Sudah tiga bulan ini, setiap hari ia jenguk makam anaknya. Kalau tak pagi, siang. Kalau tak siang, petang sepulang dari kantor.
Keluarga mertuanya amat keheranan melihat perubahan sikap Saleh
tersebut. Karena, sejak meninggal tiga tahun lalu, akhir-akhir ini
barulah Saleh menziarahi makam anaknya itu. Selama tiga tahun itu ia
seolah-olah tak peduli pada anaknya tersebut. Ia biarkan semak tumbuh
liar di atas pusara anak perempuannya yang meninggal dalam umur enam
tahun itu. Kalau tak ada mertua lelakinya, mungkin pusara itu sudah
menjadi semak belukar.
Begitu pula istrinya, sudah berkali- kali pula menyuruh Saleh
menziarahi pusara anaknya itu. Tapi, pria yang bernama Muhammad Saleh
tersebut tak memedulikannya. Ia seperti tak mau lagi melihat makam
anaknya itu. Seolah-olah anaknya itu tak pernah ada dalam hidupnya.
Setiap nama anaknya disebut istrinya, mertuanya, dan semua orang, Saleh
akan pergi.
“Usah sebut lagi nama itu.” Matanya merah pada istrinya.
“Mengapa tak boleh disebut, Bang? Bukankah dia itu anak kita juga. Apa salah Aisyah pada Abang?”
“Aisyah salah?”
“Lalu?”
“Mulut kalian tak pantas menyebut nama itu.”
“Tak pantas?” Istrinya tak mengerti.
Saleh tersenyum sinis. Ia tinggalkan istrinya dalam
ketidakmengertian. Kadang Saleh tak sedap hati juga setelah berkata
demikian pada istrinya.
Begitulah, sudah tiga kali Idul Fitri ia tak pernah berziarah ke
kuburan anaknya. Biasanya, setiap usai shalat Idul fitri, istrinya
beserta karib kerabatnya berziarah ke pusara anaknya tersebut. Saleh
pura-pura tak tahu saja. Saat itu ia pergi ke mana suka. Ia tak peduli
apa kesan keluarga mertuanya padanya atas sikapnya itu.
“Bang, Bapak ingin membangun kuburan Aisyah,” kata istri Saleh suatu hari.
“Boleh, Bang?”
Saleh terkejut.
“Boleh, Bang?”
“Tidak.”
“Mengapa tak boleh, Bang?”
“Biar aku saja yang mengeramik kubur Aisyah itu.”
“Tapi kapan?”
“Ya terserah aku. Aisyah itu kan anakku. Akulah yang lebih berhak!” bentak Saleh.
“Kalau memang ada niat, eloklah diper cepat sebelum keluar peraturan pemerintah kota agar kuburan tak boleh dibangun.”
Saleh terdiam, kata-kata istrinya kali ini benar. Selain itu, lahan perkuburan semakin lama semakin sempit di kotanya.
***
Sebenarnya Saleh tak mau pergi ke kubur anaknya bukan karena benci,
melainkan karena amat sayang pada anak sulungnya itu. Ia tak mau dirinya
larut berkepanjangan dalam duka kalau melihat pusara itu. Dulu,
beberapa hari sepulangnya Aisyah ke haribaan Ilahi, Saleh datang setiap
pagi ke sana, tapi lama-kelamaan pengalamannya bersama Aisyah semasa
hidup memenuhi pikiran dan hatinya seusai berziarah.
Setiap pulang dari pusara Aisyah, air matanya terus meleleh. Hatinya
kian lama kian terasa hancur. Semua pengalamannya bersama Aisyah semasa
hidup terbayang kembali. Misalnya, ia ingat ketika Aisyah dimarahi
Marlin, adik bungsu istrinya, dan menuduh Aisyah mencuri uang dua ratus
ribu dari dompetnya. Saleh marah besar pada adik iparnya itu, karena
menurutnya, buat apa bagi Aisyah uang sebanyak itu?
Ia tanya Aisyah, anak sulungnya itu meng geleng sebagai tanda ia tak
mengambilnya. Dan Saleh yakin anaknya tidak berbohong. Namun, karena tak
ingin bermasalah besar dengan keluarga istrinya, Saleh membayar uang
itu setelah meminjam dari temannya.
Kadang, setiap pulang dari pusara Aisyah, ia juga ingat ketika anak
perempuannya yang comel, lucu lagi gendut dan imut itu memecahkan termos
air di rumah mertuanya dan sang mertua perempuannya meminta Saleh
menggantinya. Hati Saleh semakin perih. Nenek macam apa ibu istriku ini?
Tanyanya dalam hati, marah, perih.
Saleh merasa seolah menumpang di rumah orang lain. Saleh ingin
menyewa rumah, tapi istrinya tak mau. Istrinya bersedia kalau pindah ke
rumah sendiri, tapi di mana dapat uang untuk membeli rumah dari gaji
seorang pegawai kantor KUA di kampung? Berharap dari ceramah? Masyarakat
kampung mana di negerinya ini yang memberi amplop pada ustaz?
Dan andaipun mereka memberi, Saleh tak bersedia menerimanya karena
masyarakat di tempat ia bertugas juga hidup memprihatinkan. Dan gajinya
sebagai pegawai rendahan cuma cukup buat membeli beras dan susu Aisyah
dan adiknya. Sedangkan istrinya, walaupun bekerja, gajinya hanya
untuknya sendiri. Istrinya tak mau mengumpulkan penghasilannya bersama.
Kata istrinya, gaji perempuan hanya untuk perempuan, jadi tak ada
kewajiban untuk dibagi. Harta suami harta istri, tapi harta istri tidak
harta suami.
Semakin hari Saleh merasa kian terpojok dan kehidupannya semakin
terasa sempit. Hampir setiap malam ia salat Tahajud, meluapkan
keperihannya kepada Tuhan di tikar sembahyang. Tapi, doanya seperti
masih digantung di langit.
Dalam hidup, Saleh memang kurang pandai berbasa-basi, termasuk kepada
keluarga mertuanya. Ia hidup apa adanya. Kalau tak suka, pergi. Kalau
lagi senang, ia berkumpul dengan orang-orang. Saleh juga tak pandai
mencari kerja tambahan untuk menghasilkan uang lebih. Saleh merasa,
karena hidup apa adanya dan tak pandai mencari uang itulah yang membuat
keluarga mertuanya kurang peduli padanya. Dan, kedua anaknya, Aisyah dan
Nizam, menjadi korban dari sikapnya itu.
Setelah sekian lama membujuk istrinya, barulah perempuan itu mau
pindah rumah. Dan selama di rumah sewa tersebut, istrinya pula yang
membuat ulah. Kalau sudah waktunya jam kerja, istrinya tak peduli lagi
pada keadaan rumah, tak peduli pada anak-anak. Mau sakit, mau dititip
pada tetangga, mau dibawa Saleh ke tempat kerja. Tak peduli. Dan pulang
pun sesuka hatinya.
Memang awalnya ada orang yang mau mengasuh anaknya, tapi hanya betah
selama tiga bulan, setelah itu pergi. Begitulah terus. Akibatnya,
terpaksalah Saleh yang mengasuh anaknya. Bahkan, Saleh harus memasak dan
mengurus kedua anaknya seorang diri. Terlintas juga di hatinya untuk
menceraikan istrinya. Tapi, kalau nanti berpisah, bagaimana nasib Aisyah
dan Nizam? Andai kata ia dipandang dayus, biarlah.
Seringkali Saleh tak masuk kantor. Akibatnya selalu digunjingkan
sesama pegawai. Makan gaji buta, kata mereka. Tapi Saleh tak peduli itu,
yang penting dua anaknya selamat. Kalau ia berdosa, biarlah katanya,
Tuhan itu tidak buta. Pengadilan Tuhan bukan seperti pengadilan manusia.
Tuhan itu Maha Adil. Selama ia mengasuh dua anaknya tersebut, ia sering
memarahi mereka karena selalu berkelahi. Dan semakin hari kelakuan
Aisyah kian membuat ia kesal dan marah. Ada saja ulahnya yang membuat
adiknya menangis. Dan setelah Aisyah pergi, meninggal dunia,
kesalahannya yang sering memarahi anaknya itu tertayang kembali.
Seolah-olah kejadian itu baru kemarin petang terjadi. Setelah itu,
secara diam-diam Saleh menangis dan tak mau lagi ke makam anaknya itu.
Kadang-kadang sedih itu dinikmatinya. Berjam-jam ia menangis dan
mengingat Aisyah. Ia biarkan kesedihan itu benar-benar sampai ke
puncaknya.
Saleh ingin mundur dari pegawai negeri dan meninggalkan istri serta
anak keduanya. Ia merasa gagal dalam hidup. Gagal menjadi ayah, gagal
menjadi suami, gagal menjadi menantu, dan gagal dalam bermasyarakat.
Namun, karena mempertimbangkan baik dan buruk berpisah, yang buruknya
lebih banyak ketimbang baiknya, ia usahakan juga mempertahankan rumah
tangganya, walaupun itu hanya bagai mengayuh biduk lapuk di tengah
lautan dalam.
Ia tak mau anak keduanya, Nizam, menjadi korban. Anak yang mana yang tak akan menderita kalau kedua orang tuanya berpisah?
***
Demikianlah, sejak tiga tahun yang lalu, tiga bulan inilah, baru ia
menjenguk makam anak sulungnya tersebut. Kebetulan ia sudah dipindahkan
bekerja ke kota ini. Dan hebatnya, hampir setiap hari ia ke sana. Itu
bermula setelah ia membangun kubur anaknya tersebut. Dan rupanya sudah
tiga bulan itu ia terus bermimpi jumpa dengan anaknya tersebut. Selain
berjumpa dengan anaknya dalam tidur, ia juga sering mimpi bertemu dengan
ayah dan ibunya yang sudah lebih dahulu meninggal. Setelah bangun dari
tidur, perasaan rindu Saleh pada Aisyah dan kedua orang tuanya semakin
membuncah.
“Kata Bapak, Abang setiap Jumat ke tempat Aisyah sekarang. Apa benar, Bang?” tanya istri Saleh.
“Ya. Memangnya ada apa? Ada yang salah dari sikapku itu?”
“Tidak. Cuma heran saja.”
“Heran?” kata Saleh dengan mata menyipit. “Orang tak mau pergi salah, sering pergi pun salah. Ada apa dengan kalian ini?”
“Kan cuma bertanya, Bang. Itu saja marah,” kata istri Saleh cemberut.
Saleh menggeleng.
“Bang. Beberapa malam ini aku sering bermimpi.”
“Bermimpi?” Saleh tatap istrinya lekat- lekat. “Mimpi apa?”
“Abang selalu pergi bersama Aisyah.”
“Alhamdulillah.”
“Kok alhamdulillah, Bang?”
“Jadi, mau bilang apa lagi?”
“Malam tadi aku mimpi Abang pergi bersama Aisyah dan Abang pamit padaku.
Kata Abang, kalian akan…” Istri Saleh menunduk. Pelan-pelan air matanya mengambang.
“Akan apa?”
“Akan pergi jauh.” Suara istri Saleh seperti tercekat di kerongkongan.
“Hmm. Eloklah tu. Bukankah itu yang kalian tunggu selama ini?”
Istri Saleh berlari ke kamar. Ia tumpahkan air mata ke sarung bantal. Perempuan itu melolong.
Saleh terdiam melihat istrinya yang menangis. Melihat istrinya begitu, timbul juga iba hatinya. Ia susul perempuan itu ke kamar.
“Aku memang rindu sekali ingin bertemu Aisyah,” kata Saleh seolah-olah tidak mengerti perasaan istrinya saat itu.
Air mata istri Saleh mengalir semakin deras setelah mendengar
kata-kata Saleh tersebut. Ia peluk suaminya itu erat-erat. Saleh tak
bereaksi. Ia berdiri kaku bagai boneka panda Aisyah yang tersenyum di
atas lemari kain di sudut kamar.
***
Pagi Jumat. Saleh kembali berada di makam Aisyah. Tapi, sekali ini
tidak sendiri. Hampir seluruh kerabat istrinya serta tetangganya ada di
situ. Istri Saleh terbujur pingsan di pangkuan ibunya, di samping mayat
Saleh yang sebentar lagi akan ditanam di samping makam Aisyah. Konon,
Subuh tadi Saleh tak bangun dari tempat tidurnya. Istrinya coba
membangunkan, tapi lelaki itu tak bergerak. Meninggal.
Pekanbaru, November 2014-2016
Republika, 28/02/2016
Griven H Putera sastrawan Riau.
Sunday, 28 February 2016
Rindu Aisyah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment