Friday, 16 May 2014



Buruh, Pengusaha, dan Birokrat
Oleh Riduan Situmorang
Pada tanggal 1 Mei ini, kita akan memberi hari khusus untuk buruh. Hari ini menjadi hari yang sangat istimewa mengingat hari ini dipersembahkan bagi rakyat Indonesia yang umumnya adalah buruh. Masalah buruh masih tidak mendapatkan hidup yang layak adalah masalah lanjutan. Lagipula, kehidupan yang layak itu sangat variatif dan relatif. Akan tetapi, rasanya menghormati buruh tidak cukup hanya memberi hari peringatan. Hari peringatan hanyalah simbol-simbol yang tidak terlalu penting. Perlu ada gebrakan baru dan kreatif serta manusiawi untuk memanusiakan buruh yang selama ini masih berstatus nomor dua karena sering luput dari perhatian. Karena itu, alih-alih menikmati hari buruh sebagai hari libur untuk bersantai bersama keluarga di rumah, hari buruh malah lebih sering digunakan untuk berdemonstrasi. Dan, tetap saja begitu, tuntutan mereka adalah memeroleh hidup yang layak. Alhasil, ketika tuntutan buruh itu tidak diterima, demo buruh menjadi sajian periodik  yang selalu tersaji.
Nah, jika memang harus dibagi, kategori penduduk Indonesia saat ini ada pada tiga kelas: buruh, pengusaha, dan birokrat. Ketiga kelas itu adalah sebuah realita yang selalu harus ada. Sangat mustahil Indonesia tanpa ketiga kelas tersebut. Masalahnya kemudian adalah, ketiga kelas tersebut sering berujung pada polemik ketidaksepahaman. Hal ini tentu berimbas pada ruwetnya perekonomian. Boleh dikatakan, apabila satu kelas dari tiga kelas tersebut mogok, moda ekonomi dan produksi pun akan mandeg. Lalu setelah ekonomi sudah mandeg, pasti negeri ini pun akan tertatih. Jika sudah tertatih, jangankan mengejar Negara berkembang lainnya, kita malah akan terjerembab pada pusaran konflik. Apakah kita harus dan harus terjerembab lagi?
Pola Pikir yang Berbeda
Sebenarnya ,siapa pun ingin mempunyai hidup yang layak. Jika perlu, tanpa kerja kita dapat hidup layak. Masalahnya adalah, ternyata tidak semua keinginan itu harus menjadi kenyataan. Selalu harus ada rentetan waktu yang harus kita lewati untuk memeroleh hidup layak. Selalu harus ada beberapa proses panjang yang harus kita singgahi supaya kita dapat meraih kenyamanan hidup.
Akan halnya demonstrasi besar-besaran dari buruh akhir-akhir ini adalah hal yang wajar. Mereka layak untuk menuntut hidup yang layak karena memang hidup layak adalah sebuah cita-cita Indonesia. Dan, hidup layak itu adalah hak seluruh masyarakat Indonesia dan catat, banyak UU yang menjamin tentang itu. Pertanyaannya kemudian, apakah Negara wajib memberi kehidupan yang layak pada setiap warga negaranya? Saya kira tidak, negara cukup sebatas penjamin dan pemberi jalan. Itu saja. Hanya memang, ada kecenderungan Negara ini tidak bekerja secara serius untuk mewujudkan kenyamanan dan kelayakan hidup. Lihat, formasi kerja sangat sedikit apabila dibandingkan dengan orang yang ingin melamar kerja.
Jujur saja, saya sedikit khawatir buruh akan selalu turun ke jalan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Lihat, buruh dan pengusaha selama ini selalu mengartikan kelayakan hidup secara berbeda. Tesis ekonomi bagi pengusaha sangat kontras dengan tesis ekonomi menurut versi buruh. Tentu, kalau tesis dan antitesis ini terus dikembangkan, perekonomian pasti akan selalu mandeg. Dan, kalau produksi saja sudah mandeg, pasti para investor akan mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke Indonesia. Apakah kita ingin para investor berhenti datang ke negeri ini?
Tentu saja tidak. Kita ingin negeri ini sesegera mungkin untuk berbenah sehingga dapat mengikuti ritme pergerakan perekonomian global. Jadi, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menghilangkan ego masing-masing, baik dari pihak buruh maupun dari pihak pengusaha. Pengusaha dan buruh harus duduk bersama untuk mencari win-win solution. Nah, di sinilah peran kelas birokrat, yaitu memediasi buruh dan pengusaha untuk saling bersinergi, bukan malah bersikeras. Karena saatnya sekarang adalah bukan berdebat, melainkan mencari nota kesepahaman dalam mendefinisikan kehidupan yang layak.
Lebih Baik Berdiskusi
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kelas pengusaha dan buruh adalah kelas superior dan inferior. Saya pun tidak sepakat kalau birokrat menjadi Tuhan untuk buruh dan pengusaha. Hanya saja, akhir-akhir ini, birokrat kurang bersinergi dengan pengusaha dalam mendiksusikan kriteria kehidupan layak. Begitupun pengusaha dengan buruh masih saling mengintip kelemahan. Bagi buruh, pengusaha itu identik dengan bos yang bertangan besi sehingga seakan-akan hidup mereka tergantung pada pengusaha. Bagi buruh, pengusaha itu juga ibarat pemimpin yang sangat teknokrat yang selalu mengutamakan kediktatoran dalam  membawa alur pekerjaan. Karena itu, sering kali buru merasa kecil dan menyimpan dendam kesumat. Pada akhirnya, ketika perserikatan buruh sudah mulai sepakat, mereka seakan meluapkan kegeraman mereka layaknya ingin mengudeta dalam demonstrasi dan mogok kerja ala buruh.
Beda halnya dengan penusaha. Selama ini, pengusaha banyak juga yang menganggap para buruh itu sebagai moda produksi, alih-alih sebagai manusia, mereka bahkan lebih sering diperlakukan layaknya mesin. Mereka mengartikan buruh itu juga ibarat robot. Akhirnya, jika saja mesin itu sudah rusak, suatu saat mereka dapat melempar dan membuangnya. Inilah padangan paradoksal antara dikotomi buruh dan pengusaha. Yakinlah, jika antitesis ini tidak diluruskan, buruh akan selalu menyimpan dendam, pengusaha pun akan berusaha menekan buruh. Pada akhirnya, baik pengusaha maupun buruh akan saling menjatuhkan secara sistemik dan secara tersembunyi. Tentu hal ini sangat merugikan. Ini menjadi bahaya nasional karena ini sangat berpotensi melumpuhkan ekonomi.
Karena itu, inilah saatnya untuk pihak buruh, pengusaha, dan birokrat untuk duduk bersama. Yang pasti, tujuan ketiga kelas tersebut adalah untuk mencapai hidup yang layak. Jadi, modal awal memang sudah ada, yaitu sama-sama bertujuan untuk mencari hidup yang layak. Masalahnya, ketiga kelas tersebut belum melakukan cara dan niat yang sama. Maka, yang diperlukan sekarang adalah niat dan cara yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Besaran upah yang harus diberikan memang benar harus sesuai dengan kondisi lingkungan. Untuk itu, mari mulai sekarang menyamakan persepsi. Lebih baik berdiskusi daripada turun ke jalanan! Selamat Hari Buruh!
Staff  Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)




0 comments: