Monday, 29 February 2016

Segera Ubah Akses ke PTN

Riduan Situmorang--Akses ke PTN dulunya sangat sederhana: seleksi tertulis dan PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Kouta PMDK-nya sangat sedikit, hanya menyentuh siswa yang benar-benar berprestasi. Hasilnya, berdasarkan studi pelacakan di beberapa universitas, prestasi mahasiswa melalui jalur PMDK konon lebih bagus daripada mahasiswa jalur ujian tulis.

Konsep PMDK ini kemudian diadaptasi dan dikembangkan. Namanya belakangan adalah SNMPTN atau lebih akrab disebut undangan. Kuotanya dibesarkan. Kuota tahun ini, misalnya, 40% atau dikurangi 10% dari yang tahun lalu. Jatah 10% yang dikurangi dari undangan kemudian dialihkan ke jalur mandiri. Artinya, jalur mandiri kini lebih gendut daripada tahun lalu. Sementara itu, sistem seleksi tertulis (SBMPTN) tetap mendapat proporsi 30%.
Nah, apa pengertian yang didapat dari sini? Kita tahu, sebagaimana dikutip oleh Doni Koesoema A. (Kompas, 06/02/2016), bahwa Bank Dunia sudah lama menyimpulkan adanya korelasi tinggi antara persentase populasi penduduk yang memiliki gelar sarjana dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Bank Dunia, 1996). Karena simpulan inilah kemudian M. Nuh membuka akses Bidik Misi, yaitu sistem yang memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa berprestasi, terutama kepada yang miskin.
Keliru
Semangatnya adalah agar siswa miskin dapat kuliah. Dan, setelah kuliah, dia kelak dapat bekerja dan mengangkat dirinya, juga keluarganya, dari lumpur kemiskinan. Skemanya begitu mengagumkan, yaitu orang miskin itu sendirilah yang akan melepaskan dirinya dari kerangkeng kemiskinan. Orang miskin menjadi pahlawan atas dirinya sendiri. Negara hanya perlu memberi alat perang melalui akses pendidikan.
Baru-baru ini, beberapa dari siswa kami sudah ada yang merayakan kemenangan prematrunya, ada pula yang mulai muram. Dikatakan prematur karena sebagian dari mereka sudah dikirimi surat balasan bahwa mereka diberi kesempatan untuk mengikuti jalur undangan. Belum dikatakan lulus, tetapi mereka konon sudah memenuhi persyaratan untuk diseleksi ke tahap selanjutnya.
Saya tak tahu harus merayakan ini bagaimana. Yang pasti, ini hanyalah konsekuensi dari kekeliruan pemerintah dalam menyeleksi calon mahasiswa. Dikatakan kekeliruan karena pemerintah masih grogi dengan cara-caranya selama ini. Selalu gonta-ganti. Konon, untuk tahun ini, sekolah yang berakreditasi A akan mendapat jatah 70 persen, B 50 persen, C 25 persen dan tidak terakreditasi 10 persen. Kekeliruan itu adalah ketika pemerintah menilai kualitas individu dari segi lembaga. Apakah kita dapat menilai seseorang berkualitas hanya karena seseorang tadi berasal dari lembaga yang katanya mentereng?
Belum lagi kalau kita tengok ke dalam. Di negeri ini, urusan akreditasi adalah urusan administrasi. Bahkan, akreditasi rentan disusupi mafia karena melalui akreditasi, siswa dapat didatangkan dengan mudah. Karena itu, pihak sekolah mengadakan permainan dengan pihak dinas pendidikan. Tidak ada bukti konkret, tetapi isu-isu demikian sudah jamak. Logikanya, dengan akreditasi, bisnis pendidikan menjadi basah. Dapat dari donatur, dapat pula dari pemerintah melalui dana BOS yang acap dihitung berdasarkan jumlah siswa.
Yang lebih kejam, ketika akreditasi itu sudah diperoleh, pihak sekolah mendapat bisnis basah lanjutan karena mereka bisa memungut biaya ini dan itu dari calon siswa. Belum lagi biaya yang tak kalah menohok setelah mereka resmi menjadi siswa. Soal mereka pintar atau tidak tak menjadi urusan. Soal mereka lulus pun bukan perkara penting, sebab akreditasilah yang kelak akan meluluskan, bukan kemampuan siswa! Artinya, modal utama untuk masuk ke sekolah mentereng adalah fulus. Sama sekali bukan kemampuan! Pertanyaan yang muncul segera adalah: orang-orang seperti inikah yang menjadi ilmuwan masa depan kita?
Baiklah, baiklah, baiklah! Barangkali tak elok menghakimi mereka sebagai siswa yang tolol. Maka itu, mari terima mereka sebagai orang yang berkemampuan baik. Tetapi bagaimana dengan orang miskin? Apa mereka siswa yang tolol sehingga itu tak berhak masuk sekolah berakreditasi A? Dan, karena kemiskinan itu, mereka akhirnya terdampar di sekolah abal-abal?
Lalu, jika pula simpulan dari Bank Dunia tadi benar, bagaimana kita sudah menempatkan orang miskin? Kalau tak mau memberi mereka alat perang, mengapa kita justru memerangi mereka dengan memberi jatah yang secuil? Doni Koesoema bilang, tak baik melihat kompetensi seseorang dari lembaga. Tetapi bagi saya, ini bukan semata tentang kompetensi lembaga. Ini tentang bagaimana kita menutup akses pada orang miskin masuk ke lembaga yang baik walau kita tahu, demi masuk ke PTN nantinya, akan terjadi inflasi nilai di sana.
Jauh dari Keadilan
Ya, kita sangat pantas menggugat pemerintah. Akses ke PTN yang mereka buat benar-benar sangat diskriminatif. Jika ranah undangan seperti di atas, ranah seleksi pun kurang lebih sama. Bahkan, ranah mandiri mustahil menjadi milik orang miskin.
Ranah seleksi seperti kita tahu perlu banyak latihan. Karena semata demi alasan itulah mengapa sampai saat ini menjamur banyak lembaga bimbel (bimbingan belajar) yang menawarkan bagaimana cara mengerjakan soal-soal. Orang miskin tentu tak berkesempatan belajar di bimbel bukan? Karena itu, ketika ujian seleksi diadakan, rata-rata yang lulus adalah mereka yang pernah mencecapi pelatihan di lembaga bimbel.
Di mana orang miskin? Masuk ke PTS sangat mahal. Masuk jalur mandiri PTN, apalagi. Nah, di sinilah mereka menjadi pengangguran yang kelak menjadi berandalan. Atau, menjadi buruh yang gajinya tak seberapa. Atau, menjadi budak di negara lain. Atau, bahkan menjadi teroris! Sialnya, mereka menjadi seperti ini bukan karena mereka tak mampu, tetapi karena negara tak memberi mereka alat perang yang mumpuni.
Maka itu, karena pendidikan, untuk saat ini yaitu universitas, terutama lagi PTN, menjadi peluang besar mengentaskan kemiskinan, marilah kiranya memberi akses yang luas kepada orang miskin. Beri mereka alat perang yang memadai. Jika itu dapat diperoleh melalui universitas, beri mereka kesempatan yang besar.
Bila perlu, lebih besar daripada orang kaya. Sebab, orang kaya, jika pun tak lulus melalui jalur seleksi dan undangan, mereka masih punya dana untuk kuliah ke jalur mandiri. Bahkan, mereka masih berkesempatan kuliah di luar negeri. Singkatnya, ubah pola akses PTN yang sekarang. Polanya benar-benar jauh sekali dari nalar keadilan. Lagipula, jika pola ini dipelihara, rasio gini kita ke depan akan semakin timpang.


Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan

0 comments: