rbagai gerakan radikalisme belakangan ini semakin
vulgar menunjukkan eksistensinya, baik itu di taraf internasional maupun di
tingkat nasional. Di tingkat internasional, kita menyaksikan ISIS yang semakin
berpencar dan mengakar. Mereka berhasil keluar dari kandang. Beberapa tempat
yang dulunya dinilai aman mendadak menjadi tak jaminan. Pesawat komersial Rusia
ditanami bom, Paris dihujani peluru, Amerika dikejutkan berbagai penembakan,
Turki berkali-kali diguncang, sudah menjadi contoh akurat bahwa kini kenyamanan
sudah sungsang.
Menanggapi
berbagai kekerasan itu, negara-negara hebat sekelas Amerika, Rusia, Uni Eropa,
bahkan beberapa negara besar dari Timur Tengah, seperti Israel dan Arab sebenarnya
sudah berkali-kali membombardir sarangnya, mulai dari darat, laut, dan udara,
tetapi ISIS tak tertaklukkan. Yang ada, ISIS semakin digdaya dan meraja lela.
Andai Jurgensmeyer, peneliti teror atas nama
Tuhan, tidak keliru, ISIS sudah sangat-sangat berhasil menyampaikan pesan yang
sangat luar biasa. Apalagi kini, di tengah era digital, berbagai pemenggalan, aksi
mutilasi, pembakaran tahanan, dan kekejian-kekejian sengaja diekspos luas ke
media. Jurgensmeyer mengatakan bahwa kelompok-kelpompok
radikal sering menggunakan aksi kekerasan di luar batas kemanusiaan untuk
menarik perhatian khalayak agar pesan yang disampaikan mencapai sasaran (Terror
in the Mind of God, 2000: 262-4). Dan, pesan itulah yang mendarat dengan
apik di masyarakat.
Serba
Salah
Pesan itu, misalnya, ditujukan
kepada para simpatisan, para musuh, dan juga kepada masyarakat dunia secara
keseluruhan bahwa mereka masih eksis meski sudah dibombardir negara-negara kuat.
Pesan ini bahkan menjadi bias. Pertama, para simpatisan semakin tergugah yang
lalu mendukung ISIS secara on air.
Kedua, simpatisan tadi mencari anggota-angota baru agar semakin kukuh. Itulah
sebabnya seperti yang kita dengar bahwa mereka bisa merekrut ribuan orang dalam
waktu sebulan.
Pesan
yang lebih istimewa lagi adalah berita semakin fenomenalnya ISIS di tengah
kepungan berbagai negara merupakan pesan menarik bagi para pengagum ISIS.
Mereka akan semakin simpati karena ISIS merupakan sebuah kekuatan yang pantas
dibela lantaran kekuatannya. Bahkan, tak runtuhnya ISIS oleh serangan negara-negara
adidaya mengantarkan simbol bahwa yang adidaya itu sebenarnya adalah ISIS,
bukan AS, Rusia, atau Uni Eropa.
Serba salah memang dan inilah yang membuat dunia
lemah. Berita kalau kemudian ISIS terdesak sudah pasti bukan berita baik. Tuan
Besar, yaitu ISIS, harus dibela sehingga simpatisan di berbagai dunia merasa
terpanggil untuk menyerang. Celakanya, simpatisan ini sangat fanatis. Mereka
tak butuh perintah. Mereka bergerak tanpa pamrih, tetapi gerakannya sangat apik
dan terkoordinasi sehingga tak terdeteksi. Tiba-tiba, bom sudah meletus, gedung
sudah hancur, pesawat tumbang, nyawa-nyawa tak berdosa berjatuhan.
Sungguh ini sebuah fanatisme dan pengbadian yang
sangat luar biasa. Mereka nyata-nyata sangat berdedikasi tinggi. Jika pantas
disebut nasionalisme, nasionalismenya sudah berada pada titik didih. Tak akan
tergoyahkan lagi. Mereka rela melakukan apa pun. Tidak hanya materi, tetapi
juga nyawa, berikut tenaga dan pikiran. Tak tanggung-tanggung, seorang PNS kita
yang boleh dibilang sudah mapan untuk urusan keuangan, eh, tiba-tiba pergi berjuang dengan ISIS.
Seorang dokter baru-baru ini juga dikabarkan hilang
karena mengikuti Gafatar. Ini mementahkan teori yang menyatakan bahwa orang
berpendidikan akan menolak gerakan radikalisme. Memang agak boleh dikatakan
sebagai fakta bahwa para pelaku bom bunuh diri itu adalah orang “buangan”.
Tetapi, kita harus membuka mata bahwa musuh terbesar bukan “orang buangan” itu,
melainkan orang yang berhasil membujuk “orang buangan” tadi agar rela menyabung
nyawa. Membujuk bukan perkara muda. Dibutuhkan karisma dan intelegensi yang
dalam dan ini hanya didapatkan dari orang yang berpendidikan.
Tetapi bagi saya, yang membuat radikalisme dan
semacamnya berkeriapan dengan subur di belahan dunia ini adalah adanya
pemikiran bahwa mereka (pelaku) hanyalah korban. ISIS mentereng itu bukan salah
ISIS karena mereka hanya korban ketidakadilan. Gafatar merekah itu bukan salah
Gafatar karena mereka juga korban. Inilah yang menjadi sumbangan oksigen secara
tak langsung sehingga mereka merasa bahwa kehadiran mereka adalah karena
ketidakadilan. Alih-alih musuh, mereka malah merasa sebagai pahlawan kehidupan.
Secara historis dapat dibeberkan budaya korban yang
demikian. Sekte Zealot yang hidup di Palestina yang kemudian dinilai masyarakat
sebagai teroris pertama, misalnya, hadir karena korban ketidakadilan dari
kolonialisme Romawi. Pembunuhan brutal kepada Julius Caesar pada 44 SM oleh
bangsa jajahan juga terjadi karenya mereka menganggap sebagai korban. Budaya
korban juga menjadi pembenaran bagaimana pemerintah Perancis dan rakyatnya pada
masa Revolusi Perancis saling memerangi. Rakyat tak mau lagi menjadi korban
sehingga mengorbankan darah negara. Budaya inilah yang tetap awet hingga
sekarang.
Fokusnya Menjadi
Liar
Efek yang lebih mengejutkan dari budaya ini adalah
mereka merasa dilegitimasi untuk berbuat kekerasan. Apalagi konon, mereka
diartikan sebagai bidak-bidak catur yang digerakkan oleh orang pintar secara
konspiratif. ISIS, misalnya, katanya diciptakan oleh barat dan Amerika sehingga
jadilah ISIS yang “dibela”. Gafatar atau gerakan semacamnya lahir karena
ketidakadilan pemerintah sehingga jadilah mereka yang “benar”. Inilah budaya
korban. Karena korban, alih-alih dipojokkan, mereka justru dibela sehingga
gerakan-gerakan semacamnya tak pernah tamat. Mati satu, tumbuh yang lain. Bisa
saja nama mereka berbeda dan berubah, tetapi semangat ideologinya tetap
identik.
Tragis memang. Skemanya membuat kita menjadi
prihatin: gerakan radikal yang lahir karena sebagai korban terpaksa memilih
orang lain sebagai korban. Efek dari prihatin ini pelan-pelan membuat kita
berwajah muram pada penyelenggara negara. Pada tingkat yang lebih ekstrem, kita
“mengatakan” bahwa aktor utama di balik ini semua adalah negara.
Begitulah budaya korban menjerat. Perihal siapa yang
bersalah menjadi sumir. Apalagi kita memahami dan mengamini, seperti yang
dicuatkan Djoko Subinarto, bahwa para korban itu adalah mereka yang tidak mampu
mengelola, mengendalikan, dan mengatur kehidupan sendiri. Mereka tidak pernah
memiliki kerangka utuh lewat mana bisa melihat dan mengenali diri serta
memahami dunia sekitar.
Nah, budaya korban inilah yang membuat mereka
semakin eksis. Selain kita merasa prihatin, mereka juga merasa tak bersalah,
apalagi bertanggung jawab. Mereka merasa benar sebagai bukti dari pembelaannya.
Pembelaan yang melekat dalam hati mereka adalah bahwa mereka hanya korban
ketidakadilan, korban dari keluarga berantakan, keluarga dari negara yang
kacau, korban dari keluputan perhatian, korban dari perlakuan sewenang-wenang,
atau mungkin korban perasaan dari parapemuka agama.
Ketika mereka yang adalah “anak buangan”
melakukan aksi, bertumbanganlah korban-korban lainnya. Di sini, budaya korban
semakin mengilap. Ada organisasi yang merasa korban mengorbankan “anak buangan”
dan “anak buangan” tanpa bersalah mengorbankan orang lain di lapangan melalui
bunuh diri. Ketika korban terakhir jatuh, yaitu masyarkat, kita menyalahkan
negara sebagai aktor di baliknya. Kata kita sekaligus menghakimi negara, beri
keadilan supaya tidak ada terorisme. Fokusnya pun menjadi liar: lebih
menyalahkan negara daripada menyalahkan
terorisnya! Begitulah budaya korban!
Riduan Situmorang
Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan, serta Aktif di PLOt
0 comments:
Post a Comment