Sunday, 27 March 2016

Ti Estin Aletheia?

Riduan Situmorang--Pontius Pilatus bertanya kepada Yesus, “Ti Estin Aletheia?” (apa itu kebenaran). Yang ditanya hanya diam. Bukan karena tak tahu, melainkan karena pertanyaan itu kalau bukan untuk basa-basi, pastilah itu sebagai bagian ekspresi dari frustrasi dan kekhawatiran. Kekhawatiran seseorang yang akan segera kehilangan kekuasaan. Sebab, kekuasaan, di mana pun itu, adalah sesuatu yang sangat membutakan. Lagipula, kekuasaan adalah sesuatu yang susah untuk diraih sehingga karena itu, mereka yang berkuasa acap menggunakan segala cara untuk mempertahankannya.
            Frustrasi juga karena Pilatus bingung bagaimana harus bertindak. Apakah Yesus akan dihukum mati atau tidak. Pasalnya, Pilatus sama sekali tak mendapati kesalahan apa pun dari Yesus. Yesus tak memberontak. Memang, sebelumnya, Pilatus melalui mata-matanya sempat gelisah karena wibawa Yesus semakin populer. Pengikut-Nya semakin banyak. Bahkan, lima hari yang lalu, Dia dielu-elukan dan didaulat sebagai raja. Tetapi, justru di sinilah letak kebingungan Pilatus. Mengapa orang yang mengelu-elukan-Nya selama ini sekarang justru mengeluhkan-Nya, bahkan memintakan hukum salib pada-Nya?
Betapa mudahnya orang berubah. Orang yang dikagumi mendadak dilaknat. Teriakan demi teriakan semakin kencang. Pilatus pun terguncang. Dia masih coba menawarkan keselamatan kepada Yesus, tetapi dengan syarat, Yesus harus “memohon” penyelamatan itu kepada Pilatus. Sebab, menurut tradisi Yahudi, setiap masa perayaan paskah, mereka selalu dihadiahi pembebasan terhadap salah seorang tahanan. Pada momen inilah Pilatus betanya tentang apa itu kebenaran.
Bukan untuk Diungkapkan
Tetapi, Yesus diam. Sekali lagi, bukan karena Dia tak tahu menjawab apa. Arti diam ini adalah bahwa kebenaran itu bukan untuk diungkapkan, apalagi kalau itu dilakukan semata untuk menyelamatkan diri sendiri. Kebenaran tak perlu dukungan dari intimidasi kejahatan, tak perlu kompromi licik. Yesus paham itu. Dan, andai hanya demi selamat, itu hal mudah untuk dilakukan-Nya. Tetapi karena kebenaran mesti dicari secara aktif oleh manusia, Yesus pun diam.
Bagi Yesus, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Ada di dalam hati, di hati sanubari. Di sana tidak ada kericuhan. Dan, kericuhan ini pun, bukan semata apa yang ada di luar, tetapi yang terutama adalah apa yang ada di dalam diri sendiri. Inilah yang mendera Pilatus. Kericuhan bukan datang dari Yahudi, melainkan dari hatinya yang terpengaruh pada kericuhan yang ada di luar sehingga dia ketakutan. Karena ketakutan itulah hatinya tak lagi jernih manakala Claudia Procula, istri Pilatus, bertindak di luar kelaziman dengan menyampaikan sebuah catatan.
Bagi Pilatus, karena hatinya sedang ricuh, pesan itu tak lagi penting. Yang penting adalah apa yang berteriak di dalam hatinya, yaitu merawat dan mempertahankan kekuasaan. Tak mau diadukan masyarakat Yahudi ke kaisar, tak mau rakyat Yahudi berang, Pilatus pun memilih cuci tangan. Dia membunuh Yesus, tetapi bukan atas nama dirinya dan bukan atas apakah tuduhan itu fitnah atau tidak, pantas atau tidak. Inilah tipe pemimpin yang tak mau bertanggung jawab.
Tentang hal itu, Gordon Thomas, mantan jurnalis yang menulis buku The Jesus Conspiracy, pernah mengatakan bahwa tuduhan itu sangat menakutkan Pilatus, sekaligus menelanjangi topeng kekuasaan yang dilakukannya. Termasuk koalisi busuknya dengan Yosef Kayafas, si Imam Agung, untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Kekuasaan yang menyebakan banyak kehidupan mendadak menjadi kematian yang keji.
Tentang kematian Yesus, Kahlil Gibran (1833-1931) juga pernah membuat puisi. Begini bunyinya,“Ketika Orang kesayangan itu mati, seluruh manusia pun mati, seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu. Ufuk timur menggelap, badai terlepas dari sana menyapu daratan. Mata langit berkedipan, hujan tercurah dari saluran membasuh darah yang mengucur dari tangan dan kaki-Nya.” (Jesus, the Son of Man, New York:1928). Singkatnya, kematian Yesus adalah kematian semesta, kematian nalar, kematian kemanusiaa, kematian adab.
Tetapi, kematian ini hanya sementara. Sebab, pada hari ketiga, Yesus memberikan hadiah Paskah mewah. Ibarat telur, Yesus menetaskan kehidupan melalui kebangkitan-Nya. Inilah momen di mana kehidupan benar-benar memenangi kematian. Dan, seperti kata Franz Magnis Suseno, kemenangan ini bukan sembarang kemenangan yang dirayakan dengan tari gembira. Kemenangan bukan kemenangan yang meluluhlantakkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus.
Di salib, Yesus justru memaafkan mereka yang membawa-Nya ke tempat itu. ”Bapak, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Kemenangan Yesus juga bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya masih dirangkul. Jadi, kemenangan Paskah adalah kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Kemenangan dari kebenaran.
Pada Diri Sendiri
Kebenaran tak melulu harus memberontak. Meski murid Yesus salah satunya adalah orang Zelot, Yesus tidak larut pada pemahaman orang Zelot. Kaum Zelot dikenal sebagai kelompok yang, dengan alasan politik-keagamaan, terus melakukan perlawanan bersenjata untuk mengusir penjajah. Kelompok Zelot, karena merasa harus menjaga hukum Allah, bahkan sampai hati membunuh saudara-saudara sebangsanya. Mereka ingin mengikuti contoh Pinehas yang setelah membunuh saudara sebangsanya, dipuji karena semangat keagamaannya.
Yesus bukan Pinehas. Itu masa lalu. Tak ada lagi masa di mana mata ganti mata, telinga ganti telinga. Hukum sudah berlandaskan kasih, kepada siapa pun. Dalam kasih, tak perlu mengafirkan, membenci, bahkan membunuh orang lain hanya karena merasa mereka tidak setia pada hukum Allah. Hanya memang, hal yang patut disayangkan sekarang ini adalah, setelah dua millennium kemenangan Yesus, rasanya kali ini kita kembali kalah pada mulut kematian. Budaya kehidupan agaknya kembali digantikan oleh budaya kematian.
Betapa tidak, lihatlah di sekitar dimana kita masih acap menyaksikan kekerasan dan penganiayaan. Yang paling aktual adalah sikap benci, mencurigai, tidak menerima, bahkan mengafirkan. Dan, ini dibawa-bawa pula menjadi konsumsi politik, seperti yang terjadi di DKI. Kita tanpa sadar—atau bahkan sadar sesadar-sadarnya—menjadi Pinehas sehingga bakar-membakar rumah ibadah terjadi di Papua dan Aceh. Tolak-menolak ada di Bekasi. Kalau harus dijejerkan, fakta itu akan semakin banyak. Ini masih dalam masalah agama.
Dalam masalah hidup, yang mestinya menjadi aktualisasi keagamaan, terdapat budaya kematian yang lebih banyak lagi. Lihatlah, di mana-mana ada korupsi dan para koruptor ini dengan tanpa malu masih saja melakukan pembelaan. Mereka bersaksi dusta, mereka berkompromi, mereka membeli hukum, mereka menyewa para pakar hukum. Dan para pakar hukum ini pun dipaksa untuk membela koruptor.
Padahal, jika dijenguk lebih dalam, karena koruptor inilah sehingga tidak terhitung berapa anak yang jangankan tak bisa sekolah. Untuk sekadar makan saja mereka susah sehingga bergelimanglah anak yang kekurangan gizi yang lalu meninggal sia-sia. Kita beradabkan budaya kematian yang mematikan orang lain dengan merampas. Inikah makna Paskah? Atau, percumakah pengorbanan Yesus di salib?
Semestinya tidak. Kitalah yang membuatnya percuma dengan pura-pura bertanya seperti Pontius Pilatus tentang apa itu kebenaran. Meski Claudia Procula sudah datang membawa petuah melalui sesama, keluarga, hukum, negara, dan sebagainya dan sebagainya, kita tetap ngotot untuk menikmati budaya kematian. Celakanya, banyak manusia akhirnya mati sia-sia, tetapi kita cukup menjawabnya dengan: saya sudah cuci tangan. Inikah kebenaran?
Ya, memaknai Paskah kali ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: Ti Estin Aletheia. Jangan tanyakan itu pada Tuhan, tapi tanyalah pada keheningan hati kita masing-masing. Itulah Paskah yang sebenarnya!


Jemaat Katolik dan Alumnus Seminari Menengah “Christus Sacerdos” Pematang Siantar

0 comments: