Thursday, 25 February 2016

ASEAN bukan lagi untuk ASEAN

Untuk pertama kalinya, PresidenAmerikaSerikat (AS) pekan lalu mengundang para pemimpin ASEAN ke Sunnylands Center di Rancho Mirage, California, untuk membahas beberapa masalah serta kerja sama AS-ASEAN.

Pertemuan ini menghasilkan pernyataan bersama dalam bentuk ”Deklarasi Sunnylands” yang menegaskan prinsip serta kunci kerja sama 11 negara ini pada masa depan. Dalam dokumen tersebut dicantumkan ihwal terkait keamanan kawasan serta pembangunan ekonomi yang mengarah pada keterbukaan, inklusivitas serta tekad bersama AS-ASEAN untuk merealisasikan ”Strategic Partnerships” yang telah ditandatangani pada November 2015 dengan target pencapaian pada 2020.

Pertemuan tersebut dititikberatkan pada empat hal utama. Pertama , isu Laut China Selatan (LCS). Secara tegas digarisbawahi bahwa AS akan tetap berlayar, terbang, dan beroperasi di mana pun hukum internasional memungkinkan dan mendukung negara lain untuk melakukan hal yang sama. Kedua, masalah the Transpacific Partnership (TPP).

Saat ini hanya empat anggotaASEANyang telah bergabungyaituBrunei, Malaysia, Singapura, danVietnam, dantiga negara yang menyatakan kehendak bergabung yaitu Indonesia, Filipina, dan Thailand. Ketiga, masalah HAM, termasuk di dalamnya hak kebebasan berbicara, berkumpul, dan kebebasan pers. Keempat, masalah ancaman ISIS termasuk bantuan terkait leverage interpol data untukmencegah aliran dan pergerakan terorisme. Singkatnya, deklarasi ini dianggap menjadi simbol kuat komitmen pemerintahan Obama terkait Asia Tenggara.

Persekutuan Negara Kuda dan Pengendara

Dahulu Otto von Bismarck meyakini ”persekutuan” yang paling berhasil adalah persekutuan di mana satu negara menjadi seekor kuda dan negara lain menjadi pengendaranya. Karena itu, ”persekutuan” menjadi instrumen kontrol sebuah negara terhadap kekuatan sekumpulan negara yang beragam.

Meskipun tidak membentuk sebuah pakta, Deklarasi Sunnylands jelas menggambarkan strategi agar AS untuk tetap aman mengendarai kuda kekuasaannya di kawasan. Terangkulnya ASEAN— khususnya Indonesia—dalam deklarasi ini sebenarnya dapat memicu ketidakseimbangan kawasan. Indonesia seharusnya mampu secara tegas mengambil jarak dan lebih memilih untuk menitikberatkan pada kepentingan nasionalnya sendiri.

Meski tidak dinyatakan, sangat jelas deklarasi ini ditekankan pada ”political containment” terhadap China. Obama terkesan menemukan inisiatif baru dan spesifik dengan memanfaatkan tiga poros Singapura, Jakarta, dan Bangkok.

ASEAN telah menjadi titik tumpu jangkauan AS ke wilayah Asia karena nilai investasi AS mencapai USD226 miliar dan nilai perdagangan pada 2015 mencapai jumlah USD254 miliar. Karena itu, deklarasi ini memiliki target pencapaian ekonomi pada tahun yang persis sama dengan target pencapaian strategi keamanan ”US Pivot to Asia ” di mana sejak diluncurkannya (2009) bertujuan untuk ”Rebalancing Asia ”.

ASEAN Community Terkontaminasi

Strategi rebalancing sebenarnya dibuat agar AS dapat mengambil manfaat dari pergeseran masifdinamikageopolitikglobal abad ke-21 yang bergeser ke kawasan Asia-Pasifik. Karena itu, AS tidak semata menekankan aspek ekonomi, tetapi secara aktif juga membangun luas kerja sama diplomatik dan keamanannya di kawasan di mana terdapat implikasi setidaknya AS akan menggelar enam kapal induknya.

Implikasinya, akan terjadi pergeseran militernya ke kawasan pada lima tahun mendatang yakni: 1) Sebanyak 3.600 pangkalan militer AS dari 6.000 yang tersebar di dunia; 2) Sebanyak 1095 tentara dari 1825 tentara AS di Eropa (NATO); 3) Sebanyak 68.809 tentara dari 114.682 tentara AS di Afrika; 4) Sebanyak 2.564 tentara dari 4,274 tentara AS dari Timur Tengah. Semua itu untuk menambah kekuatan 89,846 personel militer AS yang sebelumnya tersebar di kawasan.

Saat ini Indonesia telah terkelilingioleh15pangkalanmiliter AS dan aliansinya yaitu: di sisi barat diDiegoGarcia; disisiutaradi Andaman, Nicobar, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan BruneiDarussalam; disisitimurdi Darwin, Palau, PNG, dan Guam; serta di selatan Cocos Island, Christmas Island, dan Dili.

Strategi rebalancing membawa dampak pada pilar politik dan keamanan ASEAN yang sebenarnya menekankan bahwa negara-negara ASEAN harus mampu bekerja sama sebagai sebuah ”persekutuan” untuk mengelola keamanan kawasan secara mandiri, utamanya di perairan dan ruang udaranya.

Dengan ikut menandatangani Deklarasi Sunnylands, Indonesia justru menambah permasalahan baru karena ikut terbawa masuk pada implementasi strategi ” Containment China ” , tanpa menerima keuntungan dalam aspek pertahanan dan militer dari AS dibanding beberapa negara ASEAN. Selain dapat dipastikan, kecenderungan masalah internal Indonesia di bagian timur seperti Papua akan semakin bergolak, dan akan ”didorong” untuk diinternasionalisasikan seperti Aceh, Timor Timur, juga LCS.

Pertahanan ”Defensif Aktif” ke ”Ofensif Pasif”

Pertanyaannya kemudian, bagaimana posisi Indonesia dengan ikut menandatangani Deklarasi Sunnyland akan mampu tetap mandiri terkait pertahanan keamanannya dengan ataupun dari ASEAN, bukankah justru dari 15 pangkalan yang telah mengelilingi Indonesia tersebar di beberapa negara ASEAN?

Untuk itu, harus dilakukan perubahan yang sangat mendasar pada strategi serta konsep ”persekutuan” dalam aspek pertahanan negara sesuai tuntutan nyata akan perubahan lingkungan strategis dan karakteristik ancaman yang semakin dinamis. Pertama, Indonesia harus membentuk model strategi perang modern dari ”defensif aktif” ke ”ofensif pasif” dan menata ulang efektivitas pelaksanaan fungsi pertahanan di wilayah mandalanya.

Kedua, mengingat luas serta tersebarnya spektrum ancaman, diperlukan respons dari berbagai institusi fungsional terkait koordinasi dengan batas peran dan kewenangan yang jelas. Ketiga, konstelasi geografis kawasanmembawakonsekuensi logis bagi Indonesia untuk menata model pertahanan integratif secara lebih optimal ke kerangka Trimatra Terpadu TNI.

Keempat, menyamakan persepsi dan kesepakatan seluruh komponen bangsa untuk menghadapi tantangan geopolitik dan keamanan kawasan. Konsistensi dan kesinambungan pembangunan postur TNI harus direvolusi dengan meninggalkan kebijakan pembangunan pertahanan minimum essential forces (MEF) peninggalan Presiden SBY menuju konsep pertahanan negara sesuai visi Poros Maritim Dunia (PMD) Presiden Jokowi yaitu dengan mengimplementasikan sinergi Trimatra Terpadu TNI dengan lebih maksimum, efektif, dan berdaya tangkal tinggi.

Utamanya, dalam menggelar efektivitas dari komando pelaksanaan fungsi pertahanan serta mobilitas TNI baik di area kedaulatan nasional maupun di wilayah tanggung jawabnya yang telah meluas ke wilayah ASEAN. Negara adalah aktor yang rasional. Karena itu, visi PMD harus diikuti oleh proses perumusan kebijakan luar negeri serta pertahanan yang melibatkanpenentuankepentinganyang harus dicapai Indonesia untuk mencegah ”spill over effects” dari penandatanganan Deklarasi Sunnylands.

Sejumlah alternatif revolusioner mungkin harus segera diambil untuk mendorong terwujudnya kapabilitas pertahanan yang diperlukan sehingga kita tetap dapat menjadi pengendara kuda di kandang kuda kita sendiri.
DR CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE
Koran SIndo, 26/02/2016
Analis Pertahanan dan Militer IIMS

0 comments: