Friday, 19 February 2016

Fatwa Aliran Sesat MUI

BERKAH paling besar pada era reformasi adalah kemunculan keran kebebasan yang sebelumnya sulit didapat. Transisi dari era otoriter selama tiga dekade ke era bebas itu diterima masyarakat dengan sukacita, bahkan cenderung jadi euforia. Bagai kuda lepas pingitan, lari kesana kemari , menerjang ke kiri dan ke kanan, tak ambil pusing siapa pun yang ada di sekeliling, banyak orang berbuat semaunya lantaran saat itu seolah dunia cuma miliknya.

Beruntung kesadaran manusia belum seluruhnya sirna sehingga kondisi membahayakan itu tidak berlarut. Namun masa transisi itu menyisakan masalah yakni memaknai kebebasan yang tidak tepat dan seenaknya. Celakanya, hal itu masih dipelihara hingga kini.

Contoh paling anyar adalah penanganan kasus bekas pengikut Gafatar. Ketika tengah berproses pemulangan ribuan eks Gafatar dari Mempawah, Kalimantan Barat, ke daerah asalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Gafatar adalah aliran sesat dan menyesatkan.

Ketua Umum MUI KH MaĆ­ruf Amin juga menegaskan bahwa para pengikut eks Gafatar akan dibina agar mereka kembali ke jalan yang lurus. MUI yang dibentuk pada 26 Juli 1975 sebagai representasi ormas-ormas Islam di Indonesia memang mempunyai tugas dan fungsi sebagai lembaga fatwa. Kepada umat Islam arahnya memberi bimbingan dan tuntunan dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat. Adapun untuk pemerintah dan masyarakat adalah sebagai nasihat dan fatwa tentang masalah keagamaan.

Akan tetapi fatwa MUI tersebut menuai pro dan kontra. Atas nama kebebasan beragama dan hak asasi manusia, ada yang mengkritik bahwa langkah pemerintah memulangkan para eks pengikut Gafatar ke daerah asalnya adalah salah. Masalah serupa juga terjadi atas 22 keluarga pengikut Ahmadiyah yang akan direlokasi keluar dari Kelurahan Sri Menanti, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Pemkab Bangka melakukan hal itu untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan antara pengikut Ahmadiyah dan masyarakat sekitar.

Memenuhi Kriteria


Pertanyaannya, mengapa MUI dengan fatwanya dan Pemkab Bangka merelokasi warga Ahmadiyah disalahkan dan dianggap melanggar hak asasi manusia? Padahal langkah kedua institusi itu esensinya sama, yakni melindungi dan menyelamatkan mereka sebagai manusia. Terkait MUI memfatwakan bahwa paham Gafatar sesat dan menyesatkan, memang merupakan keputusan/tugas dan wewenangnya.

Dan, fatwa itu pasti tidak dilakukan secara sembarangan karena berdasarkan firman Tuhan dalam Alquran dan hadis Nabi saw. Jadi bukan hanya kata ulama, sebab para ulama hanya menyampaikan.

Gafatar yang merupakan metamorfosis dari paham Al- Qiyadah Al Islamiyah dari ’’Nabi’’Ahmad Moshadeq, sebenarnya harus sudah dilarang sejak dia masuk penjara dan menyatakan bertaubat dari banyak penyimpangan yang dia lakukan. Saat itu MUI juga sudah memfatwakan bahwa Al- Qiyadahnya Moshadeq dan ’’Malaikat Jibril’’ Lia Eden adalah paham sesat. Tapi MUI hanya mengeluarkan fatwa, tidak bisa memaksa. Sebab hak paksa hanya ada pada pemerintah.

Doktrin Gafatar sudah memenuhi kriteria sebagai aliran sesat. Pada tahun 2007 MUI mengeluarkan pedoman Sepuluh Kriteria Aliran Sesat. Di antaranya adalah setiap aliran paham yang mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam adalah sesat.

Juga yang meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Alquran dan as-Sunnah). Ajaran Gafatar membolehkan orang Islam tidak shalat, tidak puasa, tidak usah haji dan lain-lain.

Kriteria lainnya mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir dan meyakini turunnya wahyu setelah Alquran. Padahal dalam Alquran, Allah Swt tegas berfirman bahwa Muhammad adalah Khatamun Nabiyyin atau penutup semua nabi. Maksudnya sebagai nabi terakhir, habis itu tidak ada nabi lagi. Tetapi Moshadeq mengaku dapat wahyu sebagai nabi.

Sepuluh Kriteria tersebut adalah tolok ukur benar tidaknya suatu paham atau aliran. Perlu atau tidaknya suatu aliran dibantu dan dilindungi oleh negara atau sebaliknya. Kesanalah mestinya seluruh aparat terkait merujuk jika hendak mencatat, membina atau mau mengambil langkah represif agar tidak menabrak rambu-rambu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Penanganan kasus-kasus SARA dilakukan oleh banyak instansi seperti Kemenag, Kemendagri (Kesbangpol), Kejaksaan dan Kepolisian. Juga ada lembaga yang namanya Pakem (Pengawas Aliraan Kemasyarakatan). Dengan demikian profesional tidaknya penaganan kasus SARA tergantung pada hasil koordinasi institusiinstitusi itu, dan sejauh mana sosialisasi serta pemahaman para aparat terhadap Sepuluh Kriteria Aliran Sesat tersebut.

Sangat disayangkan bahwa akalakalan kelompok Gafatar telah sukses mengelabuhi ribuan orang termasuk para pejabat dan aparat negara. Begitu lihai menyembunyikan watak sesatnya dan amat pintar memamerkan kerudung palsunya berupa kegiatan-kegiatan sosial dan program pertanian. Masalah agama, paham-paham Islam sempalan dan trans nasional yang mengalir dan diadopsi dari Timur Tengah setelah reformasi, seharusnya dipelajari dan dipahami oleh semua pejabat terkait. Hal ini agar para penjahat moral tidak mudah mengelabuhi pemerintah dan masyarakat.
Hanya dengan cara itu negara akan hadir memberikan perlindungan dan pencerahan pada umat, dan bisa menerapkan makna HAM secara benar dan tepat.
 
Saliyun Moh. Amir
Suara Merdeka, 20/02/2016
Pemerhati masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan agama
 

0 comments: