Riduan Situmorang--Kalau harus dihitung, saya sudah tiga kali
menuliskan kisah rumit Saut Situmorang. Hal itu saya buat karena geram melihat
kasus yang melilit-litinya. Percayalah, ini bukan tentang Saut! Meski saya
semarga dengan dia, saya belum pernah berjumpa dengannya. Saya sejauh ini cukup
mengaguminya dari karya-karanya. Maka itu, sudah pasti tulisan kali ini tidak
tergerak dari sumbu etnisisitas, primordialisme, atau apa pun sebutannya itu.
Saya tak kenal Saut dan tentu saja belum ada kedekatan emosional di antara
kami.
Seperti
yang sudah jamak kita ketahui, Saut kini berurat tegang dengan Denny JA dan Fatin
Hamama. Itu sudah lama sekali. Lama sekali sehingga kasusnya menurut saya sudah
begitu menjemukan, membosankan, dan memuakkan. Apa tak ada hal-hal lain yang
bisa kita perbuat dan kita tawarkan demi pemerkuatan bangsa ini? Mengapa kita
mempermasalahkan hal-hal kecil? Terutama sekali, mengapa kita sedemikian
tergopoh-gopohnya menyeberangkan “kasus” sastra pada kasus polisi? Apa dunia
sastrawan sudah sedemikian gawat sehingga harus diselamatkan oleh dunia
pengacara?
Apakah
pula dunia “kenabian” dari para sastrawan harus dipindahtangankan pada polisi?
Sekali lagi, polisi? Yakin? Apa itu polisi? Mereka yang suka ngintip dan mencari kesalahan di lampu
merah? Mereka yang doyan mengutipi uang yang bukan miliknya? Mereka yang bisa
diajak kompromi ketika menjatuhkan tilang? Mereka yang tiba-tiba tenang dengan
uang recehan? Mereka yang sok pintar dan tak tahu membedakan mana parkir dan
mana berhenti? Lho, mereka ini yang
dipercayakan mengulas kata-kata para sastrawan? Berapa mereka dibayar?
Sebatas Kagum
Jujur saja, saya jijik! Jijik sekali. Supaya maknanya
lebih dalam dan menikam, izinkan saya mengutip bahasa alay: jijay! Jijiknya, bagaimana mereka akan bergerak? Membedakan
kata-kata yang jamak di masyarakat saja mereka tak tahu. Mata mereka buta,
apalagi hatinya! Otaknya mungkin cair, tetapi apa kita yakin mereka tak
digerakkan oleh fulus yang
melilit-lilit kantongnya? Ah, sedemikian
kacaunyakah sastrawan sehingga mereka harus kembali dikerangkeng oleh polisi?
Ada apa dengan dunia sastra kita? Pertanyaan yang paling tepatnya untuk
digemakan sesungguhnya adalah: ada apa dengan negara kita?
Ya,
saya kagum dengan Denny JA. Kagum pada karyanya yang mengharukan, penuh
pesan-pesan universalisme, juga menginspirasi! Hanya memang, kekaguman saya
berhenti pada kekaguman semata sebagaimana kita kagum ketika melihat alam
ciptaan Tuhan. Perlu dicatat, saya juga kagum pada beberapa penyair di daerah
Sumut ini yang meski nama mereka belum dikenal. Artinya, kekaguman saya, ya,
sebatas kagum. Bukan berarti mereka menjadi orang paling berpengaruh? Apakah
ketika kagum lantas membuat mereka paling berpengaruh? Tidak!
Di
paragraf pembukan tulisan ini tadi saya bilang belum pernah jumpa dengan Saut.
Saya rindu bertemu dengannya suatu kali. Dengan Denny JA dan juga Fatin, saya
sudah pernah. Itu ketika malam penganugerahan bagi para juara. Kebetulan, karya
saya “Balada Cinta Upiak dan Togar” mampu menggayut hati para juri. Saat itu,
samar-samar dan sayup-sayup terdengar selentingan tentang kasus Saut. Kalau
saya tak salah (dan saya yakin sekali), selentingan ini datang dari pecerpen
Joni Ariadinata.
Joni Ariadinata mengaku sebagai salah satu yang
mengusulkan Denny JA masuk pada jajaran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh. Saya ingat betul
Fatin tertawa lepas. Dia seperti merasa bebas. Dengan bercanda, Fatin bilang
menjadi “korban” dari Joni. Joni menanggapinya dengan santai saja. Seketika,
kami pun tertawa sembari tetap menikmati suasana malam Jakarta di Blok M.
Jujur saja, setelah itu, saya pikir kasusnya akan
berhenti. Eh, ternyata, selepasnya,
masalah makin keruh. Suasana teduh menjadi bergemuruh. Kata tempat kita bertutur
pun menjadi tempat menabuh guntur. Tak kurang, petisi dikeluarkan. Petisi ini
menjadi simbol agar kasus ini jangan dipetieskan. Hampir dari semua daerah.
Sampai-sampai, buku “kontroversial” itu pernah coba diberangus, atau dalam
istilah Orde Baru diesbut: dibredel. Untung hal itu tak dilakukan.
Sebab, kalau itu dilakukan, ini menjadi bukti betapa
kita tak menghargai karya. Perihal isinya keliru dan nyeleneh, atau bahkan salah itu
bukan fokus utama. Buku itu memang kontroversial, tetapi kontroversial bukan definisi bulat-bulat bahwa itu salah
total. Kontroversi justru melahirkan perbaikan ke depan. Sebagai perbaikan,
tentu buku ini bukan menjadi patokan. Artinya, ke-33 nama yang ada di sana
bukanlah yang sebenar-benarnya paling berpengaruh. Kalaupun berpengaruh, itu
hanya menurut penulis buku itu saja.
Lagipula, kita harus membelalakkan
mata pada standardisasi yang dibuat Tim 8. Indikator yang dibuat penulis buku
itu masih kendor dan belum teruji, apalagi diakui. Masih jauh dari objektif. Di
dalam pengantar buku, Tim 8 merumuskan empat kriteria: pengaruhnya berskala
nasional; pengaruhnya relatif berkesinambungan; dia menempati posisi kunci,
penting, dan menentukan; serta dia menempati posisi sebagai pencetus atau
perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan
penentang.
Di
sinilah kelemahannya dan karena itu tak perlu dipusingkan, alih-alih mematuhi
keempat kriteria tersebut, Tim 8 secara sadar justru melonggarkannya. Simak
saja pengakuan mereka ini, "tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33
tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi
satu dari empat kriteria …"
Malu dan Geram
Maka
kini, daripada berdebat dan berurat tegang, lebih baik kita menyukurinya sebab
lihatlah, debat demi debat yang tersaji selama ini bukannya berakhir pada
sebuah simpulan, malah justru melahirkan “kebencian” yang tak khas sastrawan.
Polisi sampai dibawa-bawa. Pengacara sudah siap-siap menunggu tawaran. Kita harusnya
malu. Yang lebih memalukan lagi sebenarnya, mengapa ada orang yang mengadu pada
polisi? Apa tak bisa dia berargumen?
Di sini
saja sebenarnya sudah ketahuan, siapa sastrawan sejati dan siapa yang bukan.
Sastrawan berkelahi dengan kata-kata, bukan dengan perasaan, apalagi hukum. Di dan
pada kata-kata, mereka lepaskan amarah, bukan dengan meminjam tangan polisi.
Benar, kita ini orang yang bernegara dan berhukum. Masalahnya, apakah kata-kata
pada hukum harus menggerayangi kata-kata yang tersuratkan pada puisi? Kata-kata
pada hukum itu mengikat. Nah, kata-kata pada dan bagi sastrawan itu
membebaskan? Kalau begitu, mengapa kita harus memilih terikat dan menjadi
tawanan polisi melalui kata-katanya yang beraroma fulus?
Sekali
lagi, kata-kata merupakan jiwa. Jangan diadukan atas nama hukum! Melibatkan polisi
pada kasus sastra yang barangkali tujuannya adalah meluruskan sejarah sudah
mengantarkan kita pada dikotomi bahwa sastrawan itu ada dua: kriminal dan
fenomenal. Yang kriminal ditangkap dan yang fenomenal dipuja. Dasar
penangkapannya, celakanya sesat: pencemaran nama baik. Coba bayangkan diktum
atas nama pencemaran nama baik, bukankah sastrawan seperti WS Rendra, Taufik
Ismail, Mochtar Lubis, dan sebagainya bisa-bisa jasadnya dipenjarakan lantaran
selama ini “mulut” mereka latah?
Penulis adalah Pegiat Budaya di Pusat Latihan Opera Batak, Medan
0 comments:
Post a Comment