Riduan Situmorang--Tere Liye menasihati anak muda melalui fanpagenya di media sosial, facebook. Begini nasihat itu: anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan
baik! Sampai di sini, pesan itu relevan dengan slogan “jasmerah” ala Bung
Karno. Masalahnya, pesan ini hanyalah simpulan mematikan dari keseluruhan
nasihatnya.
Sebab, pada intinya dan di awal nasihat itu, Tere
Liye terlebih dauhulu menggerutu, kemerdekaan Indonesia merupakan hasil jerih
payah para pahlawan. Pahlawan itu sialnya digeneralisasikan semuanya adalah
ulama: orang-orang religius. Dia benar-benar “menegasikan” jasa kelompok di
luar religius.
Pada
bagian paling akhir, Tere justru tampil lagi dengan sangat otoriter. Dia menginterogasi:
apakah ada orang komunis, pemikir
sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup-mati
melawan serdadu Belanda, Inggris, atau Jepang? Silakan cari!
Maka, gemparlah teman-teman sastrawan dan sejarawan!
Tidak sedikit yang memaki Tere Liye. Pasalnya, ini bukan perkara benar atau
salah. Ini perkara, pantaskah kita meniadakan karya orang lain, atas nama fobia
dan kegetiran, atau “kejijikan”, misalnya?
Istimewanya
Sastrawan
Belum lagi kalau kita toleh kebenaran tuduhan itu.
Sebab, kalau dideretkan, orang-orang besar yang boleh dikategorikan berpaham
“kiri” justru lebih berperan daripada orang-orang religius seperti yang
dimuliakan Tere Liye. Mulai dari nama-nama besar hingga orang-orang kecil. Ada H.O.S
Tjokroaminoto yang sering dikenal sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota. Di rumah
beliaulah tokoh-tokoh besar lahir dan dibentuk. Ada Bung Karno, Tan Malaka,
Darsono—ini sekadar menyebut nama.
Masih banyak tokoh lainnya. Yang tak boleh dilupakan
adalah peran orang-orang kecil yang dengan sepenuh hati menampung dan memberi
makan para tokoh besar yang dinegasikan Tere. Jika saja betul—dan memang betul
sekali—bahwa seluruh rakyat Indonesia mendukung Bung Karno dan pejuang-pejuang
lainnya. Bukankah ini dapat ditarik kesimpulan, sesungguhnya orang yang paling
berjasa adalah mereka yang justru dinegasikan Tere? Ada apa dengan Tere?
Mengapa dia sebagai publik-figur menyentak dan membangunkan lagi fobia-fobia
kiri yang sudah pernah tidur dengan teduh?
Ya, kita tahu, Tere Liye adalah orang
yang terkenal meski dia selalu bersembunyi. Dia tak pernah foto heboh-hebohan
bersama penggemar yang walaupun belakangan dituduhkan, cara dia bersembunyi hanyalah
trik. Buktinya, dia sering mempromosikan diri untuk diundang pada bedah buku-karyanya.
Dia juga bulat-bulat mendaku sebagai akuntan. Dia tak segigih dan seidealis Enny
Arrow. Sampai detik ini, tidak ada yang tahu, siapa itu Enny Arrow. Apakah
perempuan atau laki-laki. Atau, kata Denny Siregar, jangan-jangan dia binatang
pintar?
Ya, Tere memang selalu berkarya dengan hebat melalui
karya-karyanya. Kita akui itu. Dia mirip dengan orang-orang pejuang pada masa
revolusi yang selalu bersembunyi, yang walau seperti tadi, masih bisa
dipertanyakan. Karena kehebatan itulah maka banyak yang kemudian menggandrunginya.
Bahkan, semua perkataannya di media sosial ibarat sabda sehingga sering di-capture. Itulah eloknya sastrawan.
Mereka bisa membuat orang fanatik hingga lupa seringkali kata-katanya hanya
untuk konsumsi comberan.
Isitmewanya
sastrawan, terutama dalam sejarah, mereka sering dimistifikasi sebagai pembawa
suara kebenaran atau pujangga. Mereka selalu mendapatkan kursi yang agung.
Lebih agung dari sejarah itu sendiri, dari cerita itu sendiri. Sejarah katanya
bisa dipelesetkan dari history menjadi
his story oleh para sejarawan. Sastrawan
justru membuat his story melalui para tokoh-tokohnya menjadi sebuah history. Maka itulah mengapa orang
selalu lebih suka merujuk pada Paramodya Ananta Toer jika ingin melihat
lamat-lamat negeri ini.
Terkait itu, konon, negeri ini katanya berasal dan
berakar dari sastra (puisi), dari para sastrawan. Parni Hadi
mengatakan, secara
genealogis, teks Sumpah Pemuda dapat dirunut asal muasalnya pada puisi Muhammad
Yamin (23 Agustus 1903-7 Oktober 1962), yang berjudul “Tanah Air” (Jong
Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember
1922), yang lebih panjang dari puisi sebelumnya, dan “Indonesia, Tumpah
Darahku”, 26 Oktober, 1928. Sumpah Pemuda sendiri dipahami sebagai prosa dari
gabungan puisi-puisi itu.
Jadi,
tak salah kalau Mohammad Iqbal, sang penyair dan filsuf Pakistan, bilang kita
wajib menziarahi sastrawan karena negara lahir dari tangan penyair. Memang,
kata di lagi, jaya atau jatuhnya sebuah bangsa ada di tangan politisi. Tak usah
gusar! Sudah banyak yang menginsafi jika politik ricuh, maka sastralah yang
akan meneduhkannya.
Kembali
ke Tere. Mengapa dia meluapkan dan melupakan emosi melalui sejarah? Atau,
mungkinkah Tere mengguncang kita yang sedang tertidur agar kembali mengingat
sejarah? Atau, jangan-jangan Tere hanya pecandu sastra dan sama sekali bukan
sastrawan, seperti yang dituduhkan Saut Situmorang?
Bukan Kiamat
Apa
pun itu tidak menjadi urusan penting lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Syukurnya,
seperti kata Arswendo Atmowiloto, ini bukanlah kesia-siaan. Bubur bukanlah
kiamat. Kita bisa mengubah bubur itu menjadi lebih bermartabat dengan
memberinya bumbu. Jadilah bubur tadi menjadi bubur ayam yang gurih, misalnya. Apabila
itu ada pada sastra, hal itu bisa dilakukan dengan kembali memanggungkan hati
melalui kata lengkap dengan jiwanya.
Kata-kata
harus bermakna, bukan semata kumpulan bunyi dan lambang. Bukan semata catatan
persitiwa, seperti yang dilakukan para sejarawan. Saya tak sedang coba meremehkan
Tere di sini. Saya pula tak meremehkan sejarawan. Bagaimanapun, sejarawan dan
sastrawan berjalan saling bersisian. Hanya, sejarawan seringkali hanya
suara-suara sunyi yang tak heroik. Sejarawan bisa dicibir dan dikucilkan.
Setidaknya,
itulah yang pernah direfleksikan Bend Anderson dalam Spectre of Comparison (Hantu Komparasi). Itu masuk
akal karena seperti kata, Walter Benjamin, tidak ada dokumen peradaban yang tak juga merupakan dokumen barbarisme.
Dan, sayangnya, seringkali sejarawan ditawan oleh penguasa untuk mengeliminasi barbarisme
atau membuat cerita bolong, bahkan bohong.
Sedangkan
sastrawan, mereka bebas. Imajinasi bisa meletup-letup. Kata M. Fauzi Sukri, seorang novelis memiliki kebebasan
yang jauh lebih besar untuk merekonstruksi para tokohnya: menjadi seorang
nasionalis radikal, pembangkang bahkan penghancur masyarakat, atau seorang
universalis humanis yang sudah melampaui batas-batas nasionalisme sempit,
menjadi tokoh bejat tak bermoral, dan seterusnya, yang semuanya sebisa mungkin
wajib meyakinkan para pembacanya. Sejarawan tidak. Mereka sering kikuk karena
kekuatan penguasa.
Maka itulah mengapa Ben Anderson
meramalkan, para prosais (sastrawan) bisa jauh lebih imajinatif dan kritis,
jika dibandingkan konstruksi para sejarawan negara. Sebab, sastrawan tidak begitu terbebani aforisme pahit Walter
Benjamin. Nah, jika ini yang terjadi. Jika Tere Liye adalah sastrawan. Jika dia
novelis dan memang demikian adanya. Barangkali Tere sedang menggugat sejarah
negeri yang dinukilkan para sejarawan tanpa ada aforisme.
Jangan-jangan dia sedang menantang
agar kita mengkrtisi sejarah? Atau yang paling buruk dan spekulatif, jangan-jangan
optimisme yang dikukuhkan Ben Anderson bagi para sastrawan (novelis) hanya
suara heboh-hebohan. Atau, mungkinkah Tere sedang amnesia sejarah? Kuharap
jangan!
Pegiat Literasi,
Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan
0 comments:
Post a Comment