
Ini penting, supaya perhelatan Munaslub benar-benar, meminjam ungkapan ”Hajriyanto Y Thohari”, merekatkan kembali soliditas partai, bukan malah menjebak Golkar dalam kubangan krisis yang lebih dalam lagi, kemudian lenyap menuju limbo sejarah. Perhelatan Munaslub kali ini, memiliki sisi menarik untuk dicermati. Satu hal yang tampak mengemuka adalah menguatnya kebutuhan regenerasi dalam tubuh Golkar.
Adalah BJ Habibie, mantan presiden sekaligus sesepuh Golkar, yang mendorong perlunya tokoh-tokoh muda memegang kendali kepemimpinan partai ke depan. Gayung bersambut, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menyatakan ”mandeg pandhito”, alias tak maju lagi. Situasi ini mendorong dinamika kompetisi politik memperebutkan pucuk pimpinan Golkar berlangsung dinamis. Ini nampak dari banyaknya lapisan politikus muda yang mendominasi bursa kandidat ketua umum.
Sebut saja, Ade Komarudin, Idrus Marham, Azis Syamsuddin, Airlangga Hartarto, Mahyudin, dan banyak lainnya. Konfigurasi ini, mengonfirmasikan dorongan peremajaan kepemimpinan di tubuh Partai Golkar menemukan urgensinya. Ada argumentasi kuat, mengapa regenerasi ini mendesak dilakukan. Pertama, menyangkut perkembangan dinamika politik mutakhir yang menempatkan Golkar dalam posisi yang tidak menguntungkan. Citra Golkar kian memburuk dan tengah menjadi sorotan luas masyarakat.
Selain karena kemelut konflik yang berkepanjangan, dan praktik korupsi, terpuruknya citra Golkar tak luput dari andil skandal kontrak perpanjangan Freeport yang melibatkan para petinggi partai. Memang, tidak hanya Golkar, secara umum citra partai-partai sedang mengalami kemerosotan, entah karena skandal korupsi ataupun skandal lain. Dalam situasi demikian, kata ”Liddle dan Mujani”, Golkar membutuhkan kehadiran tokoh-tokoh baru.
Yakni, lapisan politikus muda dengan rekam jejak prestasi dan citra diri yang bersih, sekaligus memiliki ”magnet elektoral” kuat untuk mendongkrak elektabilitas partai. Ini penting, mengingat figur pimpinan Golkar ke depan menjadi salah satu faktor pengungkit kebangkitan partai. Kedua, regenerasi dibutuhkan untuk melepaskan Golkar dari jerat ”gerontokrasi politik”. Sebuah fenemona kemampetan sirkulasi elite di tubuh partai akibat terus bercokolnya aktor-aktor politik tua.
Sulit disangkal, publik selama ini mengesankan Golkar tak lebih sebagai partai yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang-orang tua. Tengok saja, sejak reformasi, kepemimpinan di tubuh Golkar pasca-Akbar Tandjung tidak mengalami alih generasi. Sirkulasi elite yang berlangsung justru semakin mengalami proses penuaan, yang memunculkan tokoh-tokoh lama dengan latar belakang pebisnis, seperti Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.
Ketiga, menyangkut kegagalan Golkar dalam mengembangkan basis-basis dukungan konstituen baru. Sementara pada sisi lain, basis konstituen Golkar semakin tergerus selain karena lahirnya partai-partai baru, juga disebabkan semakin berkurangnya basis pemilih loyal yang dimiliki Golkar.
Perolehan Suara
Fakta ini, terkonfirmasi dari kecenderungan merosotnya perolehan suara dan kursi sepanjang berlangsungnya pemilu di era reformasi. Pada Pemilu 1999, Golkar mendapatkan 23,7 juta suara atau 22,4 persen dan memperoleh 120 kursi dari 550 kursi yang diperebutkan. Kemudian pada Pemilu 2004, Golkar meraup 24,5 juta suara (21,6 persen) dengan perolehan kursi sebanyak 128 dari 560 kursi yang diperebutkan. Selanjutnya, perolehan kursi semakin merosot pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.
Bahkan, celakanya lagi, untuk kali pertama dalam sejarah, Golkar gagal mengusung pucuk pimpinan partai, Aburizal Bakrie, dalam kontestasi Pemilu Presiden 2014. Keempat, tak dapat disangkal, Golkar terbilang lambat dalam memproduksi kader-kader berkualitas berusia muda. Padahal di banyak partai lain, sudah mulai mempercayakan jabatan-jabatan struktural partai dan kandidat calon-calon kepala daerah kepada generasi muda. Dengan demikian, regenerasi menjadi penting.
Selain membuka ruang bagi tampilnya tokohtokoh muda berkualitas, juga menjadi kebutuhan untuk membendung kemerosotan basis dukungan Golkar. Kelima, dalam perspektif kepentingan internal partai, regenerasi tidak hanya memberikan jaminan bagi keberlangsungan (survivalitas) hidupnya. Akan tetapi, juga sebagai strategi dan modal dasar untuk meraih kejayaan partai dalam kontestasi politik ke depan.
Sementara dalam perspektif kepentingan yang lebih luas, terutama bagi kepentingan pembangunan kehidupan kepartaian dan demokrasi yang sehat, sesungguhnya sangat ditentukan dari kesungguhan partai-partai, tak terkecuali Golkar, dalam melembagakan sistem kaderisasi dan regenerasi secara baik. Dan, tidak ada partai politik yang kuat tanpa ditopang oleh sistem kaderisasi dan regenerasi yang tertata dengan baik, sekaligus berjalan secara berkesinambungan. WallahuĂalam.
Tardjo Ragil
Suara Merdeka, 12/03/2016
Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah, alumnus Pascasarjana Ketahanan Nasional UI
0 comments:
Post a Comment