Friday, 29 August 2014

Kota Welas Asih

Kota Welas Asih

Oleh: Riduan Situmorang
Baru-baru ini, Banyuwangi didaulat menjadi Kota Welas Asih atau Compassionate City di dunia dan sejajar dengan Seattle di Amerika Serikat, Capetown di Afrika Selatan, dan Leiden di Belanda. Banyuwangi juga sekaligus menjadi Kota Welas Asih pertama di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, hal ini tentunya menjadi prestasi bergengsi. Karena prestasi bergengsi, hal itu pun perlu dirayakan. 
Hanya saja, selain butuh perayaan, hal ini menjadi tantangan bagi kota-kota lainnya, terutama kota yang selama ini terindikasi sebagai kota mati lantaran terlilit masalah klasik seperti banjir dan macet. Menjadi timbul pertanyaan, kapan ketiga kota terbesar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menyusul mengingat ketiga kota ini selalu saja tidak terpisahkan dengan penyakit menahun yang siklusnya makin pesat. Begitu hujan, banjir sudah menghadang, begitu matahari muncul, jalanan sudah meradang didera kemacetan. 
Kata dan Ruang
Tetapi, begitulah kota. Kita hanya terpukau pada kemilau yang melekat padanya. Sebagai hasilnya, ukuran kemakmuran dan kebesaran kota dibaca secara keliru, yaitu melalui berapa banyak bangunan sekuler yang dibangun tiap tahun yang lalu mengabaikan pembangunan manusia. Padahal, manusialah yang sebenar-benarnya menjadi substansi, bahkan menjadi parameter kemajuan kota tersebut. 
Drijarkara (1956) pernah mengingatkan bahwa kota adalah ’’kata’’ dan ’’ruang’’ yang mengandung kengerian dan risiko. Memang, sebagai kata, kota memberikan utopia dan janji indah, tapi melenakan dan melengahkan. Dikatakan utopia dan janji, misalnya, karena bentuk fisiknya, dia sampai dapat merayu anak-anak desa dalam pelukannya. Akhirnya, kota sesak lantaran ditindih beragam timbunan. 
Sebagai ruang hidup, kota lebih identik sebagai tempat kompetisi, konfrontasi, dan konflik. Persaingan diartikan tidak lagi sekadar beradu argumen, tetapi menjadi arena para gladiator. Membunuh bahkan tidak lagi diartikan sekadar menghabisi nyawa. Semuanya bergerak ke episentrum yang sama sehingga tempat itu lumpuh kehabisan tenaga. Mereka yang berkumpul di sana berebut kehidupan. Pada titik inilah, asas individualisme berkecambah sedemikian cepatnya. Akhirnya, tetangga mendadak diartikan sebagai musuh, bukan lagi tandem yang harus dikasihi. Sebagai hasilnya, kota dihuni oleh mereka yang siap bertarung setiap hari.
Dalam konteks Jakarta, sastrawan kawakan kita-Pramoedya Ananta Toer-sudah pernah menggelisahkan kekisruhan kehidupan di kota. Kegelisahan itu dengan mudah dapat kita terawang melalui artikelnya “Mari Mengubah Wadjah Jakarta” (1957). Kurang lebih, begini beliau berujar,’’… Jakarta ini bukanlah kota dalam pengertian sosiologis dan ekonomis. Jakarta baru merupakan tumpukan desa-desa dan kampung jang dipaksa berfungsi sebagai kota dalam segi-segi sosiologis dan ekonomis. Perkosaan ini terdjadi tiap hari sedjak berdirinya Jakarta sebagai pemerintah Hindia Belanda hingga dewasa ini…”
Artinya, selama ini yang kita sebut kota bukan kota benaran. Dia hanyalah tumpukan desa-desa yang dikerumuni manusia tak berpendidikan. Kalaupun berpendidikan, hal itu tidak mereka persembahkan untuk kehidupan, melainkan untuk diri sendiri karena terlanjur dililit virus individualisme. 
Di sisi lain, kota pun terlihat lihai menawarkan berbagai produk. Konon, produk ini disebut sebagai senjata untuk merawat ekonomi, tetapi dia lebih sering menjadi senjata yang tiba-tiba bersembunyi dalam senyap. Dia selalu mengintip di setiap kesempatan. Dia bahkan tahu menggencet sisi kelemahan manusia sehingga pada waktu yang tidak terduga, bahkan terduga sekalipun, dia sudah menawan kita melalui dalih perilaku konsumtif. Akhirnya, manusia yang pada dasarnya bisa memosisikan diri sebagai produsen lebih sering mengambil peran sebagai konsumen. Celakanya, kita selalu saja menikmati posisi ketertawanan yang seperti itu atas nama perilaku kehidupan kota.
Remah-remah Negara
Sebagai hasilnya, pergeseran nilai-nilai pun terpampang. Tiba-tiba kebutuhan tersier menyeberang menjadi kebutuhan primer. Semua itu atas nama kebutuhan, kebutuhan di kota tepatnya.
Yang lebih parah, orang di kota seringkali menciptakan kebutuhan demi kebutuhan baru yang sebenarnya bukan kebutuhan. Gejalanya dapat terbaca secara jelas melalui rasio gini yang makin membentang. Secara fisik tanpa statistika, kita bahkan dapat melihatnya dengan mata telanjang. Perkotaan yang dihujam bangunan-bangunan megah, misalnya, masih meneduhkan para gelandangan di pekarangannya. 
Maka, jadilah para gelandangan sebagai tumbal dari konfrontasi perkotaan dan borjuis sebagai pemenang. Tidak ada rasa saling mengasihi. Para gelandangan dibiarkan begitu saja. Celakanya, para geladangan ini pun kemudian dinarasikan menjadi komoditas ekonomi. Mereka dipekerjakan menjadi jinak serta lihai berperan sebagai pengemis. Sudah tentu semua ada harganya, sebagian untuk makelar pengemis, sebagian lagi untuk penyedia tempat, lalu tinggallah sisa-sisanya untuk pengemis itu sendiri. 
Seperti tadi, di sinilah individualisme dan kapitalisme berkecambah. Siapa yang kalah diobral menjadi bahan ledekan, bahkan mesin ATM. Pihak birokrat terdiam. Mereka hanya mampu untuk mengamankan, bukan mempekerjakan. Sialnya, seringkali para gelandangan diterjemahkan sebagai remah-remah negara yang makin memperparah kesenjangan rasio gini. Mereka bahkan dituduh sebagai manusia penghambat pembangunan. Lalu atas nama pembangunan, rumah-rumah mereka yang adalah tumpukan karton dan rongsokan digusur begitu saja. Sialnya lagi, pihak birokrat hanya tahu menggusur, bukan mengurus. 
Nah, inilah berbagai fakta singkat tentang perwajahan sebagian besar kota kita. Artinya, masih banyak PR yang harus kita lewati untuk mencapai predikat sebagai kota welas asih. Yang tak boleh diabaikan, kita harus mengubah cara pandang terhadap parameter pertumbuhan kota. Jika selama ini kita mengukur perkotaan masih menggunakan indikator banyaknya manusia dan bangunan sekuler megah, kini harus lebih pada kualitas manusia yang tinggal di kota itu sendiri. Kota welas asih adalah belas kasih. Tidak ada belas kasih tanpa ada pribadi yang berkualitas. Demikian juga sebaliknya! ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

0 comments: