Buruh,
Pengusaha, dan Birokrat
Oleh Riduan Situmorang
Pada tanggal 1 Mei ini, kita akan memberi hari
khusus untuk buruh. Hari ini menjadi hari yang sangat istimewa mengingat hari
ini dipersembahkan bagi rakyat Indonesia yang umumnya adalah buruh. Masalah
buruh masih tidak mendapatkan hidup yang layak adalah masalah lanjutan.
Lagipula, kehidupan yang layak itu sangat variatif dan relatif. Akan tetapi,
rasanya menghormati buruh tidak cukup hanya memberi hari peringatan. Hari
peringatan hanyalah simbol-simbol yang tidak terlalu penting. Perlu ada
gebrakan baru dan kreatif serta manusiawi untuk memanusiakan buruh yang selama
ini masih berstatus nomor dua karena sering luput dari perhatian. Karena itu,
alih-alih menikmati hari buruh sebagai hari libur untuk bersantai bersama
keluarga di rumah, hari buruh malah lebih sering digunakan untuk
berdemonstrasi. Dan, tetap saja begitu, tuntutan mereka adalah memeroleh hidup
yang layak. Alhasil, ketika tuntutan buruh itu tidak diterima, demo buruh
menjadi sajian periodik yang selalu
tersaji.
Nah, jika memang harus dibagi, kategori penduduk
Indonesia saat ini ada pada tiga kelas: buruh, pengusaha, dan birokrat. Ketiga
kelas itu adalah sebuah realita yang selalu harus ada. Sangat mustahil
Indonesia tanpa ketiga kelas tersebut. Masalahnya kemudian adalah, ketiga kelas
tersebut sering berujung pada polemik ketidaksepahaman. Hal ini tentu berimbas
pada ruwetnya perekonomian. Boleh dikatakan, apabila satu kelas dari tiga kelas
tersebut mogok, moda ekonomi dan produksi pun akan mandeg. Lalu setelah ekonomi
sudah mandeg, pasti negeri ini pun akan tertatih. Jika sudah tertatih,
jangankan mengejar Negara berkembang lainnya, kita malah akan terjerembab pada
pusaran konflik. Apakah kita harus dan harus terjerembab lagi?
Pola Pikir yang
Berbeda
Sebenarnya ,siapa pun ingin mempunyai hidup yang
layak. Jika perlu, tanpa kerja kita dapat hidup layak. Masalahnya adalah,
ternyata tidak semua keinginan itu harus menjadi kenyataan. Selalu harus ada
rentetan waktu yang harus kita lewati untuk memeroleh hidup layak. Selalu harus
ada beberapa proses panjang yang harus kita singgahi supaya kita dapat meraih
kenyamanan hidup.
Akan halnya demonstrasi besar-besaran dari buruh
akhir-akhir ini adalah hal yang wajar. Mereka layak untuk menuntut hidup yang
layak karena memang hidup layak adalah sebuah cita-cita Indonesia. Dan, hidup
layak itu adalah hak seluruh masyarakat Indonesia dan catat, banyak UU yang
menjamin tentang itu. Pertanyaannya kemudian, apakah Negara wajib memberi
kehidupan yang layak pada setiap warga negaranya? Saya kira tidak, negara cukup
sebatas penjamin dan pemberi jalan. Itu saja. Hanya memang, ada kecenderungan
Negara ini tidak bekerja secara serius untuk mewujudkan kenyamanan dan
kelayakan hidup. Lihat, formasi kerja sangat sedikit apabila dibandingkan
dengan orang yang ingin melamar kerja.
Jujur saja, saya sedikit khawatir buruh akan selalu
turun ke jalan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Lihat, buruh dan pengusaha
selama ini selalu mengartikan kelayakan hidup secara berbeda. Tesis ekonomi
bagi pengusaha sangat kontras dengan tesis ekonomi menurut versi buruh. Tentu,
kalau tesis dan antitesis ini terus dikembangkan, perekonomian pasti akan
selalu mandeg. Dan, kalau produksi saja sudah mandeg, pasti para investor akan
mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke Indonesia. Apakah kita ingin para
investor berhenti datang ke negeri ini?
Tentu saja tidak. Kita ingin negeri ini sesegera
mungkin untuk berbenah sehingga dapat mengikuti ritme pergerakan perekonomian
global. Jadi, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menghilangkan ego
masing-masing, baik dari pihak buruh maupun dari pihak pengusaha. Pengusaha dan
buruh harus duduk bersama untuk mencari win-win
solution. Nah, di sinilah peran kelas birokrat, yaitu memediasi buruh dan
pengusaha untuk saling bersinergi, bukan malah bersikeras. Karena saatnya
sekarang adalah bukan berdebat, melainkan mencari nota kesepahaman dalam
mendefinisikan kehidupan yang layak.
Lebih Baik
Berdiskusi
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kelas pengusaha
dan buruh adalah kelas superior dan inferior. Saya pun tidak sepakat kalau
birokrat menjadi Tuhan untuk buruh dan pengusaha. Hanya saja, akhir-akhir ini,
birokrat kurang bersinergi dengan pengusaha dalam mendiksusikan kriteria
kehidupan layak. Begitupun pengusaha dengan buruh masih saling mengintip
kelemahan. Bagi buruh, pengusaha itu identik dengan bos yang bertangan besi
sehingga seakan-akan hidup mereka tergantung pada pengusaha. Bagi buruh,
pengusaha itu juga ibarat pemimpin yang sangat teknokrat yang selalu
mengutamakan kediktatoran dalam membawa
alur pekerjaan. Karena itu, sering kali buru merasa kecil dan menyimpan dendam
kesumat. Pada akhirnya, ketika perserikatan buruh sudah mulai sepakat, mereka
seakan meluapkan kegeraman mereka layaknya ingin mengudeta dalam demonstrasi
dan mogok kerja ala buruh.
Beda halnya dengan penusaha. Selama ini, pengusaha
banyak juga yang menganggap para buruh itu sebagai moda produksi, alih-alih
sebagai manusia, mereka bahkan lebih sering diperlakukan layaknya mesin. Mereka
mengartikan buruh itu juga ibarat robot. Akhirnya, jika saja mesin itu sudah
rusak, suatu saat mereka dapat melempar dan membuangnya. Inilah padangan
paradoksal antara dikotomi buruh dan pengusaha. Yakinlah, jika antitesis ini
tidak diluruskan, buruh akan selalu menyimpan dendam, pengusaha pun akan
berusaha menekan buruh. Pada akhirnya, baik pengusaha maupun buruh akan saling
menjatuhkan secara sistemik dan secara tersembunyi. Tentu hal ini sangat
merugikan. Ini menjadi bahaya nasional karena ini sangat berpotensi melumpuhkan
ekonomi.
Karena itu, inilah saatnya untuk pihak buruh,
pengusaha, dan birokrat untuk duduk bersama. Yang pasti, tujuan ketiga kelas
tersebut adalah untuk mencapai hidup yang layak. Jadi, modal awal memang sudah
ada, yaitu sama-sama bertujuan untuk mencari hidup yang layak. Masalahnya,
ketiga kelas tersebut belum melakukan cara dan niat yang sama. Maka, yang
diperlukan sekarang adalah niat dan cara yang sama untuk mencapai tujuan yang
sama. Besaran upah yang harus diberikan memang benar harus sesuai dengan
kondisi lingkungan. Untuk itu, mari mulai sekarang menyamakan persepsi. Lebih
baik berdiskusi daripada turun ke jalanan! Selamat Hari Buruh!
Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus
Inten Medan, Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK
St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)
0 comments:
Post a Comment