
Ya, tak banyak orang seperti Marcus Bach. Marcus Bach benar-benar menganggap sekolah sebagai gedung yang mengerangkeng. Padahal, di kita, sekolah justru sering dimistifikasi sebagai gedung pembebasan. Karena gedung pembebasan, guru didaulat menjadi mesias. Beda dengan Marcus Bach, pendaulatan demikian justru tak berlaku.
Malah bagi dia, guru di sekolah tak ubahnya penjaga lapas yang tiap hari mengintai lengkap dengan pentungan-pentungannya sehingga dia tak leluasa untuk berkembang. Konon, otak kita akan susah berkembang pada kondisi tertekan. Tampaknya Marcus Bach menyadari itu sehingga dia akhirnya meninggalkan persekolahan dan masuk ke arena pendidikan yang sejati: lingkungan.
Lingkungan Adalah Awal
Lingkungan adalah awal dari segala imajinasi dan pemikiran berkecambah. Karena itulah bagi para penganut pembelajaran quantum, lingkungan diartikan tak lagi sekadar latar belakang. Lingkungan menjadi bagian terintegrasi dengan pendidikan. Lingkungan disebut-sebut turut berbicara sehingga musik klasik selalu dimainkan serta alam sekitar disulap semenarik mungkin. Penuh warna dan gairah, berdenyut sedemikian rupa.
Ini diciptakan karena lingkungan berkorelasi positif terhadap keberhasilan anak didik. Lagipula, otak kita sangat menyukai warna-warni, juga suara-suara teduh. Otak punya panca indra. Tidak tuli, buta, bisu, dan dan mati rasa. Atas dasar itulah diklaim bahwa lingkungan yang baik mustahil melahirkan anak didik yang amburadul. Bahasa kecerdasan tradisional kita mengungakpannya lebih spesial: buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Nah, lalu, bagaimana dengan skema persekolahan (sekolah) anak kita saat ini? Apakah lingkungannya sudah nyaman dan aman? Bagaimana pula dengan lingkungan pendidikan (keluarga)? Apakah sudah nyaman? Atau masih kaku, otoriter, dan sama sekali tak harmonis? Terkhusus ruang keluarga, ini sangat mendesak ditanyakan karena awal dan akhir dari pendidikan berasal dari keluarga.
Di level keluargalah komunikasi mulai bertumbuh. Inilah level yang paling pertama yang selalu memiliki sisi emosional. Tidak ada manusia yang tiba-tiba muncul dari ruang kosong. Semuanya selalu berawal dari keluarga. Maka itulah ayah tak boleh fungsinya dicukupkan sebagai pemberi nafkah, ibu sebagai pelengkap identitas di KK, dan anak sebagai hasil jarahan.
Keluarga bukan semata sarana bereproduksi, melainkan berdiskusi. Ruang keluarga harus berdenyut penuh gairah. Rumah harus menjadi tempat persinggahan dan istirahat yang nyaman bagi semua, baik secara fisik, terutama psiskis. Bahasa tubuh melalui sentuhan dan verbal melalui pujian harus sinkron dan dapat dibaca dengan saling pengertian. Begitulah keluarga harus menjadi rumah yang nyaman untuk meletakkan kepala dan hati.
Baru-baru ini, kita digemparkan berita sadisme orang tua terhadap anak. Adalah Brigadir Petrus Bakus, anggota Satintelkam Polres Melawi, yang tega membunuh, bahkan memutilasi anaknya yang masih balita. Konon, alasan pembantaian ini adalah sebagai wujud persembahannya kepada Tuhan (Tuhan?). Apa pun alasannya, pembunuhan, terutama kalau itu bentuk mutilasi sangat tak bisa diterima. Bahasa keluarga boleh dikokohkan bahwa itu hak ayah. Tetapi, apakah karena itu hak ayah, maka si ayah dapat sesuka hatinya membantai?
Sesungguhnya, berita menyedihkan ini bukan kali pertama. Kisah seperti ini sudah acap dan barangkali ini diterjemahkan secara keliru oleh para pengikut agama samawi, di mana Abraham mempersembahkan anak terkasihnya kepada Sang Khalik. Sebatas menguak fakta terbaru, misalnya, mari kita simak data ini! Sebagaimana dirilis Pusdatin khusus kekerasan terhadap anak, pada tahun 2010 ada 2.046 kekerasan, 2011 meningkat menjadi 2.467, 2012 merangkak menjadi 2.646, 2013 makin heboh ke 3.339, 2014 semakin tragis ke 4654.
Fakta ini meneguhkan bahwa negeri ini darurat anak. Ruang kehidupan di luar menjadi ruang mematikan yang tak ramah anak. Kita seolah tak menyadari bahwa generasi anak inilah yang kelak menukar tempat kita. Andai prosesi balas dendam berada pada sirkus yang tetap, jangan-jangan mereka juga akan melakukan kekerasan yang sama, kepada anak mereka, terutama kepada orang tua?
Baiklah, saya tak akan membahas ajang balas dendam di sini. Kita hanya ingin membelalakkan mata pada betapa runyamnya sekarang lingkungan anak. Padahal tadi, lingkungan adalah awal dari segala imajinasi dan pemikiran. Boleh dikatakan, saling hujat antara anak adalah buah dari eksplorasi mereka terhadap lingkungan.
Diskusi atau Curhat
Dilihat, misalnya, lingkungan di mana ayah dan ibunya tak pernah akur. Dialaminya sendiri, misalnya, bagaimana kakak, ibu, dan ayahnya memakinya hanya karena persoalan sepele sehingga nyata bagi dia bahwa lingkungan ini adalah lingkungan kekerasan. Dilihat lagi bagaimana kakaknya bersekongkongkol untuk mengelabui orang tua. Sebab, persekongkolan menjadi cara untuk mengelak agar tak kenah hukuman.
Maka itu, ketika keluar dari lingkungan keluarga, anak mulai tahu cara bagaimana bersekongkol untuk berbohong. Anak mulai tahu bagaimana membentuk kerumunan dan kebisingan. Anak mulai tahu bahwa kejujuran hanya dongeng yang tak berbuah. Fenomena inilah yang kemudian teraktuliasikan dalam kehidupan, seperti yang pernah terjadi di Bukit Tinggi, di mana anak-anak SD bersekongkongkol menyiksa seorang anak.
Sulit dikatakan bahwa ini murni berasal dari hati si anak. Ini sudah pasti merupakan duplikasi dari beberapa pengalamannya sebab tadi, otak kita punya pancaindra. Lalu, bagaimana kita akan menanggapi ini? Apakah perlu peraturan untuk membuat lingkungan menjadi ruang nyaman? Perlu! Tetapi, itu tahap lanjutan. Yang sangat mendesak untuk segera diubah adalah dari pendidikan paling awal: keluarga.
Meski keluarga di kita dikategorikan sebagai pendidikan informal, tetap justru inilah asal mula dari pendidikan. Sekolah hanya memberi ijazah dan menghargainya secara sepenggal, sedangkan keluarga memberi segala sesuatunya sebagai modal dan menghargainya dengan kasih. Maka itu, menyelamatkan pendidikan anak, kita tak usah jauh-jauh menoleh UU dan sekolah. UU dan sekolah hanya pengikat. Keluargalah yang lebih dahulu membebaskan.
Mengapa saya angkat kasus Marcus Bach di awal tulisan ini? Karena saya menyadari bahwa sekolah dan lingkungan kita sudah bermasalah. Sudah banyak anak kita yang gerah dan terkurung di sekolah, seperti Marcus. Lalu, kemana lagi anak-anak malang ini akan lari mengejar pendidikan kalau bukan ke keluarga? Menyelamatkan pendidikan anak kita adalah menyelamatkan keharmonisan keluarga.
Nasib pendidikan kita ada di keluarga. Keluarga
baik, maka mereka akan menduplikasikannya ke lingkungan dengan baik pula. Jadi,
kalau ada kekerasan di keluarga, negara harus segera hadir. Barangkali negara
sudah boleh mencontohkannya dengan menghukum para pelaku kekerasan di keluarga.
Intinya, nasib pendidikan kita ada pada keluarga. Dan, itu akan berhasil jika
komunikasi di antara mereka berdenyut. Teknisnya boleh dilakukan semisal
diskusi atau curhat pada pagi atau malam hari. Dengan sumringah dan renyah!
Pegiat Literasi di
Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Pengajar Bidang Studi Bahasa Indonesia
di Prosus Inten.
0 comments:
Post a Comment