Mengenang Setahun Kepemimpinan Paus Fransiskus
Oleh: Riduan Situmorang
Sangat
sedikit orang yang masih menaruh perhatiannya kepada kemanusiaan. Masih
sedikit pula orang yang mendedikasikan kepemimpinannya untuk
kebahagiaan orang lain. Hal yang sama, orang yang menyebut dirinya
menjadi milik semua orang, terutama milik kaum miskin juga masih sedikit dan sangat gampang dihitung. Dari yang sedikit itu, kita mengenal Paus Fransiskus yang sangat fenomenal
itu. Paus Fransiskus secara resmi menjadi paus pertama yang non-Eropa
sejak dia terpilih melalui konklaf pada 13 Maret 2013 yang lalu.
Sebelumnya, kita mengenal paus non-Eropa, yaitu Paus Gregorius III dari
Siria yang menjabat sejak tahun 731 atau sekitar 1.273 tahun yang lalu.
Dengan mottonya yang sangat menyentuh miserendo atque eligendo atau
dalam bahasa Indonesianya yang tidak terpandang, namun dipilih, Paus
Fransiskus datang membuat sebuah gebrakan luar biasa. Dia menjadi harapan dan teladan kepemimpinan di era millenium mengingat abad
ini, semua pemimpin negara sepertinya mengacu pada sebuah tujuan
pragmatis, yaitu kepentingan pribadi dan kolektif. Para pemimpin negara
abad ini pun sering mengacu pada sumbu egosentrisme kaku.
Menuju Perang Terselubung
Maka, tak heran Barrack Obama
selalu bersitegang dengan Vladimir Putin. Tak heran pula, Korea Utara
dan Korea Selatan masih bergejolak. Saksikan lagi Ukraina, Afghanistan,
Irak, dan Suriah yang kini didera perang terselubung. Ada pula
ketegangan antara China dan Filipina, bahkan dengan Jepang. Terakhir,
perang klasik antara Israel dan Palestina tidak pernah menyentuh
susbstansi perdamaian. Singkatnya, terlalu banyak negara yang kini
didera perang-perang terselubung yang suatu saat dapat meledak secara
frontal. Di saat-saat genting seperti inilah, kita mengharapkan
kepemimpinan yang dapat menyatukan dan dapat tanpa sungkan membuat
perdamaian menjadi peta kepemimpinannya. Mungkin, pada titik inilah kita
dapat berharap kepada Fransiskus. Jika tidak, setidaknya kita dapat
mendorong agar para pemimpin kecil pada taraf nasional bahkan lokal
dapat mengacu dan meneladani cara Fransiskus memimpin, yaitu pemimpin
yang benar-benar bertugas untuk melayani, bukan sebagai orang yang
dilayani, apalagi menjadi penguasa yang mendiskreditkan rakyat dan
perdamaian.
Sekali lagi, Paus Fransiskus itu dapat menjadi teladan. Dia benar-benar menerobos batas-batas
kaku kepemimpinan. Jika selama ini, kepausan sangat dikenal dengan
ketertutupan, kepausan sekarang mendadak menjadi terbuka. Jika selama
ini paus identik dengan orang yang harus dilayani dan dilindungi
sehingga harus selalu memakai mobil
antipeluru, Fransiskus malah memilih untuk tidak memakai mobil kepausan
yang antipeluru. Dia tidak takut nyawanya melayang. Dia tidak
menghiraukan segala kemungkinan terburuk yang dapat membahayakan
hidupnya. Dia lebih memilih dekat kepada umat manusia karena dia
berkeyakinan, dirinya sebagai pemimpin datang untuk melayani, bukan
untuk dilayani.
Harus kita tegaskan lagi, Fransiskus memang sangat fenomenal. Kita sangat merindukan setiap negara
mempunyai aset seperti Fransiskus. Fransiskus secara terselubung sedang
mengajarkan bahwa memimpin itu adalah melayani, bukan semata
memerintah. Fransiskus juga seakan sedang mengajari para pemimpin bahwa
cara memimpin itu adalah bukan dengan tangan besi. Bukan pula dengan
protokol kaku. Kiranya, wajah beringas seperti Hitler
tidak diperlukan lagi karena wajah kaku selalu membuat ketakutan dan
kebencian di hati masyarakat. Karena itulah, ketika Fransiskus berjalan,
banyak orang merasa teduh, bahkan merasa damai walaupun hanya sekadar
melihatnya.
Bukan untuk Ditakuti
Benar, pemimpin itu bukan untuk ditakuti. Pemimpin itu pula bukan
harus dengan wajah tegang. Karena itu, wajarlah ketika pemimpin kita
datang dengan iring-iringan polisi dan suara sirene yang menggema
kemana-mana, kita menjadi muak. Muak karena memang hal itu sudah membuat
batas dan menumbuhkan rasa tidak saling
memiliki. Pemimpin yang demikian pun otomatis menjadi arogan. Pemimpin
itu pun lantas sampai pada keadaan bahwa dia merasa tidak memerlukan
rakyat. Rakyat pun demikian. Rakyat merasa tidak membutuhkan pemimpin.
Di sinilah masalah itu bersarang, yaitu, baik pemimpin maupun rakyat
merasa tidak saling membutuhkan sehingga terdapat spasi khaos yang tak
bertuan.
Seperti yang saya kemukakan di atas, abad ini
adalah abad yang penuh dengan delik-delik terselubung. Semua pemimpin
hampir selalu mengutamakan aroganisme dan otoriterianisme dalam
memerintah. Pada gilirannya, rakyat pun berada pada kondisi terjajah.
Kekuasaan rakyat menjadi sebuah alibi yang tak terbantahkan. Memang,
secara prinsip demokrasi, rakyat dihadirkan sebagai penguasa dan pemilik
sah negara. Tetapi, dalam praktiknya, rakyat sejatinya bukan pemilik
sah, melainkan menjadi bangsa terjajah di daerahnya sendiri.
Pemilukada yang konon katanya menjadi pilihan dan jawaban terbaik
dalam mengorkestrasi serta memilih para kandidat pemimpin pilihan rakyat
sebenarnya hanya kamuflase sebab, selama ini kita memilih hanya sebatas
formalitas. Artinya, suara yang dialamatkan oleh konstituen sangat
mengambang karena masih berada pada zona
prosedural tanpa sedikit pun menyentuh ranah substansial. Lihatlah,
negeri kita ini tetap saja terkatung-katung, baik dari segi pelayanan,
apalagi pembangunan.
Karena itu, khususnya dalam mengenang setahun kepemimpinan Paus
Fransiskus yang sangat fenomenal, kita berharap, semoga para pemimpin,
bahkan calon pemimpin, baik di taraf lokal, nasional, hingga
internasional dapat dengan lapang dada membuat Fransiskus menjadi
referensi dalam memimpin. Catat, saya tidak sedang mengatakan bahwa
sosok pemimpin yang ideal
itu adalah Fransiskus, tetapi saya mau menegaskan bahwa pada saat ini,
masih Fransiskus yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk menjadi
pemimpin. Mungkin, di tingkat-tingkat lokal, kita dapat menemukan banyak
contoh seperti Jokowi dan Ahok. Tetapi, jika dihitung-hitung, pemimpin
yang prorakyat itu masih sedikit dan belum mampu untuk mengatasi
segudang masalah yang sedang bersarang dalam kehidupan kita.
Selamat memimpin Paus Fransiskus! Mari, taburkan kepedulian melalui
kepemimpinan yang prorakyat. Tunjukkan kepada dunia bahwa memimpin itu
bukan sebatas memerintah, tetapi melayani tanpa terlalu mengharap untuk
dilayani. Yang paling penting, semoga dengan tulisan singkat ini, para
pemimpin dan calon pemimpin di negeri
ini, khususnya di Sumut dapat segera berbenah dan memahami hakikat
kepemimpinan. Sebab, sejatinya memimpin itu bukan untuk memerintah,
melainkan melayani rakyat sepenuh hati. Dengan begitu, ruang kosong
antara pemimpin dan rakyat pun akan terisi dengan bulir-bulir
kepedulian. Dengan kepedualian itu, pelan-pelan, segudang permasalahan
niscaya akan teratasi. Semoga!. ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus
Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK
St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)
0 comments:
Post a Comment