Sebut
itu, misalnya, perihal parkir. Perparkiran kita, betapapun itu hanya berhitung
ribuan rupiah, itu sudah merupakan bagian dari betapa sistematisnya kita
melegitimasi korupsi. Perda
Nomor 2 Tahun 2014 telah mengisyaratkan tarif resmi Rp 1.000,00 untuk kendaraan
roda dua, Rp 2.000,00 untuk kendaraan roda empat. Tetapi, apakah ini yang
terjadi di lapangan? Saya justru sering dipungut biaya dua ribu rupiah, bahkan
lebih setiap kali parkir. Artinya, mereka sudah korupsi beberapa ribu rupiah.
Belum lagi kalau kita, misalanya, menunggui
kendaraan kita. Dengan mata liar, para jukir akan mewanti-wanti kita
seakan-akan kita adalah teroris. Tugas mereka menjadi tukang pungut, bukan
penjaga. Selekas itu, kita akan dipungut. Kalau kita berdebat, ujung-ujungnya
kita akan diserapahi. Masak dua ribu
aja tak mau? “K****L-lah kau”! (sengaja saya hilangkan karena kita sudah paham
apa artinya). Ujung-ujungnya, agar tak mau berdebat kusir, agar tak mau
diserapahi, kita rela begitu saja dipungut.
Membuka
Mata
Percayalah, ini bukan perkara seribu
rupiah, ini perkara siapa yang mendapat uang itu? Negara? Tidak! Lalu kepada
siapa lagi kalau bukan ke kantong para garong? Kita serba kalah dan serba
salah. Meski pada prinsipnya berhenti dan parkir itu beda sekali, oleh tukang
parkir itu dihargai sama. Berita baiknya, mereka merindukan kita untuk
berhenti. Ketika kita berhenti, pemungutan menjadi legal. Berita buruknya, ketika kita akan bergerak, kita
akan dijarah. Ini sangat menyebalkan. Benar-benar menyebalkan.
Sebut, misalnya, Anda mempunya mobil. Sudah pasti,
minimal dalam sehari, Anda akan parkir tiga kali setiap harinya. Biaya
parkirnya mari dirata-ratakan tiga ribu rupiah per sekali parkir. Berarti, Rp9.000,00
dalam sehari atau Rp270.000,00 per bulan dan per mobil. Bagaimana kalau mobil
yang parkir sudah ratusan? Berapa uang kita sudah dijarah? Apakah ini tak bisa
disamakan dengan koruptor mafia anggaran?
Buktinya, realisasi PAD Kota Medan selaluh jauh dari harapan. Pernah
hanya mencapai 73,31% atau sekitar Rp 897 miliar dari target Rp 1,19 triliun. Hitunglah
selisih target dan realisasi itu! Mudah-mudahan target itu sebenar-benarnya
sebab kalau kita jujur, transaksi parkir pasti jauh melebihi target itu.
Bukankah ini korupsi yang jauh lebih hebat? Tetapi, mengapa kita tak peduli dan
selalu saja merestui korupsi ini langgeng setiap harinya?
Di sinilah, saya berharap kita bisa
membuka mata. Memelihara juru parkir itu sama dengan memelihara dan
melegitimasi koruptor. Tidak hanya itu, kita juga mengundang bencana demi
bencana. Lihatlah sekujur tubuh kota kita di negeri ini, tata kelola
perparkirannya tak pernah teratur. Bahu jalan sering dipakai sehingga lalu
lintas pun terhambat. Akibatnya, kita mendadak stres dan emosi memuncak-muncak,
hampir tanpa kontrol.
Jalanan menjadi tempat brutal di
mana kita saling hujat, saling sikut, saling terobos. Maut menjadi dekat.
Kebahagiaan terenggut. Kita bahkan bisa di-PHK karena terlambat ke kantor. Dan
cobalah berpikir, bukankah kesegalanya ini dapat dikaitkan dengan juru parkir
yang menghambakan banyak uang sehingga memarkirkan kendaraan di bahu jalan
sesuka hatinya? Saya yakin, jika saja bahu jalan kita tidak dikepung oleh
kendaraan yang diparkir, lalu lintas kita akan lempang dan kita santai
menikmati perjalanan. Lalu lintas menjadi sebuah ajang menikmati hidup, bukan
mengutuki sesama.
Maka itu, pada kolom ini, izinkan
saya memaparkan pemikiran bagaimana mengelola parkir. Sekali lagi, ini agar
kita tak terbiasa dan bersikap biasa-biasa pada korupsi. Juga, agar kita semakin
nyaman, tertib, dan disiplin dalam berkehidupan. Bagaimana itu?
Ganti juru parkir dengan mesin.
Namanya parkir online. Negara-negara
maju sudah melakukannya. Ini dilakukan agar tarif parkir murni ke kas negara,
bukan ke kantong para garong. Dan, letak perparkiran itu tak boleh di sembarang
tempat. Di mana ada mesin parkir, di situlah boleh parkir. Artinya, ketika tak
ada mesin parkir, berarti kita tak boleh parkir. Ini akan membantu kita
mengatasi kemacetan seperti kita ketahui, kemacetan di negeri ini dominan
terjadi karena banyak kendaraan memakai bahu jalan sebagai tempat singgahnya.
Hampir di setiap tempat adalah tempat legal untuk parkir.
Semoga
Dipertimbangkan
Biaya membuat mesin parkir itu
memang akan banyak, tetapi itu akan tertutupi oleh uang parkir karena tarif nantinya
utuh ke kas. Selain itu, tempat perparkiran pun harus teratur. Orang kita
memang bebal, tetapi jika punya aturan yang kuat, kebebalan itu bisa diatasi.
Maka itu, mesin parkirnya harus seperti radar dan alarm yang tersistem ke
pusat. Manakala kendaraan diparkir sembarangan, radar dan alarm harus mengirim
pesan ke pusat. Di sini, pemerintah bisa memberi tilang atau denda. Orang
Australia sudah melakukannya.
Tentunya, orang tak mau didenda
sehingga mereka pasti akan memarkirkan kendaraan dengan baik. Pun,
perparkirannya harus memakai jatah waktu, bukan seharian. Manakala lebih dari
jatah waktu, pemilik harus didenda atau ditilang. Atau, seperti di Amerika,
diangkut ke kantor polisi. Ini dilakukan di AS sehingga orang memarkirkan
kendaraan tidak untuk berlama-lama. Lalu, di mana tempat parkir berlama-lama
seperti seharian penuh?
Di Jerman, mobil sangat banyak.
Rata-rata tiap orang punya mobil minimal satu. Tetapi, kalau kita di jalan,
mobil seakan tidak ada karena memang diparkirkan di tempat khusus. Di
Dusseldorf, misalnya, ketika baru tiba di Jerman tahun kemarin, saya
terkagum-kagum karena jalanan yang lebar sangat lempang. Rupanya, mobil mereka
diparkirkan di sebuah lapangan khusus, gedung bertingkat-tingkat khusus, murni
untuk tempat parkir.
Para karyawan yang bekerja seharian
memarkirkan mobil di parkiran khusus itu. Akses ke parkiran khusus itu adalah
bus massal dan kereta api. Artinya, ketika sampai atau pulang, mereka harus
memarkir mobil di tempat khusus, bukan di sembarang tempat. Hasilnya, arus lalu
lintas di sana sangat lancar. Setiap kami berangkat, speedometer selalu minimal berada pada angka 125 km/jam. Itu sudah
termasuk lambat. Di sini? Oh, arus
lalu lintas kita sangat lelet!
Baiklah, tidak mudah merealisasikan ide ini.
Tetapi, tidak mudah bukan berarti tak bisa. Lagipula, kita memang mesti berubah
karena dari tahun ke tahun, kemacetan semakin mengepung. Maka itu, kita harus
berani masuk ke perangkap yang tidak mudah ini, lalu membuatnya menjadi sebuah
kemudahan! Hasilnya nanti, kemacetan terurai dan korupsi jalanan pun berakhir.
Semoga parkir online bisa
dipertimbangkan!
Pemerhati Danau Toba
dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan serta Konsultan Bahasa di Prosus
Inten Medan
0 comments:
Post a Comment