang kafir. Asas kebebasan beragama, berkepercayaan, atau berpenghayat yang dijamin konstitusi lagi-lagi hanya bagian dari permainan cantik. Kalau bukan, bagaimana mungkin hanya karena asas kesesatan kita membakar perkampungan Gafatar? Pada saat yang bersamaan, ada ormas lain yang lebih banal. Tetapi, karena ormas ini cukup bising, padahal, jauh lebih keji daripada Gafatar, kita hanya diam. Bukankah ini premanisme?
Di birokrat jangan tanya lagi. Sudah acap kita dengar bahwa hak rakyat dilucuti satu per satu dari pusat. Jika dari pusat mengalir deras, sampai di masyarakat hanya tetesan. Rakyat berebut tetesan itu. Di sini, premanisme juga berlaku. Siapa yang paling kuat, dia yang dapat menampungnya. Rakyat lemah tersingkirkan. Simak saja ketimpangan ekonomi kita. Orang kaya melahap habis total kekayaan negeri ini.
Formalitas
Maka itu, tak usah lagi terheran-heran jika kemarin ada Ketua DPR sudah nyata-nyata salah dihukum tak bersalah, jika ada pejabat melakukan kesewenang-wenangan, jika ada polisi dengan mudah menilai berhenti dan parkit itu sama. Aroma premanisme begitu kentara di sana. Orang lemah hanya bisa pasrah. Lari ketakutan dan kucar-kacir tak menjadi pilihan karena ini hanya menunggu giliran.
Maka itu, brutalisme di Medan baru-baru ini dapat divideokan dengan bebas. Rakyat bukan tidak takut, tetapi untuk apa takut jika keseharian sudah melulu dililit ketakutan? Lagipula, ketakutan ini hanya sementara, atau semata digerakkan insting untuk menghindarkan diri dari celaka. Manusia diperlakukan dan berlaku tak ubahnya binatang. Orang tergeletak dan sudah lemah dibogem begitu saja dengan balok. Tanpa merasa berdosa, justru merasa pahlawan.
Di mana negara? Mengapa orang yang membogem ini tak diburu padahal, wajahnya jelas-jelas terlihat? Oh, ternyata negara secepat-cepatnya sadar bahwa hal serupa yang bahkan lebih kejam sudah pernah dilakukan. Maka itu, tak usah menangkapnya, kecuali untuk urusan formalitas. Formalitas di sini lagi-lagi hanya permainan cantik. Jika negara dikabarkan akan membubarkan OKP yang membuat onar, tak usah menyiksa diri dengan percaya.
Ini hanya bagian dari permainan cantik. Preman yang sesungguhnya bukan OKP, bukan begal, bukan ranmor, melainkan negara yang diam dan mendiamkan, bahkan ikut mengutip. Inilah dunia para preman. Menakutkan? Bisa jadi, tetapi, biarlah, kita akan terbiasa dengan ketakutan ini. Hingga suatu saat nanti, kita barangkali tak dapat lagi memilah mana ketakutan, mana keberanian!

Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt

0 comments: