Monday, 14 March 2016

Tak Seharusnya Alergi Kiri

Riduan Situmorang--KITA memang selalu menyukai perbandingan atas keberbedaan yang sangat kontras. Dan, inilah yang menarik perhatian banyak ahli. Ferdinand de Saussure, misalnya, menggelutinya dari segi semiotika struktural. Bagi Ferdinand, keberbedaan ini adalah kebersamaan, dan tentu saja kebermaknaan. Bahasa sederhananya, sesuatu tidak lebih hebat daripada sesuatu yang lain.
Dikakatan demikian karena sesuatu itu tidak mengacu ke realitas di luar dirinya sehingga bukan untuk diperbandingkan, tetapi mengacu pada relasi keberbedaannya dengan tanda lain. Dan, semata karena (relasi) keberbedaan itulah yang membuat mereka jadi bermakna. Posisi ini disebut sebagai pasangan berlawanan (oposisi biner). Hanya karena pasangan itu (kedua-duanya dan bukan salah satu) ada dan berlawanan maka terciptalah ruang makna.
Dengan kata lain, andai pasangan lainnya tidak ada, sesuatu akan menjadi nirmakna dan karena itu boleh dikatakan tidak eksis. Maka itulah, putih tidak lebih agung daripada hitam; kanan tidak lebih superior dibandingkan dengan kiri, dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam tatanan sosial hal ini diterjemahkan bahwa sesuatu yang baik tak akan bermakna baik jika semuanya sudah baik.
Ada yang Salah
Tetapi, tidak semua sepakat dengan Saussure. Para pengkritiknya mengklaim bahwa dalam oposisi biner, derajat pasangan itu berbeda. Perbedaan itu dapat ditelusuri dari posisi, di mana yang pertama selalu merupakan  yang utama (pusat), sedangkan yang kedua menjadi periferi (pinggiran). Laki-laki versus perempuan, baik-buruk, dan tinggi-rendah adalah beberapa contoh yang bisa disebut. Dengan kata lain, tampaklah bahwa yang laki-laki, yang baik, dan yang tinggi merupakan patokan pergerakan makna. Demikiankah adanya?
Sekilas boleh demikian. Apalagi konon, sejarah memang selalu lebih suka menceritakan laki-laki, hal-hal baik, dan hal-hal tinggi sehingga ketiganya menjadi lebih agung. Tetapi, kritik ini masih lemah, dan tentu saja masih dapat diperdebatkan. Inilah yang membuatnya tetap menarik diperbincangkan, terutama dalam konteks kekinian, di mana kita seakan terbangun kembali untuk menghujat kiri dan mengagungkan kanan. (Apakah ini pembangkangan?)
Padahal, seperti di atas, jika benar posisi pertama yang lebih agung, sangat tak logis kita menghujat kiri. Sebab, pasangan kata kiri-kananlah yang lazim, bukan kanan-kiri. Tetapi, lagi-lagi, kritik ini masih lemah. Sebab, ini tak berlaku universal. Bagi orang kidal, misalnya, kanan kurang diandalkan. Sementara itu, bagi negeri kita, justru kirilah yang kurang diandalkan. Beda lagi bagi para terapis. Bagi mereka, kiri dan kanan setara. Itulah sebabnya mereka selalu menganjurkan agar kita menggunakan kiri atau kanan secara bergantian sebagai bentuk dari latihan senam otak.
Nah, bagaimana kita menanggapi kasus belakangan ini, di mana kita terlihat alergi sekali dengan kiri? Berkaitan dengan itu, novelis kita—Tere Liye—melalui fan page facebook-nya juga menggemakan yang sama, mengeliminasi paham kiri, bahkan menyebut bahwa tidak ada orang yang paling berjasa (pahlawan), selain mereka yang berpaham religius? Yang paling mendesak untuk ditanyakan sebenarnya adalah, mengapa masyarakat kita terlihat antikiri sehingga penghakiman dan pemaksaan menjadi kemestian? Mengapa pula negara melalui polisi terlihat kikuk kepada kerumunan sehingga alih-alih mengamankan acara, tetapi justru menutup acara atas nama keamanan?
Ternyata, ada yang salah dengan pemahaman kita. Kita membuat pemahaman sendiri sehingga baik Saussure maupun pengkritiknya sama-sama tak kita ikuti. Ada sebuah ketidaklaziman dan tentu saja itu kezaliman. Kezaliman itu adalah ketika kita membikin teori sendiri tanpa sebuah pijakan pemaknaan. Tanpa pijakan pemaknaan maksudnya adalah penerjemahan sembrono terhadap sesuatu tanpa melalui balutan kisah karena alasan trauma, misalnya.
Sebagai hasilnya, terkondisikanlan sebuah kisah yang mestinya menjadi ingatan, tetapi malah terputus dan tercerai-berai. Kita salah memaknai karena membaca sepenggal-sepenggal tubuh sejarah. Kesalahan itu, misalnya, kita lupa bahwa Bung Karno dididik di rumah H.O.S Tjokroaminoto yang adalah kiri dan yang dengan gagah mengatakan sama rasa terlepas dari perbedaan pada Kongres SI (1917) di Batavia? Lalu, mengapa kita mendadak benci?
Inilah yang saya sebut gagal paham. Kita ada, tetapi mencoba meniadakan. Kita terbentang di antara kiri dan kanan. Dan, tentu saja kita masih bisa eksis hingga kini karena adanya tarik menarik kiri-kanan, setidaknya antara Bung Karno dan Soeharto, sehingga lahirlah Indonesia yang sekarang. Agaknya mustahil mengatakan jika Bung Karno tak “keliru” dan Soeharto tak “kejauhan” maka lahirlah Indonesia yang persis serupa seperti sekarang. Nah, lalu, mengapa kita “membelokkanankan” Festival Belok Kiri seakan-akan kita tak pernah dibalut paham kiri?
Kita Pernah Dari Sana
Ini sesuatu yang benar-benar gagal paham. Kita semua merindukan Jokowi sebagai titisan Bung Karno, yang adalah (pernah) kiri, bahkan benar-benar mereduplikasi wejangan-wejangannya melalui Trisakti, tetapi mengapa kita meniadakannya? Jangan-jangan kini kita tak ada di kiri, juga tak ada di kanan, sehingga tak lagi bermakna dan tak dapat memaknai?
Supaya lebih yakin bahwa kita pernah kiri, mari saya suguhkan Ben Anderson di sini. Indonesianis sejati ini melalui Cornell Paper coba menunjukkan bahwa "Peristiwa G-30-S" yang disebut-sebut sebagai kebiadaban para penganut paham kiri bukan kudeta, bukan rancangan PKI, melainkan konflik di dalam Angkatan Darat dan bahwa Soeharto terlibat, langsung atau tak langsung. Harus diakui, seperti kata Goenawan Moehamad, kesimpulan Ben ini dibuat terlalu tergesa-gesa, ketika bahan belum memadai.
Tetapi pemerintah "Orde Baru" tak tambah meyakinkannya ketika dengan cara kasar dan pengecut melarangnya masuk ke Indonesia, sejak 1972 sampai setelah Soeharto jatuh. Dari peristiwa itu, adalah sangat logis jika kecurigaan sederhana ini dicuatkan, yaitu apakah kanan yang sebenarnya menggusur kiri?
Beragam jawaban boleh diperdebatkan. Yang pasti, kita tak boleh malu mengakui bahwa banyak warga kita yang dulunya pro-Sukarno dan karena itu dituduhkan berpaham kiri lalu dibunuh secara diam-diam. Ada budayawan, seniman, pokoknya para pendukung Bung Karno, semuanya dieliminasi. Fakta ini masih disembunyikan, tetapi kisahnya sudah rahasia lebar-lebar.
Saya ikut menyaksikan film debutan Afrizal Malna “80 Tahun Sitor Situmorang” Desember 2015 lalu di Samosir. Di film itu Sitor mengaku bahwa dia distigmakan dan dilabeli bejat oleh rezim kekuasaan Orde Baru. Surat pembebasannya bahkan masih sangat menghakimi, “…bersama ini oknum G-30 S/PKI, Sitor Situmorang, dibebaskan dengan persyaratan berikut, (di antaranya tak boleh menerima tamu dan berkirim surat!
 
Saya mengetengahkan ini agar kita kembali mengingat bahwa kita pernah kiri, pernah kanan. Dan, ini diketengahkan agar kita tak saling menyakiti dengan stigma, trauma, dan alasan apa pun, termasuk keamanan. Saya percaya, baik kiri maupun kanan sama-sama baik dan itu hanya akan bermakna karena adanya relasi keduanya, sebagaimana diutarakan Saussure. Jika kemudian kita mengingkari yang satu, saya justru membacanya sebagai ketidak bermaknaan diri kita. Karena itu, mari tak usah terlalu grogi dan alergi pada kiri. Sudah jelas, kita pernah dari sana dan kita bermakna hari ini karena ada tarik-menarik di antara keduanya. Tak seharusnya kita alergi kiri!

Pegiat Literasi, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan

0 comments: