Riduan Situmorang--Akses ke PTN dulunya sangat sederhana: seleksi
tertulis
dan PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Kouta PMDK-nya sangat sedikit,
hanya menyentuh siswa yang benar-benar berprestasi. Hasilnya, berdasarkan studi
pelacakan di beberapa universitas, prestasi mahasiswa melalui jalur PMDK konon
lebih bagus daripada mahasiswa jalur ujian tulis.
Konsep PMDK ini kemudian diadaptasi dan
dikembangkan. Namanya belakangan adalah SNMPTN atau lebih akrab disebut
undangan. Kuotanya dibesarkan. Kuota tahun ini, misalnya, 40% atau dikurangi
10% dari yang tahun lalu. Jatah 10% yang dikurangi dari undangan kemudian
dialihkan ke jalur mandiri. Artinya, jalur mandiri kini lebih gendut daripada
tahun lalu. Sementara itu, sistem seleksi tertulis (SBMPTN) tetap mendapat
proporsi 30%.
Nah, apa pengertian yang didapat dari
sini? Kita tahu, sebagaimana dikutip oleh Doni Koesoema A. (Kompas, 06/02/2016), bahwa Bank Dunia sudah lama menyimpulkan
adanya korelasi tinggi antara persentase populasi penduduk yang memiliki gelar
sarjana dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Bank
Dunia, 1996). Karena simpulan inilah kemudian M. Nuh membuka akses Bidik Misi, yaitu
sistem yang memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa berprestasi, terutama
kepada yang miskin.
Keliru
Semangatnya adalah agar siswa miskin
dapat kuliah. Dan, setelah kuliah, dia kelak dapat bekerja dan mengangkat
dirinya, juga keluarganya, dari lumpur kemiskinan. Skemanya begitu mengagumkan,
yaitu orang miskin itu sendirilah yang akan melepaskan dirinya dari kerangkeng
kemiskinan. Orang miskin menjadi pahlawan atas dirinya sendiri. Negara hanya
perlu memberi alat perang melalui akses pendidikan.
Baru-baru ini, beberapa dari siswa kami sudah ada
yang merayakan kemenangan prematrunya, ada pula yang mulai muram. Dikatakan
prematur karena sebagian dari mereka sudah dikirimi surat balasan bahwa mereka
diberi kesempatan untuk mengikuti jalur undangan. Belum dikatakan lulus, tetapi
mereka konon sudah memenuhi persyaratan untuk diseleksi ke tahap selanjutnya.
Saya tak tahu harus merayakan ini bagaimana. Yang
pasti, ini hanyalah konsekuensi dari kekeliruan
pemerintah dalam menyeleksi calon mahasiswa. Dikatakan kekeliruan karena
pemerintah masih grogi dengan cara-caranya selama ini. Selalu gonta-ganti. Konon, untuk tahun ini, sekolah yang
berakreditasi A akan mendapat jatah 70 persen, B 50 persen, C 25 persen dan
tidak terakreditasi 10 persen. Kekeliruan itu adalah ketika pemerintah menilai
kualitas individu dari segi lembaga. Apakah kita dapat menilai seseorang
berkualitas hanya karena seseorang tadi berasal dari lembaga yang katanya
mentereng?
Belum lagi kalau kita tengok ke dalam. Di negeri
ini, urusan akreditasi adalah urusan administrasi. Bahkan, akreditasi rentan
disusupi mafia karena melalui akreditasi, siswa dapat didatangkan dengan mudah.
Karena itu, pihak sekolah mengadakan permainan dengan pihak dinas pendidikan.
Tidak ada bukti konkret, tetapi isu-isu demikian sudah jamak. Logikanya, dengan
akreditasi, bisnis pendidikan menjadi basah. Dapat dari donatur, dapat pula
dari pemerintah melalui dana BOS yang acap dihitung berdasarkan jumlah siswa.
Yang lebih kejam, ketika akreditasi itu sudah
diperoleh, pihak sekolah mendapat bisnis basah lanjutan karena mereka bisa memungut
biaya ini dan itu dari calon siswa. Belum lagi biaya yang tak kalah menohok
setelah mereka resmi menjadi siswa. Soal mereka pintar atau tidak tak menjadi
urusan. Soal mereka lulus pun bukan perkara penting, sebab akreditasilah yang
kelak akan meluluskan, bukan kemampuan siswa! Artinya, modal utama untuk masuk
ke sekolah mentereng adalah fulus. Sama sekali bukan kemampuan! Pertanyaan yang
muncul segera adalah: orang-orang seperti inikah yang menjadi ilmuwan masa
depan kita?
Baiklah, baiklah, baiklah! Barangkali tak elok
menghakimi mereka sebagai siswa yang tolol. Maka itu, mari terima mereka
sebagai orang yang berkemampuan baik. Tetapi bagaimana dengan orang miskin? Apa
mereka siswa yang tolol sehingga itu tak berhak masuk sekolah berakreditasi A? Dan,
karena kemiskinan itu, mereka akhirnya terdampar di sekolah abal-abal?
Lalu, jika pula simpulan dari Bank Dunia tadi benar,
bagaimana kita sudah menempatkan orang miskin? Kalau tak mau memberi mereka
alat perang, mengapa kita justru memerangi mereka dengan memberi jatah yang secuil?
Doni Koesoema bilang, tak baik melihat kompetensi seseorang dari lembaga.
Tetapi bagi saya, ini bukan semata tentang kompetensi lembaga. Ini tentang
bagaimana kita menutup akses pada orang miskin masuk ke lembaga yang baik walau
kita tahu, demi masuk ke PTN nantinya, akan terjadi inflasi nilai di sana.
Jauh dari
Keadilan
Ya, kita sangat pantas menggugat pemerintah. Akses
ke PTN yang mereka buat benar-benar sangat diskriminatif. Jika ranah undangan
seperti di atas, ranah seleksi pun kurang lebih sama. Bahkan, ranah mandiri
mustahil menjadi milik orang miskin.
Ranah seleksi seperti kita tahu perlu banyak
latihan. Karena semata demi alasan itulah mengapa sampai saat ini menjamur
banyak lembaga bimbel (bimbingan belajar) yang menawarkan bagaimana cara
mengerjakan soal-soal. Orang miskin tentu tak berkesempatan belajar di bimbel
bukan? Karena itu, ketika ujian seleksi diadakan, rata-rata yang lulus adalah
mereka yang pernah mencecapi pelatihan di lembaga bimbel.
Di mana orang miskin? Masuk ke PTS sangat mahal.
Masuk jalur mandiri PTN, apalagi. Nah, di sinilah mereka menjadi pengangguran
yang kelak menjadi berandalan. Atau, menjadi buruh yang gajinya tak seberapa.
Atau, menjadi budak di negara lain. Atau, bahkan menjadi teroris! Sialnya,
mereka menjadi seperti ini bukan karena mereka tak mampu, tetapi karena negara
tak memberi mereka alat perang yang mumpuni.
Maka itu, karena pendidikan, untuk saat ini yaitu
universitas, terutama lagi PTN, menjadi peluang besar mengentaskan kemiskinan,
marilah kiranya memberi akses yang luas kepada orang miskin. Beri mereka alat
perang yang memadai. Jika itu dapat diperoleh melalui universitas, beri mereka
kesempatan yang besar.
Bila perlu, lebih besar daripada orang kaya.
Sebab, orang kaya, jika pun tak lulus melalui jalur seleksi dan undangan,
mereka masih punya dana untuk kuliah ke jalur mandiri. Bahkan, mereka masih
berkesempatan kuliah di luar negeri. Singkatnya, ubah pola akses PTN yang
sekarang. Polanya benar-benar jauh sekali dari nalar keadilan. Lagipula, jika
pola ini dipelihara, rasio gini kita ke depan akan semakin timpang.Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan
0 comments:
Post a Comment