Thursday, 25 February 2016

Penghentian Penuntutan Kasus Novel Vaswedan

KASUS yang menimpa mantan penyidik KPK Novel Baswedan mendapat perhatian luas dari masyarakat dan telah bergulir dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pada akhirnya Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKKP).
Dikeluarkannya SKPP oleh Kejaksaan Agung merupakan pengulangan sejarah terhadap peristiwa yang menimpa pimpinan KPK tahun 2009 yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Samad. Kebijakan dikeluarkannya SKPP pada kedua kasus ini penting untuk menjadi catatan kita bersama. Pada 1 Desember 2009, Jaksa Agung mengeluarkan SKPPatas nama tersangka Chandra Hamzah dan atas nama Bibit Samad. Pada masa itu Presiden SBY melalui Tim 8 turun tangan setelah melihat protes rakyat melalui akun dukung Bibit- Chandra
. Para facebookers sedemikian dahsyat mengeluarkan pendapat mulai dari kalimat-kalimat bijak hingga umpatan kejengkelan tersaji dengan gamblang dapat diakses siapa saja, demikian juga protes melalui demo yang dilakukan terus menerus oleh berbagai lapisan masyarakat.
Jaksa agung pada saat memberikan keterangan atas dikeluarnya SKPP tersebut, menyebutkan bahwa berkas perkara kedua tersangka telah P21 (telah dinyatakan lengkap dan siap untuk dilakukan penuntutan). Namun karena pertimbangan adanya ”alasan sosiologis” maka dikeluarkanlah SKPP. Seiring bergulirnya waktu alasan sosiologis inilah yang kemudian menjadi pukulan telak dan ”lubang” bagi kedua mantan pimpinan KPK.
Akibat alasan tersebut hakim praperadilan menerima permohonan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo. Pada saat itu hakim praperadilan dalam pertimbangannya menyatakan bahwa alasan sosiologis tidak pernah dipergunakan dalam pertimbangan hukum. Penerapan alasan sosiologis harus jelas variabelnya.
Dengan demikian keluarnya SKPP tidak sesuai dengan syarat dalam rumusan yang tercantum dalam Pasal 42 khususnya ayat (2) KUHAP, dengan demikian jaksa agung tidak menerapkan ketentuan tersebut sehingga sebagai konsekuensinya SKPP yang dikeluarkan adalah cacat hukum, oleh sebab itu layak sekali untuk dibatalkan.
Pada kasus Novel Baswedan, pihak Kejaksaan Agung telah mengeluarkan SKPP No B-03/N.7.10/Ep.1/02/2016. Alasan dikeluarkannya SKPP tersebut adalah karena tidak cukup bukti dan kedaluwarsa. Dengan dikeluarkannya surat ini maka kasus tersebut dinyatakan selesai. Terdapat poin penting yang perlu untuk dicatat dari alasan dikeluarkannya SKPP tersebut.
Harus diingat bahwa dalam doktrin yang dianut oleh KUHAP alasan untuk dapat dikeluarkannya SKPP adalah pertama, dihentikan demi kepentingan hukum. Yang tercakup dalam alasan ini adalah karena bukti kurang. Kedua, dihentikan demi hukum, yang tercakup dalam alasan ini adalah ne bis in idem, dan kedaluwarsa. Ketiga, dihentikan demi kepentingan umum yaitu deponering.
Alasan Kejaksaan
Pada kasus Novel Baswedan alasan yang diambil oleh Kejaksaan Agung cukup unik yaitu kedaluwarsa dan tidak cukup bukti. Untuk alasan kedaluwarsa tentu sudah sangat kita pahami bersama bahwa hal tersebut merupakan fakta yang tak terbantahkan, Namun pada alasan selanjutnya yaitu tidak cukup bukti justru nampak adanya sikap tidak konsisten dari pihak Kejaksaan Agung.
Seharusnya cukup dengan alasan kedaluwarsa sebenarnya telah sangat kuat, apalagi kedaluwarsa dari tindak pidana yang didakwakan telah lampau waktu sejak 19 Februari 2015. Alasan kedua berupa tidak cukup bukti justru menimbulkan kesan yang tidak elok dalam proses prapenuntutan antara penyidik kepolisian dengan pihak penuntut umum. Apabila melihat kronologis perjalanan penanganan kasus ini ada ketidak konsistenan pihak penuntut umum.
Sebagaimana diketahui berkas perkara ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bengkulu pada 30 Januari 2016, artinya JPU telah yakin bahwa semua telah dalam keadaan siap untuk disidangkan. Namun demikian ketika alasan belum tidak cukup bukti yang dikemukakan justru mengesankan ”apa sajakah yang dilakukan oleh JPU pada masa prapenuntutan?’.
Proses yang demikian tentu menimbulkan kesan pengingkaran terhadap sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang dicitakan dalam sistem peradilan kita. Pada periode prapenuntutan merupakan saat yang sangat tepat bagi pihak penyidik kepolisian dan JPU untuk saling berkomunikasi, saling melengkapi sehingga masalah kurang bukti/ samar bukti seharusnya telah ter-antisipasi pada tahap pemeriksaan pendahuluan (pra adjudication).
Mengapa tidak ada SKPP pada tahap ini ? Dimasa mendatang hendaknya setiap subsistem penegak hukum dapat lebih memperhatikan hal-hal yang sangat mendasar asas diferrensiasi fungsional dalam peraturan perundangan serta doktrin yang ada.
Dengan demikian putusan yang diambil tidak menimbulkan ”cela” bagi keselarasan sistem penegakan hukum pidana itu sendiri. Karena masyarakat semakin paham dan cerdas untuk dapat menilai apa yang dilihat dari kasus-kasus yang terjadi dan bagaimana penanganan yang dilakukan oleh penegak hukum kita.
Prof. Ibnu Nugroha, S.H., M.H.
Suara Merdeka, 26/02/2016
Guru besar Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto 
 

0 comments: