Riduan Situmorang-- UN tahun lalu merupakan kebutan pertama Menteri
Anies Baswedan (AB). Kita tahu, sebelum Jokowi dicalonkan sebagai presiden,
sudah ramai di media sosial yang menginginkan agar AB menjadi menteri
pendidikan. Artinya, rakyat melihat sesuatu yang berbeda dari AB. Pada
akhirnya, AB pun menjadi menteri pendidikan. Rakyat senang sembari terus menantikan
apa kira-kira yang menjadi terobosan baru dari Sang Menteri.
Baru-baru
ini, AB membuat terobosan baru: UN tidak lagi penentu nasib kelulusan siswa.
Berkaitan dengan itu, AB juga mulai merilis indeks integritas sekolah, tepatnya
Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Indeks ini sesuatu yang baru. Tetapi,
agaknya indeks ini hanya barang dagangan baru ketika barang dagangan lain tak
laku. Atau, sebatas alibi karena memang rakyat dominan berang ketika UN menjadi
penghakiman terakhir. Maka, agar dagangan UN tetap laku, atau, agar biaya UN
yang sangat tinggi tidak sia-sia, dibuatlah tujuan lain, yaitu selain menjadi
alat pemetaan, juga digunakan untuk mengukur indeks integritas (kejujuran)
sekolah.
Tahun
lalu, saya masih ingat betul bagaimana kasak-kusuk UN riuh di media sosial.
Sabda AB yang menguatkan bahwa UN bukan lagi penentu kelulusan siswa tak mampu
mengurangi ketakutan siswa, guru, orang tua, dan sekolah. Walhasil, guru dan
siswa kembali bertransaksi. Jawaban pun ramai-ramai dibocorkan. Sore harinya, misalnya,
sekadar menyebut contoh, selepas pengumuman kelulusan SMP, ada berita teks
berjalan di layar televisi kita: “80% SMP Negeri lakukan kecurangan”.
Apa-apaan Ini?
Entah berita ini hanya hoax, yang pasti, kita tetap geram (atau memang sudah tak lagi?). Geramnya,
sedemikian kejamnyakah pendidikan kita sehingga kejujuran digantikan
kecurangan? Ya, saya tak bisa menutupi kegeraman ketika selepas UN, selalu saja
kita dibanjiri pemberitaan tentang kecurangan. Tetapi, berita itu kembali
diredam dan dengan santai dan heroiknya, pihak dinas pendidikan akan melulu mengatakan
bahwa UN berjalan dengan lancar. Beberapa dari mereka juga mengatakan bahwa jika
ada indikasi yang kira-kira meragukan, bisa diadukan. Tak lupa, mereka juga
berpesan agar kita bersyukur karena UN berlalu dengan jujur!
Saya, jujur saja, gelisah dan geram sendiri ketika
hal ini selalu berulang. Bertahun-tahun! Sudah jelas-jelas ada fakta dan bukti
fisik, tetapi tak ditindaklanjuti. Malah ada penilaian yang mengatakan bahwa
pelaksanaan UN semakin membaik. Dan, atas semua kejadian itu, kita mesti
bersyukur kepada Tuhan bahwa UN sudah baik! Di mana kejujuran itu? Di mana
nurani kita? Di mana tindak lanjut dari angka “80%” tadi? Di mana revolusi
mental? Apa-apaan ini?
Saya tak sedang mengutuk AB di sini. Tidak! Kita
hanya ingin agar revolusi mental juga berlaku pada pendidikan. Bahwa generasi
bangsa ini semuanya mesti dijangkarkan dan dilahirkan dari rumah pendidikan
yang bersih. Rumah yang bersih juga harus disapu dengan sapu yang bersih. Jangan
malah dikotori dengan hal-hal yang tak pantas diletakkan di rumah. Tak perlu
menyimpan mobil truk mewah di rumah. Meski truk itu berkilap-kilap saking
bersihnya, tetap saja itu mengotori rumah.
Saya mengetengahkan ilustrasi itu agar kita kembali
membuka mata. Boleh saja dari UN kita ingin mengukur kejujuran, tetapi
bagaimana itu akan berlaku jika di balik UN kita menawarkan sebuah ancaman dan
peluang? Orang barang tentu tak mau terancam sehingga dominan mencari peluang.
Apa pun caranya, termasuk dengan kecurangan! Nah, di sinilah menurut saya UN
kita salah pengaturan. Niatnya memang boleh jadi tulus, tetapi karena niat itu,
kita malah secara tak langsung diundang untuk “bermain”.
Tengok saja Surat Edaran
tertanggal 17 Februari 2015 antara M. Nasir dengan Anies Baswedan. Di sana dijelaskan
bahwa hasil UN akan menjadi salah satu pertimbangan seleksi ke jenjang
pendidikan berikutnya, baik setingkat SMP dan SMA maupun seleksi masuk ke PTN. Inilah setan yang menggoda kita untuk bermain. Agar
lulus ke sekolah favorit, siswa dan guru berusaha memperbaiki nilai. Wujudnya
bisa melalui “cuci rapor” atau “transaksi jual beli” kunci jawaban soal UN.
Memang, pemerintah baru-baru ini mencoba
menalanginya dengan Indeks Integritas. Masalahnya, bagaimana itu akan
dilakukan? Apakah dengan jujur atau akal-akalan? Atau, yang lebih parah:
bisakah indeks integritas ini dibeli? Lagipula, seberapa efektif integritas itu
akan berlaku? Belum lagi kalau ditanyakan: apakah integritas sekolah sudah
menjadi gambaran faktual? Sebab, apakah masuk akal menilai kejujuran hanya dari
beberapa hari saja? Bukankah ini kebodohan ketika mengukur kejujuran selama
bertahun-tahun hanya dengan beberapa hari?
Beberapa pertanyaan ini menjadi sangat mendesak
untuk dipertimbangkan. Apalagi konon, indeks itu menjadi salah satu
pertimbangan masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Ini tentu dilematis sekali.
Apakah harus memilih sekolah yang indeks kejujurannya tinggi, tetapi siswanya
amburadul secara akademis? Atau, melupakan dan mengabaikan siswa yang secara
akdemis gemilang, tetapi karena indkes integritas sekolahnya brutal hingga kemudian
dia diabaikan?
Diperbaiki
Saya tahu persis bagaimana siswa kita begitu
menggebu-gebu mau masuk ke sekolah favorit, ke PTN favorit. Saking
menggebu-gebunya, jamak kita dengar ada “calo” yang bisa memasukkan seseorang
ke sekolah favorit. Saya sendiri pernah dikirimi SMS nyasar yang menawarkan
jika bisa menjadi “calo” akan diiming-imingi puluhan juta! Itu untuk PTN
melalui jalur mandiri. Saya tahu, beberapa teman juga pernah dikirimi SMS yang
sama. Lalu di mana kita mesti meletakkan indeks integritas tadi?
Apalagi tahun
ini, angka rentan untuk dirasuki permainan “calo” pada penerimaan PTN semakin
besar. Ada 40% untuk SNMPTN dan penambahan 10% untuk Ujian Mandiri (UM).
Sementara ujian murni melalui SMBPTN tetap mungil. Otak liar saya terburu-buru
nakal: jatah SNMPTN menjadi jatah para “calo”. Siapa “calo” itu? Bisa sekolah,
bisa mentor, bisa pula orang yang punya akses tembus ke pemerintah! Nah,
penambahan jatah 10% ke UM juga membuat hati saya gelisah: siapa yang akan
mendapat SMS nyasar lagi? Yang membuat saya lebih gelisah: siswa “bodoh” yang
mana yang berhasil masuk ke PTN favorit melalui jalur mandiri?
Saya punya
kisah lucu tentang seorang mentor. Saya tak tahu ini benar atau tidak. Tetapi,
cerita ini berasal dari seorang teman yang juga seorang mentor di sebuah
bimbel. Dia pernah gagal berobat karena dia tahu, dokternya adalah “orang
bodoh” yang pernah diajari yang kemudian berhasil menjadi dokter. Sayangnya,
keberhasilan itu ditempuh dengan cara nyalo
dan “calo” itu adalah mentor itu sendiri. Yang tak bisa dibayangkan: sudah
berapa orang yang akhirnya menjadi pasien “dokter berhasil” tadi?
Ya, apresiasi harus kita alamatkan kepada AB
karena sepertinya ada niat untuk memperbaiki karakter. Karakter menjadi
segalanya! Tetapi, kita harus tetap kritis. Ini diperlukan agar Indeks
Integritas ke depan semakin diperbaiki dan jangan itu dicapai melalui
kecurangan. Kalau tetap curang, ini menjadi berita yang sangat memalukan!
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan dan Aktif di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)






0 comments:
Post a Comment