Judul di atas sama sekali tak berlebihan. Jika kini kita merasa biasa-biasa, itu hanya ibarat candu: merasa tidak sakit, padahal sudah kronis. Dan, "mu" di sana adalah siapa saja kita, baik yang mendewakan UN, termasuk yang tidak mendewakan UN sekalipun. Mengapa UN membunuh? Paling tidak, ada tiga alasan yang bisa disodorkan.
Pertama, kita harus sepemahaman dulu bahwa pendidikan itu bukanlah setumpuk fakta. Seperti kata James Bach, pendidikan itu bukan jam-jam yang kita habiskan di ruang-ruang kelas, atau, bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Pendidikan lebih-lebih bukan pula proses indoktrinasi, memuja para leluhur, patuh pada yang berwenang, memercayai begitu saja kata-kata siapa pun tentang apa yang benar dan apa yang salah, tentang apa yang penting dan yang tak penting, tentang apa yang lazim dan apa yang janggal.
Jika pun pendidikan itu adalah indoktrinasi, dia harus suntikan agar kita benar-benar menjadi kita, bukan menjadi orang lain. Pendidikan adalah apa-apa yang muncul setelah kita berproses di dalamnya. Jadi, persekolahan bukanlah pendidikan. Persekolahan hanya akan menjadi pendidikan jika mampu membuat pribadi tanggung menjadi pribadi utuh.
Persoalan, Bukan Soal-soal
Kedua, pendidikan bukan tentang pemerolehan pengetahuan. Pengetahuan memang penting, tetapi bukan menjadi inti. Jadi, pendidikan itu bukan semata bagaimana seorang guru mengajar dan bagaimana seorang siswa menangkap pembelajaran. Tetapi bagaimana pengetahuan itu menjadi bermakna dan berjiwa.
Artinya, pengetahuan hanya akan menjadi bagian dari pendidikan jika pengetahuan itu didalami, dihidupi, dan tentu saja harus mengubah si pembelajar ke arah yang lebih baik. Untuk apa tahu pengertian menulis jika, toh, tak tahu menulis? Pendidikan itu harus berupa terapan dari ilmu pengetahuan sebab pendidikan bukanlah sirkus yang mencari kelihaian menjawab soal, menghafal ini-itu, lalu mencatatakannya pada lembar jawaban. Pendidikan adalah sebuah latihan untuk menjawab persoalan (studi kasus), bukan soal-soal.
Ketiga, pendidikan itu seumur hidup, utuh, dan terintegrasi. Pendidikan tidak sepenggal-penggal. Jika kemudian di kita ada namanya sekolah dasar, menengah, atas, dan tinggi, ini mestinya hanya bagian dari penyatuan dan penyederhanaan, bukan pemenggalan. Bukan berarti ketika seseorang berhasil mendapatkan berjubel titel maka pendidikannya dapat dikatakan berhasil dan berakhir Bukan pula ketika seseorang dapat menjawab pertanyaan ujian maka dia dikatakan berhasil dari tingkat dasar lalu berhak ke sekolah menengah. Demikian seterusnya.
Sebab, pertanyaan ujian yang disodorkan hanya sekelumit dari sebegitu banyak pengetahuan dan fakta yang telah diajarkan. Tidak mungkin sekali nilai-nilai yang didapatkan menjadi cerminan utuh. Ya, angka-angka di atas kertas itu boleh tampak sederhana dan kemilau. Tetapi, cerita di balik angka-angka itu tidaklah demikian. Padahal, cerita di balik nilai inilah yang paling penting. Celakanya, sekolah tidak dapat menelusuri yang lalu menggambarkan seorang siswa sebagai yang berhasil dan tidak.
Sebab, sekali lagi, angka-angka yang tinggi bukan perwakilan dari pembelajaran yang baik. Angka-angka yang jelek pun bukan menjadi cerminan bahwa pembelajaran buruk. Kita tidak bisa menyimpulkan keberhasilan dari angka-angka. Apalagi, angka-angka itu kadang diperoleh dalam waktu yang sebentar. Belum lagi, proses pemerolehan angka itu sama sekali tak dapat dipercaya karena guru dapat saja meluluskan siswa hanya karena siswa baik, karena kasihan, atau yang lebih parah, karena tekanan administratif.
Nah, di sinilah mengapa UN membunuh. Kita mendangkalkan keberhasilan siswa dari sekadar menjawab soal-soal seakan-akan pendidikan itu semata jam-jam yang kita habiskan di ruang-ruang kelas. Kita tak lagi melihat, apakah nilai itu mampu mengubahnya atau tidak. Kita bahkan tak melihat, apakah nilai itu sebagai simbol perubahan seorang siswa ke arah yang lebih baik atau tidak. Intinya, jika dapat nilai yang cemerlang, bagi kita, itu sudah dikatakan berhasil.
Inilah yang kemudian menggejala sehingga pendidikan adalah semata pemerolehan pengetahuan, bukan bagaimana pengetahuan itu diaplikasikan. Dan, pengetahuan itu pun coba disempitkan. Hanya yang dipelajari di sekolah. Jika ada, misalnya, praktik laboratorium menghitung kecepatan bola mengggelinding di sebuah mistar dengan kemiringan tertentu, di kita yang penting adalah hasil akhir dan perhitungan percobaan itu tepat.
Padahal, yang penting adalah bagaimana siswa itu membuat percobaan. Adakalanya siswa tertantang yang lalu mencobanya dan bahkan mengembangkannya di rumah. Tetapi, sekolah tidak melihatnya dan tak mau tahu tentang itu. Sekolah hanya melihat apa-apa yang di laboratorium, bukan yang dilakukannya di rumah. Dan karena tidak dilihat, percobaan mandiri yang dilakukan di rumah ini pun pada akhirnya tak dinilai, tak berarti apa-apa.
Pabrik
Dan, sekolah adalah sebuah lembaga pabrik. Karena pabrik, mereka menilai keberhasilan siswa dari sudut matanya sendiri. Tak akan ada sikap kritis karena itu akan dinilai sebagai pembangkangan. Ironisnya, sekolah terlalu serakah dan mengatakan bahwa yang terutama dalam pendidikan adalah moral. Benar, morallah yang paling penting. Tetapi, di sekolah, moral dinilai dari kepatuhan dan ketaatan. Kepatuhan dan ketaatan dibuat menjadi alibi bahwa apabila siswa tak melawan, maka dia akan diluluskan betapapun siswanya "bodoh".
Hasilnya, lahirlah siswa yang patuh dan taat. Dalam benak siswa, tak usah lagi kritis, bahkan tak usah belajar. Cukup ikuti aturan maka seberapa pun nilai akademik yang diperoleh, atas nama moral itu akan dinaikkan. Hal yang sama, di lembaga pendidikan juga berlaku hal demikian. Patuh saja guru kepada kepala sekolah, kepala sekolah kepada dinas, demikian seterusnya sehingga nilai-nilai menjadi tukang-tukangan. Akreditasi pun hanya ukuran kepatuhan administratif. Akreditasi sama sekali tidak mencerminkan dan tak menjamin keberlangsungan pendidikan yang baik
Semoga, setelah membaca keterangan ini, kita menyadari bahwa UN membunuh. Memang pembunuhan ini tidak menyakitkan karena sudah menjadi semacam candu. Apalagi baru-baru ini, fungsi UN semakin digandakan. UN menjadi multitester: meluluskan siswa, mengevaluasi, memetakan, melihat indeks kejujuran, terakhir menjadi salah satu bagian penting untuk seleksi ke PTN.
Bukankah ini pembunuhan karena diam-diam, UN dikerjakan keroyokan oleh, ah, sudahlah. Tak elok menyebutkan karena bagi pemerintah, UN tak pernah bocor. Padahal, sebenarnya, gampang sekali membuktikan bahwa pemerintah sedang berbohong. Begini, untuk apa membuat fungsi UN sebagai instrumen yang menilai kejujuran sekolah kalau bukan sebuah pengakuan bahwa selama ini UN sudah bocor?
Penulis adalah Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Pengajar Bidang Studi Bahasa Indonesia di Prosus Inten.
0 comments:
Post a Comment