Sunday, 28 February 2016

Jangan Kriminalisasi Sastra, Bung!

Riduan Situmorang--Kalau harus dihitung, saya sudah tiga kali menuliskan kisah rumit Saut Situmorang. Hal itu saya buat karena geram melihat kasus yang melilit-litinya. Percayalah, ini bukan tentang Saut! Meski saya semarga dengan dia, saya belum pernah berjumpa dengannya. Saya sejauh ini cukup mengaguminya dari karya-karanya. Maka itu, sudah pasti tulisan kali ini tidak tergerak dari sumbu etnisisitas, primordialisme, atau apa pun sebutannya itu. Saya tak kenal Saut dan tentu saja belum ada kedekatan emosional di antara kami.

            Seperti yang sudah jamak kita ketahui, Saut kini berurat tegang dengan Denny JA dan Fatin Hamama. Itu sudah lama sekali. Lama sekali sehingga kasusnya menurut saya sudah begitu menjemukan, membosankan, dan memuakkan. Apa tak ada hal-hal lain yang bisa kita perbuat dan kita tawarkan demi pemerkuatan bangsa ini? Mengapa kita mempermasalahkan hal-hal kecil? Terutama sekali, mengapa kita sedemikian tergopoh-gopohnya menyeberangkan “kasus” sastra pada kasus polisi? Apa dunia sastrawan sudah sedemikian gawat sehingga harus diselamatkan oleh dunia pengacara?
            Apakah pula dunia “kenabian” dari para sastrawan harus dipindahtangankan pada polisi? Sekali lagi, polisi? Yakin? Apa itu polisi? Mereka yang suka ngintip dan mencari kesalahan di lampu merah? Mereka yang doyan mengutipi uang yang bukan miliknya? Mereka yang bisa diajak kompromi ketika menjatuhkan tilang? Mereka yang tiba-tiba tenang dengan uang recehan? Mereka yang sok pintar dan tak tahu membedakan mana parkir dan mana berhenti? Lho, mereka ini yang dipercayakan mengulas kata-kata para sastrawan? Berapa mereka dibayar?
Sebatas Kagum
Jujur saja, saya jijik! Jijik sekali. Supaya maknanya lebih dalam dan menikam, izinkan saya mengutip bahasa alay: jijay! Jijiknya, bagaimana mereka akan bergerak? Membedakan kata-kata yang jamak di masyarakat saja mereka tak tahu. Mata mereka buta, apalagi hatinya! Otaknya mungkin cair, tetapi apa kita yakin mereka tak digerakkan oleh fulus yang melilit-lilit kantongnya? Ah, sedemikian kacaunyakah sastrawan sehingga mereka harus kembali dikerangkeng oleh polisi? Ada apa dengan dunia sastra kita? Pertanyaan yang paling tepatnya untuk digemakan sesungguhnya adalah: ada apa dengan negara kita?
            Ya, saya kagum dengan Denny JA. Kagum pada karyanya yang mengharukan, penuh pesan-pesan universalisme, juga menginspirasi! Hanya memang, kekaguman saya berhenti pada kekaguman semata sebagaimana kita kagum ketika melihat alam ciptaan Tuhan. Perlu dicatat, saya juga kagum pada beberapa penyair di daerah Sumut ini yang meski nama mereka belum dikenal. Artinya, kekaguman saya, ya, sebatas kagum. Bukan berarti mereka menjadi orang paling berpengaruh? Apakah ketika kagum lantas membuat mereka paling berpengaruh? Tidak!
            Di paragraf pembukan tulisan ini tadi saya bilang belum pernah jumpa dengan Saut. Saya rindu bertemu dengannya suatu kali. Dengan Denny JA dan juga Fatin, saya sudah pernah. Itu ketika malam penganugerahan bagi para juara. Kebetulan, karya saya “Balada Cinta Upiak dan Togar” mampu menggayut hati para juri. Saat itu, samar-samar dan sayup-sayup terdengar selentingan tentang kasus Saut. Kalau saya tak salah (dan saya yakin sekali), selentingan ini datang dari pecerpen Joni Ariadinata.
Joni Ariadinata mengaku sebagai salah satu yang mengusulkan Denny JA masuk pada jajaran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Saya ingat betul Fatin tertawa lepas. Dia seperti merasa bebas. Dengan bercanda, Fatin bilang menjadi “korban” dari Joni. Joni menanggapinya dengan santai saja. Seketika, kami pun tertawa sembari tetap menikmati suasana malam Jakarta di Blok M.
Jujur saja, setelah itu, saya pikir kasusnya akan berhenti. Eh, ternyata, selepasnya, masalah makin keruh. Suasana teduh menjadi bergemuruh. Kata tempat kita bertutur pun menjadi tempat menabuh guntur. Tak kurang, petisi dikeluarkan. Petisi ini menjadi simbol agar kasus ini jangan dipetieskan. Hampir dari semua daerah. Sampai-sampai, buku “kontroversial” itu pernah coba diberangus, atau dalam istilah Orde Baru diesbut: dibredel. Untung hal itu tak dilakukan.
Sebab, kalau itu dilakukan, ini menjadi bukti betapa kita tak menghargai karya. Perihal isinya keliru dan nyeleneh, atau bahkan salah itu bukan fokus utama. Buku itu memang kontroversial, tetapi kontroversial  bukan definisi bulat-bulat bahwa itu salah total. Kontroversi justru melahirkan perbaikan ke depan. Sebagai perbaikan, tentu buku ini bukan menjadi patokan. Artinya, ke-33 nama yang ada di sana bukanlah yang sebenar-benarnya paling berpengaruh. Kalaupun berpengaruh, itu hanya menurut penulis buku itu saja.
            Lagipula, kita harus membelalakkan mata pada standardisasi yang dibuat Tim 8. Indikator yang dibuat penulis buku itu masih kendor dan belum teruji, apalagi diakui. Masih jauh dari objektif. Di dalam pengantar buku, Tim 8 merumuskan empat kriteria: pengaruhnya berskala nasional; pengaruhnya relatif berkesinambungan; dia menempati posisi kunci, penting, dan menentukan; serta dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang.
Di sinilah kelemahannya dan karena itu tak perlu dipusingkan, alih-alih mematuhi keempat kriteria tersebut, Tim 8 secara sadar justru melonggarkannya. Simak saja pengakuan mereka ini, "tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria …"
Malu dan Geram
Maka kini, daripada berdebat dan berurat tegang, lebih baik kita menyukurinya sebab lihatlah, debat demi debat yang tersaji selama ini bukannya berakhir pada sebuah simpulan, malah justru melahirkan “kebencian” yang tak khas sastrawan. Polisi sampai dibawa-bawa. Pengacara sudah siap-siap menunggu tawaran. Kita harusnya malu. Yang lebih memalukan lagi sebenarnya, mengapa ada orang yang mengadu pada polisi? Apa tak bisa dia berargumen?
Di sini saja sebenarnya sudah ketahuan, siapa sastrawan sejati dan siapa yang bukan. Sastrawan berkelahi dengan kata-kata, bukan dengan perasaan, apalagi hukum. Di dan pada kata-kata, mereka lepaskan amarah, bukan dengan meminjam tangan polisi. Benar, kita ini orang yang bernegara dan berhukum. Masalahnya, apakah kata-kata pada hukum harus menggerayangi kata-kata yang tersuratkan pada puisi? Kata-kata pada hukum itu mengikat. Nah, kata-kata pada dan bagi sastrawan itu membebaskan? Kalau begitu, mengapa kita harus memilih terikat dan menjadi tawanan polisi melalui kata-katanya yang beraroma fulus?
Sekali lagi, kata-kata merupakan jiwa. Jangan diadukan atas nama hukum! Melibatkan polisi pada kasus sastra yang barangkali tujuannya adalah meluruskan sejarah sudah mengantarkan kita pada dikotomi bahwa sastrawan itu ada dua: kriminal dan fenomenal. Yang kriminal ditangkap dan yang fenomenal dipuja. Dasar penangkapannya, celakanya sesat: pencemaran nama baik. Coba bayangkan diktum atas nama pencemaran nama baik, bukankah sastrawan seperti WS Rendra, Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan sebagainya bisa-bisa jasadnya dipenjarakan lantaran selama ini “mulut” mereka latah?

Maksud saya mengetengahkan ini, ayo, buktikan dirimu sebagai sastrawan. Bahkan kalau kau masuk di dalam kasus ini, buktikan kalau kau juga sastrawan paling berpengaruh? Apa tak bisa kau pengaruhi orang di sekitarmu? Kalau tak bisa, di mana pengaruhmu? Bung, saya malu dan saya geram karena Anda melecehkan kata-kata dengan mengkriminalisasinya. Sutardzi bilang, kata-kata itu bebas. Kalau dia pisau, dia bukan alat menikam. Masihkah kau tak mengerti pengertian ini, kawan?

Penulis adalah Pegiat Budaya di Pusat Latihan Opera Batak, Medan

0 comments: