Membebaskan atau Mengerangkeng?
Oleh: Riduan Situmorang
Pada 24-27 November 2013 lalu, para budayawan dari lintas negara mengadakan Forum Budaya Dunia di Nusa Dua Bali. Forum budaya ini boleh dikatakan sangat khas dan unik. Selama ini, para petinggi di dunia lebih memfokuskan diri pada forum ekonomi, sosial, bahkan hukum. Esensi budaya sering luput, bahkan tercabut dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Selain khas, forum seperti ini ibarat reinkarnasi kesadaran tentang betapa pentingnya kebudayaan bagi kehidupan manusia, sesungguhnya terintegrasi pada kebudayaan. Celakanya, secara tidak sadar, bahkan secara sadar, manusia sering melepaskan diri dari kerangkeng budaya. Kita menyaksikan kemudian, kekerasan atas nama kemanusiaan, jauh dari kategori santun, apalagi berbudaya!
Dalam konteks Indonesia, sekarang, sedang dikebut RUU Kebudayaan. Harus selesai setidaknya sebelum masa pemerintahan SBY berakhir. Melihat statusnya sebagai proglenas, dapat dibaca, RUU Kebudayaan memang sangat urgen. Dilihat dari serba kemepetan, bahkan kejar tayangnya, RUU ini hanyalah hal-hal dadakan. Sifatnya pun dadakan, sehingga pesan yang kita tangkap: yang penting selesai dan terhapus dari daftar tunggu. Padahal, kebudayaan bukan semata tentang manusia, melainkan tentang kemanusiaan itu sendiri.
Budaya Lokal yang Inferior
Secara umum RUU hendak digubah menjadi landasan strategi budaya dalam berbagai fenomena aktual, terjadi di tengah realitas global. Selain proteksi, RUU diharapkan tidak sebatas pemenuhan tugas legislasi DPR. Harus mampu memuat susbtansi kebudayaan. Di lain pihak, RUU menjadi pertimbangan untuk tidak sekadar payung hukum. Harus dapat diorkestrasi menjadi pijakan bagi kreativitas kebudayaan.
RUU bukan menjadi halangan, melainkan menjadi pijakan bagi pengembangan kreativitas kebudayaan. Karena menjadi pijakan, harusnya RUU berfungsi merangsang. Bukan semata melindungi, apalagi mengerangkeng!
Jika melihat para “budayawan” kita di Kemendikbud, ada kecenderungan, mereka sedang mengerangkeng kebudayaan. Mereka terlalu terburu-buru menangkap gejala sosial. Seringkali menerjemahkan, budaya global sebagai budaya sesat. Dapat menghancurkan eksistensi kebudayaan lokal. Dengan alasan seperti itu, lahirlah pertimbangan seperti ini, “bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat.” (Konsideran C).
Atas pertimbangan seperti ini, para “budayawan” kita kemudian diarahkan pada sebuah kondisi. Harus memosisikan diri sebagai penyelamat. Lahirlah Pasal 1 poin 5 yang misalnya mencantumkan, “Pengelolaan kebudayaan adalah upaya pelestarian kebudayaan yang dilakukan melalui perencanaan, penyelenggaraan dan pengendalian untuk tujuan kemajuan peradaban bangsa dan kesejahteraan masyarakat.” Dalam hal ini secara sepihak, jadilah pemerintah menjadi perencana, penyelenggara, dan pengendali murni secara tunggal.
Jika dipelesetkan, peran masyarakat benar-benar diabaikan. Padahal, masyarakatlah yang sesungguhnya menjadi jantung yang membidani inisiatif, kreativitas, maupun terobosan-terobosan dari gerak kebudayaan. Iya, tanpa pemerintah dan UU barangkali kebudayaan itu memang tidak berdaya, tetapi tanpa masyarakat, kebudayaan itu semakin tak berdaya, bahkan hilang begitu saja kalau tidak boleh dikatakan punah.
Begitupun, kita hargai niat pemerintah untuk melindungi kebudayaan kita. Perlu disikapi secara kritis. Melindungi dengan mengurung diri dari budaya global, merupakan langkah yang salah arah. Apalagi kalau terlanjur memosisikan budaya global sebagai ancaman, lalu menempatkan budaya sendiri sebagai benda yang rentan tercemari.
Penempatan seperti ini, secara gegabah telah membuat pengakuan tersirat. Budaya global itu sangat superior, sementara budaya kita inferior. Bahkan lemah, sehingga harus dilindungi. Artinya, alih-alih dibaca sebagai ruang dialog, globalisasi dimaknai sebagai ancaman yang berbahaya. Pandangan ini jelas mengabaikan pembacaan atas realitas historis. Bagaimanapun, keberagaman budaya di Indonesia terbentuk sebagai hasil pertemuan dan dialektika kebudayaan, telah berlangsung sejak ratusan tahun silam.
Pijakannya Jangan Oleng!
Sebelum pada akhirnya RUU Kebudayaan disahkan, ada baiknya opsi ini dipertimbangkan. Apalagi pemerintah terpilih mengimani Trisakti. Dan, salah satu iman Trisakti itu memuat elemen kebudayaan, yaitu berkepribadian di bidang budaya.
Sialnya, relevansi iman Trisakti, sepertinya belum benar-benar mengakar. Cenderung diabaikan. Hal itu dapat kita tangkap dari tidak disinggungnya ketahanan budaya sebagai bagian dari visi-misi pada debat capres-cawapres. Ihwal pertahanan dan ketahanan nasional. Atas dasar itu, Tim Transisi Jokowi-JK memperkuat usulan “budayawan” di kemendikbud. Ingin membuat kebudayaan dipayungi oleh satu kementerian yang mandiri. Setidaknya, kementerian pendidikan dan kebudayaan, dijabarkan lagi dalam dua bentuk yang terpisah. Kita hargai saran itu!
Peletakan kementerian mandiri seperti ini bisa menjadi bias. Biasnya, kemungkinan kebudayaan itu akan tercabut dari hal-hal lain seperti pendidikan, bahkan dari manusia itu sendiri. Jika hal ini menjadi bias, kita sudah kembali ke siklus lama yang sangat paradoksal.
Mengaku berbudaya, tetapi perilakunya kurang beradat. Seperti kata Iwan Meulia Pirous dalam artikelnya “Negara dan Krisis Kebudayaan” Kompas (30/08/2014). Religius dan patuh berbelanja, konsumtif dalam simbol-simbol agama, dan toleran terhadap kekerasan dalam penegakan moral. Lunak dan ragu terhadap korupsi ketidakadilan serta pelanggaran HAM di depan mata.
Pahamilah, kebudayaan itu melekat dengan manusia, siapapun itu. Ini sangat relevan dengan adagium, pada prinsipnya, semua orang adalah berbudaya. Karena melekat dengan manusia, budaya pun berkembang karena interaksi dan negosiasi dan akan mati kalau dilakukan secara sebaliknya. Dia pun tidak akan berarti kalau dikerangkeng dalam dirinya sendiri.
Kebudayaan jangan dikerangkeng, apalagi dipisah dari hal-hal substansial dari kemanusiaan. Inilah polemik yang harus kita pertimbangkan sebelum pada akhirnya, RUU ini benar-benar menjadi pijakan. Jika saja pijakan ini nantinya malah oleng, yakinlah, kita sedang napak tilas pada zaman kebiadaban. Forum kebudayaan akan tergilas oleh semaraknya forum-forum yang murni ekonomi, sosial, ataupun hukum.
Penulis Penikmat Sastra dan Pengajar B. Indonesia di Prosus Inten Medan
0 comments:
Post a Comment