Friday, 26 February 2016

Menyoal Indeks Integritas Sekolah

Riduan Situmorang-- UN tahun lalu merupakan kebutan pertama Menteri Anies Baswedan (AB). Kita tahu, sebelum Jokowi dicalonkan sebagai presiden, sudah ramai di media sosial yang menginginkan agar AB menjadi menteri pendidikan. Artinya, rakyat melihat sesuatu yang berbeda dari AB. Pada akhirnya, AB pun menjadi menteri pendidikan. Rakyat senang sembari terus menantikan apa kira-kira yang menjadi terobosan baru dari Sang Menteri.

            Baru-baru ini, AB membuat terobosan baru: UN tidak lagi penentu nasib kelulusan siswa. Berkaitan dengan itu, AB juga mulai merilis indeks integritas sekolah, tepatnya Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Indeks ini sesuatu yang baru. Tetapi, agaknya indeks ini hanya barang dagangan baru ketika barang dagangan lain tak laku. Atau, sebatas alibi karena memang rakyat dominan berang ketika UN menjadi penghakiman terakhir. Maka, agar dagangan UN tetap laku, atau, agar biaya UN yang sangat tinggi tidak sia-sia, dibuatlah tujuan lain, yaitu selain menjadi alat pemetaan, juga digunakan untuk mengukur indeks integritas (kejujuran) sekolah.
            Tahun lalu, saya masih ingat betul bagaimana kasak-kusuk UN riuh di media sosial. Sabda AB yang menguatkan bahwa UN bukan lagi penentu kelulusan siswa tak mampu mengurangi ketakutan siswa, guru, orang tua, dan sekolah. Walhasil, guru dan siswa kembali bertransaksi. Jawaban pun ramai-ramai dibocorkan. Sore harinya, misalnya, sekadar menyebut contoh, selepas pengumuman kelulusan SMP, ada berita teks berjalan di layar televisi kita: “80% SMP Negeri lakukan kecurangan”.
Apa-apaan Ini?
Entah berita ini hanya hoax, yang pasti, kita tetap geram (atau memang sudah tak lagi?). Geramnya, sedemikian kejamnyakah pendidikan kita sehingga kejujuran digantikan kecurangan? Ya, saya tak bisa menutupi kegeraman ketika selepas UN, selalu saja kita dibanjiri pemberitaan tentang kecurangan. Tetapi, berita itu kembali diredam dan dengan santai dan heroiknya, pihak dinas pendidikan akan melulu mengatakan bahwa UN berjalan dengan lancar. Beberapa dari mereka juga mengatakan bahwa jika ada indikasi yang kira-kira meragukan, bisa diadukan. Tak lupa, mereka juga berpesan agar kita bersyukur karena UN berlalu dengan jujur!
Saya, jujur saja, gelisah dan geram sendiri ketika hal ini selalu berulang. Bertahun-tahun! Sudah jelas-jelas ada fakta dan bukti fisik, tetapi tak ditindaklanjuti. Malah ada penilaian yang mengatakan bahwa pelaksanaan UN semakin membaik. Dan, atas semua kejadian itu, kita mesti bersyukur kepada Tuhan bahwa UN sudah baik! Di mana kejujuran itu? Di mana nurani kita? Di mana tindak lanjut dari angka “80%” tadi? Di mana revolusi mental? Apa-apaan ini?
Saya tak sedang mengutuk AB di sini. Tidak! Kita hanya ingin agar revolusi mental juga berlaku pada pendidikan. Bahwa generasi bangsa ini semuanya mesti dijangkarkan dan dilahirkan dari rumah pendidikan yang bersih. Rumah yang bersih juga harus disapu dengan sapu yang bersih. Jangan malah dikotori dengan hal-hal yang tak pantas diletakkan di rumah. Tak perlu menyimpan mobil truk mewah di rumah. Meski truk itu berkilap-kilap saking bersihnya, tetap saja itu mengotori rumah.
Saya mengetengahkan ilustrasi itu agar kita kembali membuka mata. Boleh saja dari UN kita ingin mengukur kejujuran, tetapi bagaimana itu akan berlaku jika di balik UN kita menawarkan sebuah ancaman dan peluang? Orang barang tentu tak mau terancam sehingga dominan mencari peluang. Apa pun caranya, termasuk dengan kecurangan! Nah, di sinilah menurut saya UN kita salah pengaturan. Niatnya memang boleh jadi tulus, tetapi karena niat itu, kita malah secara tak langsung diundang untuk “bermain”.
Tengok saja Surat Edaran tertanggal 17 Februari 2015 antara M. Nasir dengan Anies Baswedan. Di sana dijelaskan bahwa hasil UN akan menjadi salah satu pertimbangan seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya, baik setingkat SMP dan SMA maupun seleksi masuk ke PTN. Inilah setan yang menggoda kita untuk bermain. Agar lulus ke sekolah favorit, siswa dan guru berusaha memperbaiki nilai. Wujudnya bisa melalui “cuci rapor” atau “transaksi jual beli” kunci jawaban soal UN.
Memang, pemerintah baru-baru ini mencoba menalanginya dengan Indeks Integritas. Masalahnya, bagaimana itu akan dilakukan? Apakah dengan jujur atau akal-akalan? Atau, yang lebih parah: bisakah indeks integritas ini dibeli? Lagipula, seberapa efektif integritas itu akan berlaku? Belum lagi kalau ditanyakan: apakah integritas sekolah sudah menjadi gambaran faktual? Sebab, apakah masuk akal menilai kejujuran hanya dari beberapa hari saja? Bukankah ini kebodohan ketika mengukur kejujuran selama bertahun-tahun hanya dengan beberapa hari?
Beberapa pertanyaan ini menjadi sangat mendesak untuk dipertimbangkan. Apalagi konon, indeks itu menjadi salah satu pertimbangan masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Ini tentu dilematis sekali. Apakah harus memilih sekolah yang indeks kejujurannya tinggi, tetapi siswanya amburadul secara akademis? Atau, melupakan dan mengabaikan siswa yang secara akdemis gemilang, tetapi karena indkes integritas sekolahnya brutal hingga kemudian dia diabaikan?
Diperbaiki
Saya tahu persis bagaimana siswa kita begitu menggebu-gebu mau masuk ke sekolah favorit, ke PTN favorit. Saking menggebu-gebunya, jamak kita dengar ada “calo” yang bisa memasukkan seseorang ke sekolah favorit. Saya sendiri pernah dikirimi SMS nyasar yang menawarkan jika bisa menjadi “calo” akan diiming-imingi puluhan juta! Itu untuk PTN melalui jalur mandiri. Saya tahu, beberapa teman juga pernah dikirimi SMS yang sama. Lalu di mana kita mesti meletakkan indeks integritas tadi?
Apalagi tahun ini, angka rentan untuk dirasuki permainan “calo” pada penerimaan PTN semakin besar. Ada 40% untuk SNMPTN dan penambahan 10% untuk Ujian Mandiri (UM). Sementara ujian murni melalui SMBPTN tetap mungil. Otak liar saya terburu-buru nakal: jatah SNMPTN menjadi jatah para “calo”. Siapa “calo” itu? Bisa sekolah, bisa mentor, bisa pula orang yang punya akses tembus ke pemerintah! Nah, penambahan jatah 10% ke UM juga membuat hati saya gelisah: siapa yang akan mendapat SMS nyasar lagi? Yang membuat saya lebih gelisah: siswa “bodoh” yang mana yang berhasil masuk ke PTN favorit melalui jalur mandiri?
Saya punya kisah lucu tentang seorang mentor. Saya tak tahu ini benar atau tidak. Tetapi, cerita ini berasal dari seorang teman yang juga seorang mentor di sebuah bimbel. Dia pernah gagal berobat karena dia tahu, dokternya adalah “orang bodoh” yang pernah diajari yang kemudian berhasil menjadi dokter. Sayangnya, keberhasilan itu ditempuh dengan cara nyalo dan “calo” itu adalah mentor itu sendiri. Yang tak bisa dibayangkan: sudah berapa orang yang akhirnya menjadi pasien “dokter berhasil” tadi? 
Ya, apresiasi harus kita alamatkan kepada AB karena sepertinya ada niat untuk memperbaiki karakter. Karakter menjadi segalanya! Tetapi, kita harus tetap kritis. Ini diperlukan agar Indeks Integritas ke depan semakin diperbaiki dan jangan itu dicapai melalui kecurangan. Kalau tetap curang, ini menjadi berita yang sangat memalukan!

Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan dan Aktif di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

0 comments: