Frustrasi
juga karena Pilatus bingung bagaimana harus bertindak. Apakah Yesus akan
dihukum mati atau tidak. Pasalnya, Pilatus sama sekali tak mendapati kesalahan
apa pun dari Yesus. Yesus tak memberontak. Memang, sebelumnya, Pilatus melalui mata-matanya
sempat gelisah karena wibawa Yesus semakin populer. Pengikut-Nya semakin
banyak. Bahkan, lima hari yang lalu, Dia dielu-elukan dan didaulat sebagai
raja. Tetapi, justru di sinilah letak kebingungan Pilatus. Mengapa orang yang
mengelu-elukan-Nya selama ini sekarang justru mengeluhkan-Nya, bahkan
memintakan hukum salib pada-Nya?
Betapa mudahnya orang berubah. Orang yang dikagumi
mendadak dilaknat. Teriakan demi teriakan semakin kencang. Pilatus pun terguncang.
Dia masih coba menawarkan keselamatan kepada Yesus, tetapi dengan syarat, Yesus
harus “memohon” penyelamatan itu kepada Pilatus. Sebab, menurut tradisi Yahudi,
setiap masa perayaan paskah, mereka selalu dihadiahi pembebasan terhadap salah
seorang tahanan. Pada momen inilah Pilatus betanya tentang apa itu kebenaran.
Bukan untuk
Diungkapkan
Tetapi, Yesus diam. Sekali lagi, bukan karena Dia
tak tahu menjawab apa. Arti diam ini adalah bahwa kebenaran itu bukan untuk
diungkapkan, apalagi kalau itu dilakukan semata untuk menyelamatkan diri
sendiri. Kebenaran tak perlu dukungan dari intimidasi kejahatan, tak perlu
kompromi licik. Yesus paham itu. Dan, andai hanya demi selamat, itu hal mudah untuk
dilakukan-Nya. Tetapi karena kebenaran mesti dicari secara aktif oleh manusia,
Yesus pun diam.
Bagi Yesus, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri.
Ada di dalam hati, di hati sanubari. Di sana tidak ada kericuhan. Dan,
kericuhan ini pun, bukan semata apa yang ada di luar, tetapi yang terutama adalah
apa yang ada di dalam diri sendiri. Inilah yang mendera Pilatus. Kericuhan
bukan datang dari Yahudi, melainkan dari hatinya yang terpengaruh pada
kericuhan yang ada di luar sehingga dia ketakutan. Karena ketakutan itulah
hatinya tak lagi jernih manakala Claudia Procula, istri Pilatus, bertindak di
luar kelaziman dengan menyampaikan sebuah catatan.
Bagi Pilatus, karena hatinya sedang ricuh, pesan itu
tak lagi penting. Yang penting adalah apa yang berteriak di dalam hatinya,
yaitu merawat dan mempertahankan kekuasaan. Tak mau diadukan masyarakat Yahudi
ke kaisar, tak mau rakyat Yahudi berang, Pilatus pun memilih cuci tangan. Dia membunuh
Yesus, tetapi bukan atas nama dirinya dan bukan atas apakah tuduhan itu fitnah
atau tidak, pantas atau tidak. Inilah tipe pemimpin yang tak mau bertanggung
jawab.
Tentang hal itu, Gordon Thomas, mantan jurnalis yang
menulis buku The Jesus Conspiracy, pernah
mengatakan bahwa tuduhan itu sangat menakutkan Pilatus, sekaligus menelanjangi
topeng kekuasaan yang dilakukannya. Termasuk koalisi busuknya dengan Yosef
Kayafas, si Imam Agung, untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Kekuasaan yang
menyebakan banyak kehidupan mendadak menjadi kematian yang keji.
Tentang
kematian Yesus, Kahlil Gibran (1833-1931) juga pernah membuat puisi. Begini
bunyinya,“Ketika Orang kesayangan itu mati, seluruh manusia pun mati,
seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu. Ufuk timur menggelap, badai
terlepas dari sana menyapu daratan. Mata langit berkedipan, hujan tercurah dari
saluran membasuh darah yang mengucur dari tangan dan kaki-Nya.” (Jesus,
the Son of Man, New York:1928). Singkatnya, kematian Yesus adalah kematian
semesta, kematian nalar, kematian kemanusiaa, kematian adab.
Tetapi, kematian ini hanya sementara. Sebab, pada
hari ketiga, Yesus memberikan hadiah Paskah mewah. Ibarat telur, Yesus
menetaskan kehidupan melalui kebangkitan-Nya. Inilah momen di mana kehidupan benar-benar memenangi
kematian. Dan, seperti kata Franz Magnis Suseno, kemenangan ini bukan sembarang
kemenangan yang dirayakan dengan tari gembira. Kemenangan bukan kemenangan yang
meluluhlantakkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus.
Di salib,
Yesus justru memaafkan mereka yang membawa-Nya ke tempat itu. ”Bapak, ampunilah
mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Kemenangan Yesus juga
bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang
memusuhi-Nya masih dirangkul. Jadi, kemenangan Paskah adalah kemenangan
kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam,
kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Kemenangan dari kebenaran.
Pada
Diri Sendiri
Kebenaran tak melulu harus memberontak. Meski murid
Yesus salah satunya adalah orang Zelot, Yesus tidak larut pada pemahaman orang
Zelot. Kaum Zelot
dikenal sebagai kelompok yang, dengan alasan politik-keagamaan, terus melakukan
perlawanan bersenjata untuk mengusir penjajah. Kelompok Zelot, karena merasa
harus menjaga hukum Allah, bahkan sampai hati membunuh saudara-saudara
sebangsanya. Mereka ingin mengikuti contoh Pinehas yang setelah membunuh
saudara sebangsanya, dipuji karena semangat keagamaannya.
Yesus bukan Pinehas. Itu masa lalu. Tak ada lagi masa di mana mata ganti
mata, telinga ganti telinga. Hukum sudah berlandaskan kasih, kepada siapa pun. Dalam
kasih, tak perlu mengafirkan, membenci, bahkan membunuh orang lain hanya karena
merasa mereka tidak setia pada hukum Allah. Hanya memang, hal yang patut
disayangkan sekarang ini adalah, setelah dua millennium kemenangan Yesus, rasanya
kali ini kita kembali kalah pada mulut kematian. Budaya kehidupan agaknya
kembali digantikan oleh budaya kematian.
Betapa
tidak, lihatlah di sekitar dimana kita masih acap menyaksikan kekerasan dan
penganiayaan. Yang paling aktual adalah sikap benci, mencurigai, tidak
menerima, bahkan mengafirkan. Dan, ini dibawa-bawa pula menjadi konsumsi
politik, seperti yang terjadi di DKI. Kita tanpa sadar—atau bahkan sadar
sesadar-sadarnya—menjadi Pinehas sehingga bakar-membakar rumah ibadah terjadi
di Papua dan Aceh. Tolak-menolak ada di Bekasi. Kalau harus dijejerkan, fakta
itu akan semakin banyak. Ini masih dalam masalah agama.
Dalam
masalah hidup, yang mestinya menjadi aktualisasi keagamaan, terdapat budaya
kematian yang lebih banyak lagi. Lihatlah, di mana-mana ada korupsi dan para
koruptor ini dengan tanpa malu masih saja melakukan pembelaan. Mereka bersaksi
dusta, mereka berkompromi, mereka membeli hukum, mereka menyewa para pakar
hukum. Dan para pakar hukum ini pun dipaksa untuk membela koruptor.
Padahal,
jika dijenguk lebih dalam, karena koruptor inilah sehingga tidak terhitung
berapa anak yang jangankan tak bisa sekolah. Untuk sekadar makan saja mereka
susah sehingga bergelimanglah anak yang kekurangan gizi yang lalu meninggal
sia-sia. Kita beradabkan budaya kematian yang mematikan orang lain dengan merampas.
Inikah makna Paskah? Atau, percumakah pengorbanan Yesus di salib?
Semestinya
tidak. Kitalah yang membuatnya percuma dengan pura-pura bertanya seperti
Pontius Pilatus tentang apa itu kebenaran. Meski Claudia
Procula sudah datang membawa petuah melalui
sesama, keluarga, hukum, negara, dan sebagainya dan sebagainya, kita tetap
ngotot untuk menikmati budaya kematian. Celakanya, banyak manusia akhirnya mati
sia-sia, tetapi kita cukup menjawabnya dengan: saya sudah cuci tangan. Inikah
kebenaran?
Ya, memaknai Paskah kali ini, kita harus
bertanya pada diri sendiri: Ti Estin Aletheia. Jangan tanyakan itu pada Tuhan,
tapi tanyalah pada keheningan hati kita masing-masing. Itulah Paskah yang
sebenarnya!Jemaat Katolik dan Alumnus Seminari Menengah “Christus Sacerdos” Pematang Siantar
0 comments:
Post a Comment