
Ya,
betul, abad ini adalah era adab palsu. Tidak lagi hanya sembako, ijazah, tetapi
juga martabat, bahkan adab itu sendiri sudah melulu dipalsukan. Manusia
dipalsukan. Emosinya pun dipalsukan melalui media palsu. Namanya media maya.
Tetapi, ini tidak lagi sekadar maya. Bagi kita, justru yang maya ini yang
mendekati realitas. Sebaliknya, realitas menjadi sesuatu yang maya. Buktinya,
kita lebih acap mengerumuni dunia maya.
Saling Labrak
Segala praktik dan turunan kehidupan sudah melalui
dunia maya, termasuk perkelahian. Kita tentu masih ingat SBY geram pada
pemerintahan sekarang dari dunia maya. Mengapa dari dunia maya? Sebab, SBY (juga
kita) sudah menganggap bahwa sekarang ini eranya dunia maya. Dunia yang tak
asli. Tetapi, sekali lagi, ini bukan sekadar tidak asli. Buktinya, kita sudah
berkerumun di sana. Ada yang mengelu-elukan, ada yang mengeluhkan SBY, misalnya.
Apa SBY marah? Tentu saja tidak karena ini dunia maya. Dunia yang tak nyata.
Dunia palsu.
Yang lebih heboh, menteri kita baru-baru ini dan
hingga kini masih bising. Mereka recok dan saling mencereweti di dunia maya,
dunia yang palsu. Ada yang bikin status meledek, lalu besoknya dibalas lagi
dengan ledekan. Baik saya angkat perkelahian yang maya itu di sini. Ini hanya
contoh dari bergelimang perkelahian maya lainnya.
Menteri Rizal Ramli mendadak mengunggah meme foto Sudirman Said di Twitter.
Tulisan pada meme itu begini: walah
walah, kok sibuk analisa kelakuan sendiri, lucu deh. Siapa pun tahu, meski
ini maya, bahwa meme ini adalah
balasan atas serangan maya dari Sudirman Said sebelumnya di mana Sudirman
pernah berkata, “Yang pura-pura berjuang untuk rakyat, yang menipu, yang suka
mengklaim paling tahu, yang mau coba menggnati investor Masela, berhentilah membohongi
rakyat karena suatu saat akan terbongkar niat busukmu.”
Perkelahian ini bukan yang pertama. Ini sudah
berulang kali. Dan, perkelahian ini pun, ironisnya, melahirkan perkelahian baru
di dunia yang tak asli, dunia maya. Semua bebas bergerak menyerang seakan tak
ada aturan yang melekat. Di sana, benar-benar tidak ada lagi etika. Sebab,
bagaimana mau beretika, karena, etika sejatinya ada pada taraf hidup yang
nyata, bukan maya. Maka, semakin bisinglah dunia maya kita. Ada yang pro ini,
ada yang pro itu. Semua saling labrak.
Entahlah bagi Anda ini sesuatu yang masuk akal dan
esensial, bukan sensasional. Tetapi bagi saya, ini sebuah penandasan betapa
manusia sudah semakin mendoyani yang tak asli. Manusia semakin mengasingkan
diri dari keaslian. Mereka mengutarakan cinta, mengutarakan benci, mengutarakan
dukungan, mengutarakan ketidaksetujuan, sudah melulu malalui dunia maya.
Manusia tak mau lagi berjumpa dengan manusia. Sudah tidak ada lagi pertemuan
antarwajah. Tidak ada lagi sentuhan. Ciuman, pelukan, jabatan, tertawa, senyum,
kesal, dan segala ekspresi hidup sudah diwakilkan melalui emoticon.
Jika saja memungut petuah yang kini menjadi serapah
dari Emmanuel
Levinas (1906-1995), nyatalah bahwa kita sudah benar-benar tidak manusia lagi.
Kita sudah manusia yang memalsukan diri. Levinas pernah mendengungkan bahwa wajah
adalah syarat utama perjumpaan. Tanpa wajah, yang tercipta tentu saja bukan
pertemuan. Dan, tanpa pertemuan, manusia adalah keheningan. Para filsuf
megatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Tetapi, kita kini sudah mendadak
antisosial, bahkan antimanusia.
Kita
sudah lebih memercayai mesin, berita burung, hoax, mitos. Ilmiah dan segala tetek bengek kepercayaan sudah
usang. Makanya itulah, seperti kata Bre Redan, ketika di bandara atau di hotel,
kita akan wajib disensor. Alat sensor itu mesin. Tidak ada sentuhan di sana.
Percakapan pun pun kering dan hanya basa-basi. Padahal, jika manusia bersosial
dan menyukai perjumpaan, mestinya kita bisa membaca gestur dan mimik. Apakah
kita tulus atau tidak, apakah kita teroris atau orang religius.
Tetapi,
konon, manusia sudah palsu. Tatapan bisa saja tulus, tetapi hatinya sudah
buruk. Pakaian kita bisa sopan, tetapi lakunya biadab. Pakaian sudah tak lagi
menjadi pesan sebagaimana diutarakan Nordholt.
Justru, pakaian itu menjadi tipuan dan alat untuk memalsukan diri, menyembunyikan
tubuh dari realitas. Dan, belakangan, pakaian sudah usang sehingga kita sudah
mulai membencinya.
Atas nama moral, lihatlah layar televisi kita yang
acap diblur. Padahal, jika berkaca pada sejarah yang menggulung dan membangun
peradaban, kita tentu tak asing dengan pakaian yang apa adanya dan yang jujur
dari para nenek moyang. Tak ada sensor di sana. Dan, sama sekali mereka tidak
otomatis menjadi tak bermoral hanya karena pakaian yang “jujur” itu. Justru
kini, ketika kita semakin menutupi diri, orang lain semakin suka untuk
membongkarnya.
Digerakkan
oleh Tombol
Ya,
hidup kita sudah serba palsu. Kita ini orang-orang kuburan yang mengubur diri,
seperti yang ditengarai Sitor Situmorang. Kita hidup di rumah yang mewah,
tetapi alas rumah itu adalah bekas pemakaman. Kita memakamakan diri di rumah. Kita
pun menjelma hantu. Kita menjadi hantu bagi orang lain. Tiba-tiba muncul,
tiba-tiba hilang. Tanpa pesan.
Kita
juga manusia-manusia kotoran. Kita hidup di atas kotoran (septi tank) kita sendiri. Inilah maksudnya bahwa kita ini hanyalah manusia-manusia
tinja, yang baunya menyengat, tetapi kita merasa biasa-biasa saja, atau malah
menyembunyikannya dengan aroma parfum yang sama sekali tidak asli aroma tubuh
kita. Kita menduplikasi dan menggantikannya dengan aroma-aroma lain untuk
menghilangkan aroma kita yang kebetulan terlanjur bau. Kita bersembunyi di
balik harumnya tubuh agama.
Simaklah,
betapa kita sudah memalsukan diri kita. Kita semakin menjauhi dan mengasingkan eksistensi
kita. Saksikanlah, rumah kita sudah melulu berpagar. Pagar ini sebagai simbol
ketidakpercayaan. Pagar ini sebagai pesan bahwa sekitar adalah maling. Pagar
ini juga membahasakan bahwa kita menutup diri dari orang lain. Karena pagar
itu, sapaan dan ketukan pada pintu tidak lagi ada. Bahasa sapaan dan ketukan
itu sudah digantikan dengan mesin. Namanya bel.
Ya,
kita sudah benar-benar mengasingkan diri dari orang lain. Rasa curiga lebih
dominan dan determinan daripada rasa percaya. Jika bagi Levinas hidup bersama
adalah hidup yang terus berdenyut dengan pertemuan antarwajah, bagi kita, hidup
bersama adalah hidup untuk saling mengasingkan diri. Atau, jika patokan hidup
dilihat dari terminologi Levinas, sesungguhnya kita ini sudah tidak hidup lagi.
Kita ini sudah mekanis ibarat robot.
Kita
ini hanyalah manusia-manusia palsu mekanis yang digerakkan oleh tombol-tombol.
Perkelahian-perkelahian kita pun perkelahian palsu. Kita seakan mengagungkan
manusia, tetapi sebenarnya kita sedang mencerabut akar kemanusian kita. Inilah
era digital, era dunia maya. Era ini menjadi titik di mana realitas
disingkirkan dan era maya digayuti. Buktinya, kita tiba-tiba berkelahi.
Padahal, kenal saja pun belum. Bagaimana kita berkelahi kalau belum kenal,
kecuali kalau kita bukan manusia palsu?
Mari saya simpulkan
bahwa hidup kita ini panggung sandiwara, panggung manusia-manusia palsu. Jika putih terlihat kelabu. Jika kelabu terlihat hitam. Penuh
pura-pura. Oh, semoga tulisan ini bukan palsu!
Pegiat Literasi,
Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus
Inten Medan
0 comments:
Post a Comment