Dikakatan
demikian karena sesuatu itu tidak mengacu ke realitas di luar dirinya sehingga
bukan untuk diperbandingkan, tetapi mengacu pada relasi keberbedaannya dengan
tanda lain. Dan, semata karena (relasi) keberbedaan itulah
yang membuat mereka jadi bermakna. Posisi ini disebut sebagai
pasangan berlawanan (oposisi biner). Hanya karena pasangan itu (kedua-duanya
dan bukan salah satu) ada dan berlawanan maka terciptalah ruang makna.
Dengan
kata lain, andai pasangan lainnya tidak ada, sesuatu akan menjadi nirmakna dan
karena itu boleh dikatakan tidak eksis. Maka itulah, putih tidak lebih agung
daripada hitam; kanan tidak lebih superior dibandingkan dengan kiri, dan
sebagainya, dan sebagainya. Dalam tatanan sosial hal ini diterjemahkan bahwa
sesuatu yang baik tak akan bermakna baik jika semuanya sudah baik.
Ada yang Salah
Tetapi, tidak
semua sepakat dengan Saussure. Para pengkritiknya mengklaim bahwa dalam oposisi
biner, derajat pasangan itu berbeda. Perbedaan itu dapat ditelusuri dari
posisi, di mana yang pertama selalu merupakan yang utama (pusat),
sedangkan yang kedua menjadi periferi (pinggiran). Laki-laki versus perempuan,
baik-buruk, dan tinggi-rendah adalah beberapa contoh yang bisa disebut. Dengan
kata lain, tampaklah bahwa yang laki-laki, yang baik, dan yang tinggi merupakan
patokan pergerakan makna. Demikiankah adanya?
Sekilas
boleh demikian. Apalagi konon, sejarah memang selalu lebih suka menceritakan
laki-laki, hal-hal baik, dan hal-hal tinggi sehingga ketiganya menjadi lebih
agung. Tetapi, kritik ini masih lemah, dan tentu saja masih dapat
diperdebatkan. Inilah yang membuatnya tetap menarik diperbincangkan, terutama
dalam konteks kekinian, di mana kita seakan terbangun kembali untuk menghujat
kiri dan mengagungkan kanan. (Apakah ini pembangkangan?)
Padahal,
seperti di atas, jika benar posisi pertama yang lebih agung, sangat tak logis
kita menghujat kiri. Sebab, pasangan kata kiri-kananlah yang lazim, bukan
kanan-kiri. Tetapi, lagi-lagi, kritik ini masih lemah. Sebab, ini tak berlaku
universal. Bagi orang kidal, misalnya,
kanan kurang diandalkan. Sementara itu, bagi negeri kita, justru kirilah yang kurang diandalkan. Beda lagi bagi
para terapis. Bagi mereka, kiri dan kanan setara. Itulah sebabnya mereka selalu
menganjurkan agar kita menggunakan kiri atau kanan secara bergantian sebagai
bentuk dari latihan senam otak.
Nah,
bagaimana kita menanggapi kasus belakangan ini, di mana kita terlihat alergi
sekali dengan kiri? Berkaitan dengan itu, novelis kita—Tere Liye—melalui fan page facebook-nya juga menggemakan
yang sama, mengeliminasi paham kiri, bahkan menyebut bahwa tidak ada orang yang
paling berjasa (pahlawan), selain mereka yang berpaham religius? Yang paling
mendesak untuk ditanyakan sebenarnya adalah, mengapa masyarakat kita terlihat
antikiri sehingga penghakiman dan pemaksaan menjadi kemestian? Mengapa pula
negara melalui polisi terlihat kikuk kepada kerumunan sehingga alih-alih
mengamankan acara, tetapi justru menutup acara atas nama keamanan?
Ternyata,
ada yang salah dengan pemahaman kita. Kita membuat pemahaman sendiri sehingga
baik Saussure maupun pengkritiknya sama-sama tak kita ikuti. Ada sebuah
ketidaklaziman dan tentu saja itu kezaliman. Kezaliman itu adalah ketika kita
membikin teori sendiri tanpa sebuah pijakan pemaknaan. Tanpa pijakan pemaknaan
maksudnya adalah penerjemahan sembrono terhadap sesuatu tanpa melalui balutan
kisah karena alasan trauma, misalnya.
Sebagai
hasilnya, terkondisikanlan sebuah kisah yang mestinya menjadi ingatan, tetapi
malah terputus dan tercerai-berai. Kita salah memaknai karena membaca
sepenggal-sepenggal tubuh sejarah. Kesalahan itu, misalnya, kita lupa bahwa
Bung Karno dididik di rumah H.O.S
Tjokroaminoto yang adalah kiri dan yang dengan gagah mengatakan sama rasa terlepas dari perbedaan pada
Kongres SI (1917) di Batavia? Lalu, mengapa kita mendadak benci?
Inilah yang saya sebut gagal paham. Kita ada, tetapi
mencoba meniadakan. Kita terbentang di antara kiri dan kanan. Dan, tentu saja
kita masih bisa eksis hingga kini karena adanya tarik menarik kiri-kanan,
setidaknya antara Bung Karno dan Soeharto, sehingga lahirlah Indonesia yang
sekarang. Agaknya mustahil mengatakan jika Bung Karno tak “keliru” dan Soeharto
tak “kejauhan” maka lahirlah Indonesia yang persis serupa seperti sekarang. Nah,
lalu, mengapa kita “membelokkanankan” Festival
Belok Kiri seakan-akan kita tak pernah dibalut paham kiri?
Kita Pernah Dari
Sana
Ini sesuatu yang benar-benar gagal paham. Kita semua
merindukan Jokowi sebagai titisan Bung Karno, yang adalah (pernah) kiri, bahkan
benar-benar mereduplikasi wejangan-wejangannya melalui Trisakti, tetapi mengapa
kita meniadakannya? Jangan-jangan kini kita tak ada di kiri, juga tak ada di
kanan, sehingga tak lagi bermakna dan tak dapat memaknai?
Supaya lebih yakin bahwa kita pernah
kiri, mari saya suguhkan Ben Anderson di sini. Indonesianis sejati ini melalui Cornell Paper coba menunjukkan bahwa
"Peristiwa G-30-S" yang disebut-sebut sebagai kebiadaban para
penganut paham kiri bukan kudeta, bukan rancangan PKI, melainkan konflik di
dalam Angkatan Darat dan bahwa Soeharto terlibat, langsung atau tak langsung. Harus
diakui, seperti kata Goenawan Moehamad, kesimpulan Ben ini dibuat terlalu tergesa-gesa,
ketika bahan belum memadai.
Tetapi pemerintah "Orde
Baru" tak tambah meyakinkannya ketika dengan cara kasar dan pengecut
melarangnya masuk ke Indonesia, sejak 1972 sampai setelah Soeharto jatuh. Dari
peristiwa itu, adalah sangat logis jika kecurigaan sederhana ini dicuatkan,
yaitu apakah kanan yang sebenarnya menggusur kiri?
Beragam
jawaban boleh diperdebatkan. Yang pasti, kita tak boleh malu mengakui bahwa banyak warga kita yang dulunya pro-Sukarno dan
karena itu dituduhkan berpaham kiri lalu dibunuh secara diam-diam. Ada
budayawan, seniman, pokoknya para pendukung Bung Karno, semuanya dieliminasi. Fakta
ini masih disembunyikan, tetapi kisahnya sudah rahasia lebar-lebar.
Saya ikut menyaksikan film debutan Afrizal Malna “80
Tahun Sitor Situmorang” Desember 2015 lalu di Samosir. Di film itu Sitor
mengaku bahwa dia distigmakan dan dilabeli bejat oleh rezim kekuasaan Orde
Baru. Surat pembebasannya bahkan masih sangat menghakimi, “…bersama ini oknum
G-30 S/PKI, Sitor Situmorang, dibebaskan dengan persyaratan berikut, (di
antaranya tak boleh menerima tamu dan berkirim surat!
Saya mengetengahkan ini agar kita kembali
mengingat bahwa kita pernah kiri, pernah kanan. Dan, ini diketengahkan agar
kita tak saling menyakiti dengan stigma, trauma, dan alasan apa pun, termasuk
keamanan. Saya percaya, baik kiri maupun kanan sama-sama baik dan itu hanya
akan bermakna karena adanya relasi keduanya, sebagaimana diutarakan Saussure.
Jika kemudian kita mengingkari yang satu, saya justru membacanya sebagai
ketidak bermaknaan diri kita. Karena itu, mari tak usah terlalu grogi dan
alergi pada kiri. Sudah jelas, kita pernah dari sana dan kita bermakna hari ini
karena ada tarik-menarik di antara keduanya. Tak seharusnya kita alergi kiri!
Pegiat Literasi,
Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus
Inten Medan






0 comments:
Post a Comment