Saturday, 17 May 2014

Mengenang Setahun Kepemimpinan Paus Fransiskus

Oleh: Riduan Situmorang
Sangat sedikit orang yang masih menaruh perhatiannya kepada kemanusiaan. Masih sedikit pula orang yang mendedikasikan kepemimpinannya untuk kebahagiaan orang lain. Hal yang sama, orang yang menyebut dirinya menjadi milik semua orang, terutama milik kaum miskin juga masih sedikit dan sangat gampang dihitung. Dari yang sedikit itu, kita mengenal Paus Fransiskus yang sangat fenomenal itu. Paus Fransiskus secara resmi menjadi paus pertama yang non-Eropa sejak dia terpilih melalui konklaf pada 13 Maret 2013 yang lalu. Sebelumnya, kita mengenal paus non-Eropa, yaitu Paus Gregorius III dari Siria yang menjabat sejak tahun 731 atau sekitar 1.273 tahun yang lalu.
Dengan mottonya yang sangat menyentuh miserendo atque eligendo atau dalam bahasa Indonesianya yang tidak terpandang, namun dipilih, Paus Fransiskus datang membuat sebuah gebrakan luar biasa. Dia menjadi harapan dan teladan kepemimpinan di era millenium mengingat abad ini, semua pemimpin negara sepertinya mengacu pada sebuah tujuan pragmatis, yaitu kepentingan pribadi dan kolektif. Para pemimpin negara abad ini pun sering mengacu pada sumbu egosentrisme kaku.
Menuju Perang Terselubung
Maka, tak heran Barrack Obama selalu bersitegang dengan Vladimir Putin. Tak heran pula, Korea Utara dan Korea Selatan masih bergejolak. Saksikan lagi Ukraina, Afghanistan, Irak, dan Suriah yang kini didera perang terselubung. Ada pula ketegangan antara China dan Filipina, bahkan dengan Jepang. Terakhir, perang klasik antara Israel dan Palestina tidak pernah menyentuh susbstansi perdamaian. Singkatnya, terlalu banyak negara yang kini didera perang-perang terselubung yang suatu saat dapat meledak secara frontal. Di saat-saat genting seperti inilah, kita mengharapkan kepemimpinan yang dapat menyatukan dan dapat tanpa sungkan membuat perdamaian menjadi peta kepemimpinannya. Mungkin, pada titik inilah kita dapat berharap kepada Fransiskus. Jika tidak, setidaknya kita dapat mendorong agar para pemimpin kecil pada taraf nasional bahkan lokal dapat mengacu dan meneladani cara Fransiskus memimpin, yaitu pemimpin yang benar-benar bertugas untuk melayani, bukan sebagai orang yang dilayani, apalagi menjadi penguasa yang mendiskreditkan rakyat dan perdamaian.
Sekali lagi, Paus Fransiskus itu dapat menjadi teladan. Dia benar-benar menerobos batas-batas kaku kepemimpinan. Jika selama ini, kepausan sangat dikenal dengan ketertutupan, kepausan sekarang mendadak menjadi terbuka. Jika selama ini paus identik dengan orang yang harus dilayani dan dilindungi sehingga harus selalu memakai mobil antipeluru, Fransiskus malah memilih untuk tidak memakai mobil kepausan yang antipeluru. Dia tidak takut nyawanya melayang. Dia tidak menghiraukan segala kemungkinan terburuk yang dapat membahayakan hidupnya. Dia lebih memilih dekat kepada umat manusia karena dia berkeyakinan, dirinya sebagai pemimpin datang untuk melayani, bukan untuk dilayani.
Harus kita tegaskan lagi, Fransiskus memang sangat fenomenal. Kita sangat merindukan setiap negara mempunyai aset seperti Fransiskus. Fransiskus secara terselubung sedang mengajarkan bahwa memimpin itu adalah melayani, bukan semata memerintah. Fransiskus juga seakan sedang mengajari para pemimpin bahwa cara memimpin itu adalah bukan dengan tangan besi. Bukan pula dengan protokol kaku. Kiranya, wajah beringas seperti Hitler tidak diperlukan lagi karena wajah kaku selalu membuat ketakutan dan kebencian di hati masyarakat. Karena itulah, ketika Fransiskus berjalan, banyak orang merasa teduh, bahkan merasa damai walaupun hanya sekadar melihatnya.
Bukan untuk Ditakuti
Benar, pemimpin itu bukan untuk ditakuti. Pemimpin itu pula bukan harus dengan wajah tegang. Karena itu, wajarlah ketika pemimpin kita datang dengan iring-iringan polisi dan suara sirene yang menggema kemana-mana, kita menjadi muak. Muak karena memang hal itu sudah membuat batas dan menumbuhkan rasa tidak saling memiliki. Pemimpin yang demikian pun otomatis menjadi arogan. Pemimpin itu pun lantas sampai pada keadaan bahwa dia merasa tidak memerlukan rakyat. Rakyat pun demikian. Rakyat merasa tidak membutuhkan pemimpin. Di sinilah masalah itu bersarang, yaitu, baik pemimpin maupun rakyat merasa tidak saling membutuhkan sehingga terdapat spasi khaos yang tak bertuan.
Seperti yang saya kemukakan di atas, abad ini adalah abad yang penuh dengan delik-delik terselubung. Semua pemimpin hampir selalu mengutamakan aroganisme dan otoriterianisme dalam memerintah. Pada gilirannya, rakyat pun berada pada kondisi terjajah. Kekuasaan rakyat menjadi sebuah alibi yang tak terbantahkan. Memang, secara prinsip demokrasi, rakyat dihadirkan sebagai penguasa dan pemilik sah negara. Tetapi, dalam praktiknya, rakyat sejatinya bukan pemilik sah, melainkan menjadi bangsa terjajah di daerahnya sendiri.
Pemilukada yang konon katanya menjadi pilihan dan jawaban terbaik dalam mengorkestrasi serta memilih para kandidat pemimpin pilihan rakyat sebenarnya hanya kamuflase sebab, selama ini kita memilih hanya sebatas formalitas. Artinya, suara yang dialamatkan oleh konstituen sangat mengambang karena masih berada pada zona prosedural tanpa sedikit pun menyentuh ranah substansial. Lihatlah, negeri kita ini tetap saja terkatung-katung, baik dari segi pelayanan, apalagi pembangunan.
Karena itu, khususnya dalam mengenang setahun kepemimpinan Paus Fransiskus yang sangat fenomenal, kita berharap, semoga para pemimpin, bahkan calon pemimpin, baik di taraf lokal, nasional, hingga internasional dapat dengan lapang dada membuat Fransiskus menjadi referensi dalam memimpin. Catat, saya tidak sedang mengatakan bahwa sosok pemimpin yang ideal itu adalah Fransiskus, tetapi saya mau menegaskan bahwa pada saat ini, masih Fransiskus yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk menjadi pemimpin. Mungkin, di tingkat-tingkat lokal, kita dapat menemukan banyak contoh seperti Jokowi dan Ahok. Tetapi, jika dihitung-hitung, pemimpin yang prorakyat itu masih sedikit dan belum mampu untuk mengatasi segudang masalah yang sedang bersarang dalam kehidupan kita.
Selamat memimpin Paus Fransiskus! Mari, taburkan kepedulian melalui kepemimpinan yang prorakyat. Tunjukkan kepada dunia bahwa memimpin itu bukan sebatas memerintah, tetapi melayani tanpa terlalu mengharap untuk dilayani. Yang paling penting, semoga dengan tulisan singkat ini, para pemimpin dan calon pemimpin di negeri ini, khususnya di Sumut dapat segera berbenah dan memahami hakikat kepemimpinan. Sebab, sejatinya memimpin itu bukan untuk memerintah, melainkan melayani rakyat sepenuh hati. Dengan begitu, ruang kosong antara pemimpin dan rakyat pun akan terisi dengan bulir-bulir kepedulian. Dengan kepedualian itu, pelan-pelan, segudang permasalahan niscaya akan teratasi. Semoga!. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)

0 comments: