Ada banyak alasan mencintai dan menikmati pagi – di hari Sabtu atau Minggu, selain bahwa itu adalah hari libur dan tak perlu tergesa. Alasan berolah raga masuk di dalamnya. Olah raga yang santai, berjalan kaki,tanpa diingatkan peralatan tempel lengan , atau gawai yang mencatat jumlah langkah, jumlah kalori, detik yang dilalui, atau target yang akan dicapai.
Pagi Ini adalah jalan yang biasa-biasa, di jalan yang bukan selalu track berolah raga. Mungkin jalanan sekitar kompleks atau kampung kita tinggal. Dan membuat lega, aman sekaligus nyaman. Karena yang terasa adalah angin, atau udara yang segar dan membuat longgar paru-paru. Karena mungkin bisa melihat bahwa sebenarnya matahari di saat seperti itu sangat ramah, mirip bulan yang lembut, dan selintas disiapkan menyambut langkah mereka yang berjalan. Mereka tidak selalu yang berpakaian olah raga komplet, melainkan juga ibu-ibu bersama suaminya, atau anak-anak dengan rombongannya, juga— yang menarik, remaja sambil becanda dengan bahasa tubuhnya.
Situasinya sangat menyenangkan. Polisi tidur yang kalau kita lewati dengan kendaraan sebelumnya terasa jaraknya sangat pendek dan “tidurnya nungging”, ternyata mudah dilewati. Sepeda motor yang biasanya dipacu menderu, kini bisa tampak di depan rumah, atau di pinggir jalan sedang dicuci mesra pemiliknya. Benar-benar mesra diusap, dilap, sampai ke sudut-sudut roda yang bulat (sudut yang susah) dengan sikat gigi rombeng. Beda jauh ketika siang nanti sepeda motor itu bersuara bising, menzigzag jalanan padat, berebut sempat. Kontras benda yang sama, motor, membuktikan bahwa pagi sebelum membaca koran adalah pagi yang pantas dinikmati.
Tapi yang benar-benar terasa segar adalah melihat hal-hal yang tak sempat terbayangkan. Mungkin itu berarti bayangan tetangga yang mematikan lampu depan. Mungkin kucing yang masih terkantuk yang menatapmu sayu tapi tak menghindar. Yang pasti sapaan dari sesama pejalan kaki yang kita kenal atau kira-kira kamu tahu siapa. Dengan ucapan lirih selamat pagi, atau saling mengangguk, atau melambai tangan pendek. Tetangga yang siang sedikit nanti tak akan bersapa, karena tergesa ke mana menjadi lebih utama.
Dan yang mentakjubkan masih saja ada. Guguran bunga-bunga di tanah, dengan kondisi mencium tanah, mesra. Warna kuning—biasanya kemboja kuning, yang belum sepenuhnya kering, atau juga merah—kemboja merah, atau bunga yang tak dikenali namanya, yang membentuk mosaik cantik warna warni. Bagai lukisan alam, sehingga untuk sejenak kita rela menahan sejenak sebelum nanti seseorang menyapu.
Semuanya indah adanya. Semua itu menjadi kaya dengan makna ketika dikontraskan dengan beberapa saat kemudian ketika ketergesaan, ketika waktu dihitung secara eksak, ketika keindahan menjadi rusak karenanya.
Pagi Sabtu, atau Minggu, jangan dibiarkan berlalu begitu saja. Jalani langkah-langkahmu, nikmati kesegaran ini sebelum berlalu. Nikmati, juga pahami betapa bayangan tubuhmu bisa meninggiiiii dan panjaaaaaang, atau berubah menempel di kaki. Dan ketika matahari bersinar di belakang tubuhnya, bukan hanya punggung yang menjadi hangat, melainkan kemungkinan kamu bisa melihat pelangi. Dan menurut lirik lagu, ada harta di ujung pelangi.
Harta itu adalah kesegaran, kenyamanan, juga damai yang bisa daparkan dengan percuma. Met pagi Sabtu.
Arsweondo Atmowiloto
Koran Jakarta, 19/03/2016
Budayawan
0 comments:
Post a Comment