Riduan Situmorang
Aktivis Sastra di PLOt, Penggagas Teater Z Medan
KATA Sitor Situmorang pada salah satu puisinya yang terkenal, Bulan di
atas Kuburan. Meski masih dalam perdebatan, secara metaforik, kalimat
Sitor tersebut sah-sah saja kalau diartikan sebagai keindahan yang
tampak dari luar, tetapi di dalamnya malah busuk. Bulan adalah keindahan
itu, dan kuburan sebagai kebusukan. Setingkat masih dapat diturunkan
lagi, kuburan adalah keindahan yang di dalamnya tersimpan kebusukan.
Mungkin, kalau itu ditanya pada Mochtar Lubis, paling tidak dia akan
menjawabnya sebagai kemunafikan. Mengapa kemunafikan? Lihatlah bagaimana
nasib Angeline, sang bocah delapan tahun, yang semula dikabarkan
hilang, padahal sesungguhnya sudah dibunuh. Bahkan yang lebih tragis,
sempat dikabarkan bahwa sebelum dibunuh, Angeline terlebih dahulu
diperkosa. Namun, setelah diautopsi, tidak ada tanda-tanda spesifik yang
mengindikasikan bahwa Angeline diperkosa.
Dirunut lagi ke awal, akan kita dapati kisah seorang ibu angkat yang
merasa shock karena kehilangan seorang gadis. Saking shock-nya—dan ini
membuat kita kuyup atas rasa curiga—orang-orang besar yang berkunjung ke
rumahnya diabaikan (apakah dia terlalu berduka?). Kita sama sekali
tidak menduga bahwa ibu angkat yang dulunya shock itu justru kini
menjadi tersangka utama pembunuh Angeline. Kalau itu benar, inilah
definisi terbaik dari apa yang diungkapkan Sitor Situmorang. Ini pula
menjadi definisi yang benar-benar hidup atas dakwaan kemunafikan yang
pernah dinisbatkan Mochtar Lubis pada orang-orang Indonesia.
Tidak Punya Kuasa
Meluber agak jauh, ketika kemudian beberapa masyarakat mengaku pernah
melihat Angeline disiksa, tetapi justru tidak menolongnya, ini juga
dapat dianalogikan sebagai sebuah Bulan di atas Kuburan. Manusia yang
mestinya dan memang pada kodratnya harus mempunyai rasa iba rupa-rupanya
hanya melihat dari kejauhan, tidak menolong. Mereka hanya berhenti pada
rasa kasihan. Ketika ditanya mengapa tidak dibantu, atau setidaknya
diadukan pada pihak yang berwajib, mereka menjawab dengan argumen bahwa
tidak baik mencampuri urusan tetangga.
Kita tercengang, apakah itu maksudnya bahwa kita hanya manusia penonton
yang tidak punya kuasa untuk melerai orang yang bertikai, meski
jelas-jelas kedua orang yang bertikai itu tidak sebanding, seperti orang
kuat ke orang lemah, misalnya? Apakah itu juga maksudnya bahwa kita
tidak berhak menggunakan sanubari untuk membela siapa yang benar yang
kebetulan lemah dan disiksa?
Belum lagi beberapa guru di sekolahnya mengaku pernah memandikan
Angeline bersebab penampilannya yang urak-urakan. Mereka—katanya—bukan
tanpa iba dan belas kasihan. Mereka bahkan—sekali lagi, katanya—sangat
kasihan. Tetapi itulah celakanya, mereka hanya mencukupkan diri pada
rasa kasihan. Padahal, rasa kasihan saja tidak cukup, perlu tindakan
konkret, terukur, tanpa terlalu jauh mencampuri urusan tetangga.
Karena itulah, ketika kemudian Angeline nyata-nyata justru mati di
rumahnya sendiri, saya berpikiran naif dan kotor sekali—mudah-mudahan
ini salah—jangan-jangan rasa kasihan yang mereka ucapkan hanya rasa
kasihan kering yang maaf kata hanya untuk numpang eksis mumpung media
lagi ramai-ramai berkunjung, berlombalah mereka menyelipkan kata-kata
iba, ibarat ikan lele, makin keruh makin baik. Kalau pikiran kotor saya
itu benar, inilah kemunafikan kuadrat: numpang eksis di penderitaan
orang lain.
Tragis memang, tetapi begitulah Bulan di atas Kuburan. Begitu jugalah
mazhab kuburan. Penuh kemunafikan. Luarnya boleh jadi indah apalagi
setelah dikombinasikan dengan kaligrafi batu nisan, bunga-bungaan, dan
keramik megah. Mungkin di malam hari kuburan itu tidak cocok lagi
disebut sebagai kuburan karena penampilannya tidak kurang bagaikan
pemandangan romantis setelah kena pantulan cahaya bulan yang indah.
Lalu, karena keindahan itu, manusia terlarut, terlena, serta merasa
bagaikan di surga dan sia-sia rasanya kalau pemandangan seindah itu
tidak dinikmati. Dalam hal ini, kuburan tadi tidak lagi untuk ditakuti.
Daya magis dan sakralitasnya berubah menjadi suasana melankolis yang
romantis. Namun, siapa dapat menyangkal bahwa dengan akal sehat,
rupa-rupanya di dalam kuburan itu hanya ada mayat yang busuk.
Jangan-jangan jiwa yang empunya kuburan itu pun tidak pantas masuk
surga!
Sudah Mati
Saya tidak mengatakan rumah ibu angkat Angeline adalah kuburan yang lalu
penghuninya tidak pantas masuk surga. Siapalah saya yang kalau karena
tidak terlalu emosionalnya pasti akan menaruh hormat pada ibu angkat
Angeline. Namun, berkaca dari pengalaman pahit itu—menurut saya,
keluarga Angeline merupakan sosialita—rumah di negeri ini rupanya tidak
kurang dari kuburan. Berbahaya bagi semua dan semua berbahaya.
Tampilannya memang indah, tetapi di dalamnya hanya ada segerombolan
manusia yang saling terkam. Hukumnya hukum rimba, komplotan, dan
tribalisme. Tidak usah menanyakan lagi di mana nalar, akal, dan nurani
di sana. Mereka sudah mati dan sudah terkubur.
Mengapa dikatakan mati? Lihat saja, di luar rumah, memang penghuni rumah
tadi akan mengaku merasa iba, kasihan, atau apa pun itu, seakan-akan
masih hidup, maksud saya nalar, akal, dan nuraninya. Namun, di pikiran
kotor saya, kata-kata yang mereka akui itu hanya untuk makin menegaskan
bahwa sesungguhnya mereka sudah mati dan kini sedang berada dalam
kuburan. Ucapan dan penampilan mereka memang indah dan hidup, perilaku
dan tindakan siapa yang tahu, bukankah itu deskripsi dari kuburan?
Ya, hati nurani manusia sudah terkubur. Jauh sekali di dalam tubuhnya.
Makin jauh lagi karena tubuhnya pun terkubur di rumahnya. Jauh sekali di
dalam rumahnya. Belum lagi rumahnya penuh dengan pagar, satpam, dan
anjing. Tidak ada kekeluargaan dan kepercayaan, kecuali kecurigaan dan
kemunafikan.
Oleh sebab itu, manusia sekarang ini tidak ubahnya bagaikan rongsokan
tubuh bernyawa yang tidak berjiwa. Semua ceritanya ibarat waktu yang
tidak berkejadian. Ada waktu? Ada! Ada tubuh dan nyawa? Ada! Yang tidak
ada hanya substansi dari kehidupan itu. Tidak ada pemaknaan atas hidup,
apalagi atas waktu. Tidak ada lagi rasa. Semua sudah dianggap biasa.
Olah karena itu, kuburan yang dulu menjadi pintu tobat dan dianggap
sakral dan punya daya magis, sudah diubah sedemikian rupa. Kuburan sudah
lebih pada identitas dan status. Makin indah kuburannya, makin tinggi
identitas dan statusnya. Tidak ada lagi guna sabda agama yang mengatakan
kita tidak akan membawa uang ke surga.
Buktinya, manusia pada sibuk mencari dan mencuri uang. Tidak ada waktu
dan tempat untuk berbagi. Siapa yang menghalangi pencarian atas uang,
dia akan dibabat. Siapa yang kira-kira bisa diajak berkompromi, termasuk
menutup aib agar masih bisa dengan bebas mencari dan mencuri uang,
suap, sogok, gratifikasi akan berlaku. Istilahnya, uang tutup mulut.
Jangan tanya mengapa mereka tidak ada takut-takutnya menyuap, membunuh,
berdusta, dan bersandiwara. Sebab, sesungguhnya mereka tidak punya rasa
takut lagi, termasuk pada kematian dan kuburan. Mereka sudah mati.
Kalaupun seakan hidup, mereka itu hanyalah zombi yang sudah terkubur
pada kuburnya yang berlapis-lapis. Terkubur di tubuhnya, di rumahnya, di
masyarakat!
Aneh, kata “zombi” belum resmi diindonesiakan, tetapi zombi itu kini
malah sudah berserak di Indonesia. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk
pada golongan manusia zombi.
Friday, 19 February 2016
Manusia Zombi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment