Thursday, 21 August 2014

Sudahlah, Mari Saling Mengaku

Sudahlah, Mari Saling Mengakui!

Oleh: Riduan Situmorang
Saya hargai niat baik dari teman saya Nevatuhella yang dengan ringan hati menanggapi tulisan saya “Merawat Pluralisme” di harian ini pada 11 Juli 2014 dengan tulisannya yang bertajuk “Logika Beragama dan Pluralisme” di harian yang sama pada 8 Agustus 2014. Bagi saya, hanya niat baik untuk menanggapi saja sudah merupakan definisi lain bahwa seseorang itu memberi respons bahkan perhatian besar. Tetapi, sebagai dua orang yang saling perhatian (setidaknya melalui tulisan), ada beberapa hal yang menurut saya perlu disikapi secara kritis.
Pertama, Nevatuhella hadir dengan ide yang membuat saya terkejut. Terkejutnya adalah ketika Nevatuhella terlalu menyempitkan pengertian pluralisme. Baginya, pluralisme itu adalah masalah hidup, iya, sebatas masalah hidup. Sama-sama berjalan, sama-sama tidur, sama-sama menikah, dan lain-lain. Apakah memang sesederhana itu? Baik saya kutip tulisan beliau di sini! Islam mengajarkan keberagaman dalam arti yang luas, bahwa di bumi ini dan alam ini begitu beragamnya pola-pola hidup mahluk yang sesungguhnya bertujuan mempertahankan hidup masing-masing (paragraf ke-8).
Semuanya Sama
Hal itu merupakan penegasan pengertian pluralisme yang dia tuangkan pada paragraf ke-3. Baik, saya kutip tulisan itu lagi di sini! Dalam konteks keberagaman atau pluralisme yang diartikan sebagai semua agama benar, sama kedudukannya, sudah pasti Islam menolak keberagaman dengan definisi ini. Sebab kalau terjadi seorang penganut Islam membenarkan ada Tuhan lain selain Allah SWT yang dipercayainya sebagai satu-satunya Tuhan yang ada, maka orang ini sudah dicap sesat dalam Islam.
Percayalah, kutipan di atas bagi orang-orang tertentu bisa menjadi bias, bahkan dapat ditafsirkan sebagai bentuk diskriminatif. Bagaimana tidak, kita sudah berbeda dari segi-segi sensitif, tetapi Nevatuhella makin menegaskan perbedaan itu di sini. Bahkan, dia secara tidak langsung mengastakan orang berdasarkan kepercayaannya dengan diksi tidak sama kedudukannya. Inilah hal kedua yang membuat saya terkejut.
Sederhana saja, yaitu bahwa diksi ini dapat diparalelkan dengan aksioma bahwa di antara semua agama itu ada yang inferior dan ada pula yang superior. Nah, mari kita kaitkan dalam konteks keindonesiaan, apakah memang negeri ini memandang semua agama dalam timbangan seperti itu? Tidak, semua agama sama, tidak ada yang lebih benar dan tidak ada yang lebih salah. Kedudukannya sama, bukan tidak sama!
Akan halnya pandangan mana yang lebih benar dan mana yang lebih mulia memang masalah subjektif. Sederhananya begini, tentu saja saya menganggap Jokowi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ayah saya. Siapalah Jokowi apabila dibandingkan dengan ayah saya? Tidak ada manusia yang lebih membela ayah orang lain ketimbang membela ayah kandungnya sendiri!
Tetapi, dalam negeri pluralisme, pandangan seperti itu terlalu sensitif dan sangat destruktif. Karena itu, kita tidak boleh melontarkan pernyataan-pernyataan subjektif seperti itu untuk konsumsi umum. Untuk konsumsi keluarga Nevatuhella, misalnya, iya, sah-sah saja. Tetapi untuk umum? Tidak, karena itu berpotensi untuk menggantikan pola pikir rasional konstruktif menjadi emosional konfrontatif!
Baik, supaya posisi saya jelas, izinkan saya mengutip definisi pluralisme dari pengertian umum sebab pluralisme itu sendiri mengharuskan definisinya harus diambil dari pandangan umum, bukan pandangan khusus dari agama-agama tertentu, misalnya!
Dalam KBBI, pluralisme itu diartikan sebagai keadaan masyarakat yang majemuk. Majemuk itu sendiri berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Coba baca lagi, apakah definisi itu menimbulkan bias? Tidak! Dia justru semakin meneguhkan bahwa kita semua adalah satu kesatuan yang walaupun pada prinsipnya adalah benar-benar berbeda. Pesan positifnya yang dapat kita raih adalah bahwa pada dasarnya kita memang sudah berbeda. Jadi, jangan lagi mencari perbedaan, apalagi memosisikan diri sebagai yang paling benar!
Kekuatan Logika, bukan Logika Kekuatan
Saya katakan begini, Tuhan yang kita sembah itu menciptakan kita semua berbeda-beda dengan satu tujuan, yaitu supaya kita mencari persamaan. Andai Tuhan menciptakan kita semua sama, sudah tentu kita akan mencari perbedaan. Bukankah kita lebih doyan mencari perbedaan manakala melihat orang yang kembar identik? Lagipula, yakinkah Anda bahwa Tuhan yang saya sembah, misalnya, menghalalkan saya membunuh Anda? Tidak, Tuhan itu maha mencintai, termasuk mencintai musuh!
Baik, karena tulisan teman saya Nevatuhella juga menjajaki logika beragama, izinkan pula saya di sini untuk meneguhkan logika yang tidak berseberangan dengan agama itu. Agama adalah sarana untuk mencari kedamaian, bukan perpecahan. Kita sama-sama tahu itu. Dia bukan bentuk pencarian perbedaan, tetapi persamaan dalam bentuk harmonis. Sesuai dengan namanya, agama tentu hadir untuk mengguratkan nadi-nadi kehidupan yang saling menghormati. Artinya, agama tidak pernah melegitimasi pola pikir yang menganut logika kekuatan dan kekerasan, melainkan menanamkan kekuatan logika.
Logika sederhananya kemudian adalah seperti keluarga. Kita tahu, keluarga adalah bentuk kecil dari keberagaman. Tetapi, kalau saja keluarga melulu melibatkan logika kekerasan, tentu keluarga itu akan terpuruk pada lingkaran kekerasan. Sebaliknya, jika dia mengutamakan kekuatan logika, sudah pasti keluarga itu akan harmonis. Segala keputusan berbeda akan dirapatkan dalam bentuk diskusi. Di sini, kekuatan logika menemui definisi terbaiknya. Jadi, segala bentuk kekerasan bukan lagi tontonan sehari-hari, bukan pula tuntunan.
Sadarlah, keluarga dibangun dalam bentuk konstruksi yang berbeda, bahkan barangkali mengejar kepentingan yang berbeda pula. Tetapi, mereka selalu dibalut rasa persaudaraan. Intinya, ayo, mari saling mengakui dan saling mengasihi. Perihal bahwa kita berbeda adalah memang sebuah keniscayaan. Karena itu, jika kita memang ingin hidup rukun, marilah saling menghargai dan saling mengakui.
Jangan mengungkit-ungkit perbedaan! Buatlah jargon-jargon yang mempersatukan dari konteks yang universal, bukan spesial. Sekali lagi, ayo, jangan munafik, mari bergerak untuk saling mengakui dan tidak saling mengkafirkan!. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed

0 comments: