KASUS yang menimpa mantan penyidik KPK Novel Baswedan mendapat
perhatian luas dari masyarakat dan telah bergulir dalam rentang waktu
yang cukup panjang. Pada akhirnya Kejaksaan Agung menerbitkan Surat
Keterangan Penghentian Penuntutan (SKKP).
Dikeluarkannya SKPP oleh Kejaksaan Agung merupakan pengulangan
sejarah terhadap peristiwa yang menimpa pimpinan KPK tahun 2009 yaitu
Chandra Hamzah dan Bibit Samad. Kebijakan dikeluarkannya SKPP pada kedua
kasus ini penting untuk menjadi catatan kita bersama. Pada 1 Desember
2009, Jaksa Agung mengeluarkan SKPPatas nama tersangka Chandra Hamzah
dan atas nama Bibit Samad. Pada masa itu Presiden SBY melalui Tim 8
turun tangan setelah melihat protes rakyat melalui akun dukung Bibit-
Chandra
. Para facebookers sedemikian dahsyat mengeluarkan pendapat mulai
dari kalimat-kalimat bijak hingga umpatan kejengkelan tersaji dengan
gamblang dapat diakses siapa saja, demikian juga protes melalui demo
yang dilakukan terus menerus oleh berbagai lapisan masyarakat.
Jaksa agung pada saat memberikan keterangan atas dikeluarnya SKPP
tersebut, menyebutkan bahwa berkas perkara kedua tersangka telah P21
(telah dinyatakan lengkap dan siap untuk dilakukan penuntutan). Namun
karena pertimbangan adanya ”alasan sosiologis” maka dikeluarkanlah SKPP.
Seiring bergulirnya waktu alasan sosiologis inilah yang kemudian
menjadi pukulan telak dan ”lubang” bagi kedua mantan pimpinan KPK.
Akibat alasan tersebut hakim praperadilan menerima permohonan
praperadilan yang diajukan oleh Anggodo. Pada saat itu hakim
praperadilan dalam pertimbangannya menyatakan bahwa alasan sosiologis
tidak pernah dipergunakan dalam pertimbangan hukum. Penerapan alasan
sosiologis harus jelas variabelnya.
Dengan demikian keluarnya SKPP tidak sesuai dengan syarat dalam
rumusan yang tercantum dalam Pasal 42 khususnya ayat (2) KUHAP, dengan
demikian jaksa agung tidak menerapkan ketentuan tersebut sehingga
sebagai konsekuensinya SKPP yang dikeluarkan adalah cacat hukum, oleh
sebab itu layak sekali untuk dibatalkan.
Pada kasus Novel Baswedan, pihak Kejaksaan Agung telah mengeluarkan
SKPP No B-03/N.7.10/Ep.1/02/2016. Alasan dikeluarkannya SKPP tersebut
adalah karena tidak cukup bukti dan kedaluwarsa. Dengan dikeluarkannya
surat ini maka kasus tersebut dinyatakan selesai. Terdapat poin penting
yang perlu untuk dicatat dari alasan dikeluarkannya SKPP tersebut.
Harus diingat bahwa dalam doktrin yang dianut oleh KUHAP alasan
untuk dapat dikeluarkannya SKPP adalah pertama, dihentikan demi
kepentingan hukum. Yang tercakup dalam alasan ini adalah karena bukti
kurang. Kedua, dihentikan demi hukum, yang tercakup dalam alasan ini
adalah ne bis in idem, dan kedaluwarsa. Ketiga, dihentikan demi
kepentingan umum yaitu deponering.
Alasan Kejaksaan
Pada kasus Novel Baswedan alasan yang diambil oleh Kejaksaan Agung
cukup unik yaitu kedaluwarsa dan tidak cukup bukti. Untuk alasan
kedaluwarsa tentu sudah sangat kita pahami bersama bahwa hal tersebut
merupakan fakta yang tak terbantahkan, Namun pada alasan selanjutnya
yaitu tidak cukup bukti justru nampak adanya sikap tidak konsisten dari
pihak Kejaksaan Agung.
Seharusnya cukup dengan alasan kedaluwarsa sebenarnya telah sangat
kuat, apalagi kedaluwarsa dari tindak pidana yang didakwakan telah
lampau waktu sejak 19 Februari 2015. Alasan kedua berupa tidak cukup
bukti justru menimbulkan kesan yang tidak elok dalam proses
prapenuntutan antara penyidik kepolisian dengan pihak penuntut umum.
Apabila melihat kronologis perjalanan penanganan kasus ini ada ketidak
konsistenan pihak penuntut umum.
Sebagaimana diketahui berkas perkara ini telah dilimpahkan ke
Pengadilan Negeri Bengkulu pada 30 Januari 2016, artinya JPU telah yakin
bahwa semua telah dalam keadaan siap untuk disidangkan. Namun demikian
ketika alasan belum tidak cukup bukti yang dikemukakan justru
mengesankan ”apa sajakah yang dilakukan oleh JPU pada masa
prapenuntutan?’.
Proses yang demikian tentu menimbulkan kesan pengingkaran terhadap
sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)
yang dicitakan dalam sistem peradilan kita. Pada periode prapenuntutan
merupakan saat yang sangat tepat bagi pihak penyidik kepolisian dan JPU
untuk saling berkomunikasi, saling melengkapi sehingga masalah kurang
bukti/ samar bukti seharusnya telah ter-antisipasi pada tahap
pemeriksaan pendahuluan (pra adjudication).
Mengapa tidak ada SKPP pada tahap ini ? Dimasa mendatang hendaknya
setiap subsistem penegak hukum dapat lebih memperhatikan hal-hal yang
sangat mendasar asas diferrensiasi fungsional dalam peraturan
perundangan serta doktrin yang ada.
Dengan demikian putusan yang diambil tidak menimbulkan ”cela” bagi
keselarasan sistem penegakan hukum pidana itu sendiri. Karena masyarakat
semakin paham dan cerdas untuk dapat menilai apa yang dilihat dari
kasus-kasus yang terjadi dan bagaimana penanganan yang dilakukan oleh
penegak hukum kita.
Prof. Ibnu Nugroha, S.H., M.H.
Suara Merdeka, 26/02/2016
Guru besar Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto
0 comments:
Post a Comment