Friday, 19 February 2016

Manusia Zombi

Riduan Situmorang
Aktivis Sastra di PLOt, Penggagas Teater Z Medan

KATA Sitor Situmorang pada salah satu puisinya yang terkenal, Bulan di atas Kuburan. Meski masih dalam perdebatan, secara metaforik, kalimat Sitor tersebut sah-sah saja kalau diartikan sebagai keindahan yang tampak dari luar, tetapi di dalamnya malah busuk. Bulan adalah keindahan itu, dan kuburan sebagai kebusukan. Setingkat masih dapat diturunkan lagi, kuburan adalah keindahan yang di dalamnya tersimpan kebusukan.

Mungkin, kalau itu ditanya pada Mochtar Lubis, paling tidak dia akan menjawabnya sebagai kemunafikan. Mengapa kemunafikan? Lihatlah bagaimana nasib Angeline, sang bocah delapan tahun, yang semula dikabarkan hilang, padahal sesungguhnya sudah dibunuh. Bahkan yang lebih tragis, sempat dikabarkan bahwa sebelum dibunuh, Angeline terlebih dahulu diperkosa. Namun, setelah diautopsi, tidak ada tanda-tanda spesifik yang mengindikasikan bahwa Angeline diperkosa.

Dirunut lagi ke awal, akan kita dapati kisah seorang ibu angkat yang merasa shock karena kehilangan seorang gadis. Saking shock-nya—dan ini membuat kita kuyup atas rasa curiga—orang-orang besar yang berkunjung ke rumahnya diabaikan (apakah dia terlalu berduka?). Kita sama sekali tidak menduga bahwa ibu angkat yang dulunya shock itu justru kini menjadi tersangka utama pembunuh Angeline. Kalau itu benar, inilah definisi terbaik dari apa yang diungkapkan Sitor Situmorang. Ini pula menjadi definisi yang benar-benar hidup atas dakwaan kemunafikan yang pernah dinisbatkan Mochtar Lubis pada orang-orang Indonesia.

Tidak Punya Kuasa
Meluber agak jauh, ketika kemudian beberapa masyarakat mengaku pernah melihat Angeline disiksa, tetapi justru tidak menolongnya, ini juga dapat dianalogikan sebagai sebuah Bulan di atas Kuburan. Manusia yang mestinya dan memang pada kodratnya harus mempunyai rasa iba rupa-rupanya hanya melihat dari kejauhan, tidak menolong. Mereka hanya berhenti pada rasa kasihan. Ketika ditanya mengapa tidak dibantu, atau setidaknya diadukan pada pihak yang berwajib, mereka menjawab dengan argumen bahwa tidak baik mencampuri urusan tetangga.

Kita tercengang, apakah itu maksudnya bahwa kita hanya manusia penonton yang tidak punya kuasa untuk melerai orang yang bertikai, meski jelas-jelas kedua orang yang bertikai itu tidak sebanding, seperti orang kuat ke orang lemah, misalnya? Apakah itu juga maksudnya bahwa kita tidak berhak menggunakan sanubari untuk membela siapa yang benar yang kebetulan lemah dan disiksa?

Belum lagi beberapa guru di sekolahnya mengaku pernah memandikan Angeline bersebab penampilannya yang urak-urakan. Mereka—katanya—bukan tanpa iba dan belas kasihan. Mereka bahkan—sekali lagi, katanya—sangat kasihan. Tetapi itulah celakanya, mereka hanya mencukupkan diri pada rasa kasihan. Padahal, rasa kasihan saja tidak cukup, perlu tindakan konkret, terukur, tanpa terlalu jauh mencampuri urusan tetangga.

Karena itulah, ketika kemudian Angeline nyata-nyata justru mati di rumahnya sendiri, saya berpikiran naif dan kotor sekali—mudah-mudahan ini salah—jangan-jangan rasa kasihan yang mereka ucapkan hanya rasa kasihan kering yang maaf kata hanya untuk numpang eksis mumpung media lagi ramai-ramai berkunjung, berlombalah mereka menyelipkan kata-kata iba, ibarat ikan lele, makin keruh makin baik. Kalau pikiran kotor saya itu benar, inilah kemunafikan kuadrat: numpang eksis di penderitaan orang lain.

Tragis memang, tetapi begitulah Bulan di atas Kuburan. Begitu jugalah mazhab kuburan. Penuh kemunafikan. Luarnya boleh jadi indah apalagi setelah dikombinasikan dengan kaligrafi batu nisan, bunga-bungaan, dan keramik megah. Mungkin di malam hari kuburan itu tidak cocok lagi disebut sebagai kuburan karena penampilannya tidak kurang bagaikan pemandangan romantis setelah kena pantulan cahaya bulan yang indah.

Lalu, karena keindahan itu, manusia terlarut, terlena, serta merasa bagaikan di surga dan sia-sia rasanya kalau pemandangan seindah itu tidak dinikmati. Dalam hal ini, kuburan tadi tidak lagi untuk ditakuti. Daya magis dan sakralitasnya berubah menjadi suasana melankolis yang romantis. Namun, siapa dapat menyangkal bahwa dengan akal sehat, rupa-rupanya di dalam kuburan itu hanya ada mayat yang busuk. Jangan-jangan jiwa yang empunya kuburan itu pun tidak pantas masuk surga!

Sudah Mati
Saya tidak mengatakan rumah ibu angkat Angeline adalah kuburan yang lalu penghuninya tidak pantas masuk surga. Siapalah saya yang kalau karena tidak terlalu emosionalnya pasti akan menaruh hormat pada ibu angkat Angeline. Namun, berkaca dari pengalaman pahit itu—menurut saya, keluarga Angeline merupakan sosialita—rumah di negeri ini rupanya tidak kurang dari kuburan. Berbahaya bagi semua dan semua berbahaya.
Tampilannya memang indah, tetapi di dalamnya hanya ada segerombolan manusia yang saling terkam. Hukumnya hukum rimba, komplotan, dan tribalisme. Tidak usah menanyakan lagi di mana nalar, akal, dan nurani di sana. Mereka sudah mati dan sudah terkubur.

Mengapa dikatakan mati? Lihat saja, di luar rumah, memang penghuni rumah tadi akan mengaku merasa iba, kasihan, atau apa pun itu, seakan-akan masih hidup, maksud saya nalar, akal, dan nuraninya. Namun, di pikiran kotor saya, kata-kata yang mereka akui itu hanya untuk makin menegaskan bahwa sesungguhnya mereka sudah mati dan kini sedang berada dalam kuburan. Ucapan dan penampilan mereka memang indah dan hidup, perilaku dan tindakan siapa yang tahu, bukankah itu deskripsi dari kuburan?

Ya, hati nurani manusia sudah terkubur. Jauh sekali di dalam tubuhnya. Makin jauh lagi karena tubuhnya pun terkubur di rumahnya. Jauh sekali di dalam rumahnya. Belum lagi rumahnya penuh dengan pagar, satpam, dan anjing. Tidak ada kekeluargaan dan kepercayaan, kecuali kecurigaan dan kemunafikan.

Oleh sebab itu, manusia sekarang ini tidak ubahnya bagaikan rongsokan tubuh bernyawa yang tidak berjiwa. Semua ceritanya ibarat waktu yang tidak berkejadian. Ada waktu? Ada! Ada tubuh dan nyawa? Ada! Yang tidak ada hanya substansi dari kehidupan itu. Tidak ada pemaknaan atas hidup, apalagi atas waktu. Tidak ada lagi rasa. Semua sudah dianggap biasa.

Olah karena itu, kuburan yang dulu menjadi pintu tobat dan dianggap sakral dan punya daya magis, sudah diubah sedemikian rupa. Kuburan sudah lebih pada identitas dan status. Makin indah kuburannya, makin tinggi identitas dan statusnya. Tidak ada lagi guna sabda agama yang mengatakan kita tidak akan membawa uang ke surga.

Buktinya, manusia pada sibuk mencari dan mencuri uang. Tidak ada waktu dan tempat untuk berbagi. Siapa yang menghalangi pencarian atas uang, dia akan dibabat. Siapa yang kira-kira bisa diajak berkompromi, termasuk menutup aib agar masih bisa dengan bebas mencari dan mencuri uang, suap, sogok, gratifikasi akan berlaku. Istilahnya, uang tutup mulut.

Jangan tanya mengapa mereka tidak ada takut-takutnya menyuap, membunuh, berdusta, dan bersandiwara. Sebab, sesungguhnya mereka tidak punya rasa takut lagi, termasuk pada kematian dan kuburan. Mereka sudah mati. Kalaupun seakan hidup, mereka itu hanyalah zombi yang sudah terkubur pada kuburnya yang berlapis-lapis. Terkubur di tubuhnya, di rumahnya, di masyarakat!

Aneh, kata “zombi” belum resmi diindonesiakan, tetapi zombi itu kini malah sudah berserak di Indonesia. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk pada golongan manusia zombi.

0 comments: