Sunday, 20 March 2016

Memikirkan Parkir Online

Riduan Situmorang--Korupsi dan penjarahan sesungguhnya bukan hal ganjil lagi di negeri ini. Tidak ada lagi rahasia. Semuanya sudah terbuka dan kita semakin terbiasa. Inilah penyakit yang susah disembuhkan, yaitu ketika kita merasa nyaman dengan segala kebejatan itu. Justru, manakala kita tak korupsi, kita merasa ada yang hilang. Ada pembiasan logika yang lahir dari sana: ketika sakit, kita merasa sehat; ketika sehat, kita merasa sakit. Maksud saya, kita sudah terbiasa dengan berbagai kebejatan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah-lumrah saja.
            Sebut itu, misalnya, perihal parkir. Perparkiran kita, betapapun itu hanya berhitung ribuan rupiah, itu sudah merupakan bagian dari betapa sistematisnya kita melegitimasi korupsi. Perda Nomor 2 Tahun 2014 telah mengisyaratkan tarif resmi Rp 1.000,00 untuk kendaraan roda dua, Rp 2.000,00 untuk kendaraan roda empat. Tetapi, apakah ini yang terjadi di lapangan? Saya justru sering dipungut biaya dua ribu rupiah, bahkan lebih setiap kali parkir. Artinya, mereka sudah korupsi beberapa ribu rupiah.
Belum lagi kalau kita, misalanya, menunggui kendaraan kita. Dengan mata liar, para jukir akan mewanti-wanti kita seakan-akan kita adalah teroris. Tugas mereka menjadi tukang pungut, bukan penjaga. Selekas itu, kita akan dipungut. Kalau kita berdebat, ujung-ujungnya kita akan diserapahi. Masak dua ribu aja tak mau? “K****L-lah kau”! (sengaja saya hilangkan karena kita sudah paham apa artinya). Ujung-ujungnya, agar tak mau berdebat kusir, agar tak mau diserapahi, kita rela begitu saja dipungut.
Membuka Mata
Percayalah, ini bukan perkara seribu rupiah, ini perkara siapa yang mendapat uang itu? Negara? Tidak! Lalu kepada siapa lagi kalau bukan ke kantong para garong? Kita serba kalah dan serba salah. Meski pada prinsipnya berhenti dan parkir itu beda sekali, oleh tukang parkir itu dihargai sama. Berita baiknya, mereka merindukan kita untuk berhenti. Ketika kita berhenti, pemungutan menjadi legal. Berita buruknya, ketika kita akan bergerak, kita akan dijarah. Ini sangat menyebalkan. Benar-benar menyebalkan.
Sebut, misalnya, Anda mempunya mobil. Sudah pasti, minimal dalam sehari, Anda akan parkir tiga kali setiap harinya. Biaya parkirnya mari dirata-ratakan tiga ribu rupiah per sekali parkir. Berarti, Rp9.000,00 dalam sehari atau Rp270.000,00 per bulan dan per mobil. Bagaimana kalau mobil yang parkir sudah ratusan? Berapa uang kita sudah dijarah? Apakah ini tak bisa disamakan dengan koruptor mafia anggaran?
Buktinya, realisasi PAD Kota Medan selaluh jauh dari harapan. Pernah hanya mencapai 73,31% atau sekitar Rp 897 miliar dari target Rp 1,19 triliun. Hitunglah selisih target dan realisasi itu! Mudah-mudahan target itu sebenar-benarnya sebab kalau kita jujur, transaksi parkir pasti jauh melebihi target itu. Bukankah ini korupsi yang jauh lebih hebat? Tetapi, mengapa kita tak peduli dan selalu saja merestui korupsi ini langgeng setiap harinya?
Di sinilah, saya berharap kita bisa membuka mata. Memelihara juru parkir itu sama dengan memelihara dan melegitimasi koruptor. Tidak hanya itu, kita juga mengundang bencana demi bencana. Lihatlah sekujur tubuh kota kita di negeri ini, tata kelola perparkirannya tak pernah teratur. Bahu jalan sering dipakai sehingga lalu lintas pun terhambat. Akibatnya, kita mendadak stres dan emosi memuncak-muncak, hampir tanpa kontrol.
Jalanan menjadi tempat brutal di mana kita saling hujat, saling sikut, saling terobos. Maut menjadi dekat. Kebahagiaan terenggut. Kita bahkan bisa di-PHK karena terlambat ke kantor. Dan cobalah berpikir, bukankah kesegalanya ini dapat dikaitkan dengan juru parkir yang menghambakan banyak uang sehingga memarkirkan kendaraan di bahu jalan sesuka hatinya? Saya yakin, jika saja bahu jalan kita tidak dikepung oleh kendaraan yang diparkir, lalu lintas kita akan lempang dan kita santai menikmati perjalanan. Lalu lintas menjadi sebuah ajang menikmati hidup, bukan mengutuki sesama.
Maka itu, pada kolom ini, izinkan saya memaparkan pemikiran bagaimana mengelola parkir. Sekali lagi, ini agar kita tak terbiasa dan bersikap biasa-biasa pada korupsi. Juga, agar kita semakin nyaman, tertib, dan disiplin dalam berkehidupan. Bagaimana itu?
Ganti juru parkir dengan mesin. Namanya parkir online. Negara-negara maju sudah melakukannya. Ini dilakukan agar tarif parkir murni ke kas negara, bukan ke kantong para garong. Dan, letak perparkiran itu tak boleh di sembarang tempat. Di mana ada mesin parkir, di situlah boleh parkir. Artinya, ketika tak ada mesin parkir, berarti kita tak boleh parkir. Ini akan membantu kita mengatasi kemacetan seperti kita ketahui, kemacetan di negeri ini dominan terjadi karena banyak kendaraan memakai bahu jalan sebagai tempat singgahnya. Hampir di setiap tempat adalah tempat legal untuk parkir.
Semoga Dipertimbangkan
Biaya membuat mesin parkir itu memang akan banyak, tetapi itu akan tertutupi oleh uang parkir karena tarif nantinya utuh ke kas. Selain itu, tempat perparkiran pun harus teratur. Orang kita memang bebal, tetapi jika punya aturan yang kuat, kebebalan itu bisa diatasi. Maka itu, mesin parkirnya harus seperti radar dan alarm yang tersistem ke pusat. Manakala kendaraan diparkir sembarangan, radar dan alarm harus mengirim pesan ke pusat. Di sini, pemerintah bisa memberi tilang atau denda. Orang Australia sudah melakukannya.
Tentunya, orang tak mau didenda sehingga mereka pasti akan memarkirkan kendaraan dengan baik. Pun, perparkirannya harus memakai jatah waktu, bukan seharian. Manakala lebih dari jatah waktu, pemilik harus didenda atau ditilang. Atau, seperti di Amerika, diangkut ke kantor polisi. Ini dilakukan di AS sehingga orang memarkirkan kendaraan tidak untuk berlama-lama. Lalu, di mana tempat parkir berlama-lama seperti seharian penuh?
Di Jerman, mobil sangat banyak. Rata-rata tiap orang punya mobil minimal satu. Tetapi, kalau kita di jalan, mobil seakan tidak ada karena memang diparkirkan di tempat khusus. Di Dusseldorf, misalnya, ketika baru tiba di Jerman tahun kemarin, saya terkagum-kagum karena jalanan yang lebar sangat lempang. Rupanya, mobil mereka diparkirkan di sebuah lapangan khusus, gedung bertingkat-tingkat khusus, murni untuk tempat parkir.
Para karyawan yang bekerja seharian memarkirkan mobil di parkiran khusus itu. Akses ke parkiran khusus itu adalah bus massal dan kereta api. Artinya, ketika sampai atau pulang, mereka harus memarkir mobil di tempat khusus, bukan di sembarang tempat. Hasilnya, arus lalu lintas di sana sangat lancar. Setiap kami berangkat, speedometer selalu minimal berada pada angka 125 km/jam. Itu sudah termasuk lambat. Di sini? Oh, arus lalu lintas kita sangat lelet!
Baiklah, tidak mudah merealisasikan ide ini. Tetapi, tidak mudah bukan berarti tak bisa. Lagipula, kita memang mesti berubah karena dari tahun ke tahun, kemacetan semakin mengepung. Maka itu, kita harus berani masuk ke perangkap yang tidak mudah ini, lalu membuatnya menjadi sebuah kemudahan! Hasilnya nanti, kemacetan terurai dan korupsi jalanan pun berakhir. Semoga parkir online bisa dipertimbangkan!
 
Pemerhati Danau Toba dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan
 

0 comments: