Tuesday, 22 March 2016

Manusia-Manusia Palsu

Riduan Situmorang--Abad ini adalah era adab palsu. Cerpenis Dewachan pernah merumuskannya dengan  mengatakan bahwa kota ini kota palsu. Dunia hipokrit yang seluruhnya belantara amazon. Banyak tangis dalam senyum. Banyak benci, namun yang tampak adalah cinta. Banyak cinta, namun yang tampak ada benci. Jika putih terlihat kelabu. Jika kelabu terlihat hitam. Ini kota setan. Debunya masih lebih sedikit dibandingkan dosa. Kota ini penuh lara. Penuh pura-pura.
            Ya, betul, abad ini adalah era adab palsu. Tidak lagi hanya sembako, ijazah, tetapi juga martabat, bahkan adab itu sendiri sudah melulu dipalsukan. Manusia dipalsukan. Emosinya pun dipalsukan melalui media palsu. Namanya media maya. Tetapi, ini tidak lagi sekadar maya. Bagi kita, justru yang maya ini yang mendekati realitas. Sebaliknya, realitas menjadi sesuatu yang maya. Buktinya, kita lebih acap mengerumuni dunia maya.
Saling Labrak
Segala praktik dan turunan kehidupan sudah melalui dunia maya, termasuk perkelahian. Kita tentu masih ingat SBY geram pada pemerintahan sekarang dari dunia maya. Mengapa dari dunia maya? Sebab, SBY (juga kita) sudah menganggap bahwa sekarang ini eranya dunia maya. Dunia yang tak asli. Tetapi, sekali lagi, ini bukan sekadar tidak asli. Buktinya, kita sudah berkerumun di sana. Ada yang mengelu-elukan, ada yang mengeluhkan SBY, misalnya. Apa SBY marah? Tentu saja tidak karena ini dunia maya. Dunia yang tak nyata. Dunia palsu.
Yang lebih heboh, menteri kita baru-baru ini dan hingga kini masih bising. Mereka recok dan saling mencereweti di dunia maya, dunia yang palsu. Ada yang bikin status meledek, lalu besoknya dibalas lagi dengan ledekan. Baik saya angkat perkelahian yang maya itu di sini. Ini hanya contoh dari bergelimang perkelahian maya lainnya.
Menteri Rizal Ramli mendadak mengunggah meme foto Sudirman Said di Twitter. Tulisan pada meme itu begini: walah walah, kok sibuk analisa kelakuan sendiri, lucu deh. Siapa pun tahu, meski ini maya, bahwa meme ini adalah balasan atas serangan maya dari Sudirman Said sebelumnya di mana Sudirman pernah berkata, “Yang pura-pura berjuang untuk rakyat, yang menipu, yang suka mengklaim paling tahu, yang mau coba menggnati investor Masela, berhentilah membohongi rakyat karena suatu saat akan terbongkar niat busukmu.”
Perkelahian ini bukan yang pertama. Ini sudah berulang kali. Dan, perkelahian ini pun, ironisnya, melahirkan perkelahian baru di dunia yang tak asli, dunia maya. Semua bebas bergerak menyerang seakan tak ada aturan yang melekat. Di sana, benar-benar tidak ada lagi etika. Sebab, bagaimana mau beretika, karena, etika sejatinya ada pada taraf hidup yang nyata, bukan maya. Maka, semakin bisinglah dunia maya kita. Ada yang pro ini, ada yang pro itu. Semua saling labrak.
Entahlah bagi Anda ini sesuatu yang masuk akal dan esensial, bukan sensasional. Tetapi bagi saya, ini sebuah penandasan betapa manusia sudah semakin mendoyani yang tak asli. Manusia semakin mengasingkan diri dari keaslian. Mereka mengutarakan cinta, mengutarakan benci, mengutarakan dukungan, mengutarakan ketidaksetujuan, sudah melulu malalui dunia maya. Manusia tak mau lagi berjumpa dengan manusia. Sudah tidak ada lagi pertemuan antarwajah. Tidak ada lagi sentuhan. Ciuman, pelukan, jabatan, tertawa, senyum, kesal, dan segala ekspresi hidup sudah diwakilkan melalui emoticon.
Jika saja memungut petuah yang kini menjadi serapah dari Emmanuel Levinas (1906-1995), nyatalah bahwa kita sudah benar-benar tidak manusia lagi. Kita sudah manusia yang memalsukan diri. Levinas pernah mendengungkan bahwa wajah adalah syarat utama perjumpaan. Tanpa wajah, yang tercipta tentu saja bukan pertemuan. Dan, tanpa pertemuan, manusia adalah keheningan. Para filsuf megatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Tetapi, kita kini sudah mendadak antisosial, bahkan antimanusia.
Kita sudah lebih memercayai mesin, berita burung, hoax, mitos. Ilmiah dan segala tetek bengek kepercayaan sudah usang. Makanya itulah, seperti kata Bre Redan, ketika di bandara atau di hotel, kita akan wajib disensor. Alat sensor itu mesin. Tidak ada sentuhan di sana. Percakapan pun pun kering dan hanya basa-basi. Padahal, jika manusia bersosial dan menyukai perjumpaan, mestinya kita bisa membaca gestur dan mimik. Apakah kita tulus atau tidak, apakah kita teroris atau orang religius.
Tetapi, konon, manusia sudah palsu. Tatapan bisa saja tulus, tetapi hatinya sudah buruk. Pakaian kita bisa sopan, tetapi lakunya biadab. Pakaian sudah tak lagi menjadi pesan sebagaimana diutarakan Nordholt. Justru, pakaian itu menjadi tipuan dan alat untuk memalsukan diri, menyembunyikan tubuh dari realitas. Dan, belakangan, pakaian sudah usang sehingga kita sudah mulai membencinya.
Atas nama moral, lihatlah layar televisi kita yang acap diblur. Padahal, jika berkaca pada sejarah yang menggulung dan membangun peradaban, kita tentu tak asing dengan pakaian yang apa adanya dan yang jujur dari para nenek moyang. Tak ada sensor di sana. Dan, sama sekali mereka tidak otomatis menjadi tak bermoral hanya karena pakaian yang “jujur” itu. Justru kini, ketika kita semakin menutupi diri, orang lain semakin suka untuk membongkarnya.
Digerakkan oleh Tombol
Ya, hidup kita sudah serba palsu. Kita ini orang-orang kuburan yang mengubur diri, seperti yang ditengarai Sitor Situmorang. Kita hidup di rumah yang mewah, tetapi alas rumah itu adalah bekas pemakaman. Kita memakamakan diri di rumah. Kita pun menjelma hantu. Kita menjadi hantu bagi orang lain. Tiba-tiba muncul, tiba-tiba hilang. Tanpa pesan.
Kita juga manusia-manusia kotoran. Kita hidup di atas kotoran (septi tank) kita sendiri. Inilah maksudnya bahwa kita ini hanyalah manusia-manusia tinja, yang baunya menyengat, tetapi kita merasa biasa-biasa saja, atau malah menyembunyikannya dengan aroma parfum yang sama sekali tidak asli aroma tubuh kita. Kita menduplikasi dan menggantikannya dengan aroma-aroma lain untuk menghilangkan aroma kita yang kebetulan terlanjur bau. Kita bersembunyi di balik harumnya tubuh agama.
Simaklah, betapa kita sudah memalsukan diri kita. Kita semakin menjauhi dan mengasingkan eksistensi kita. Saksikanlah, rumah kita sudah melulu berpagar. Pagar ini sebagai simbol ketidakpercayaan. Pagar ini sebagai pesan bahwa sekitar adalah maling. Pagar ini juga membahasakan bahwa kita menutup diri dari orang lain. Karena pagar itu, sapaan dan ketukan pada pintu tidak lagi ada. Bahasa sapaan dan ketukan itu sudah digantikan dengan mesin. Namanya bel.
Ya, kita sudah benar-benar mengasingkan diri dari orang lain. Rasa curiga lebih dominan dan determinan daripada rasa percaya. Jika bagi Levinas hidup bersama adalah hidup yang terus berdenyut dengan pertemuan antarwajah, bagi kita, hidup bersama adalah hidup untuk saling mengasingkan diri. Atau, jika patokan hidup dilihat dari terminologi Levinas, sesungguhnya kita ini sudah tidak hidup lagi. Kita ini sudah mekanis ibarat robot.
Kita ini hanyalah manusia-manusia palsu mekanis yang digerakkan oleh tombol-tombol. Perkelahian-perkelahian kita pun perkelahian palsu. Kita seakan mengagungkan manusia, tetapi sebenarnya kita sedang mencerabut akar kemanusian kita. Inilah era digital, era dunia maya. Era ini menjadi titik di mana realitas disingkirkan dan era maya digayuti. Buktinya, kita tiba-tiba berkelahi. Padahal, kenal saja pun belum. Bagaimana kita berkelahi kalau belum kenal, kecuali kalau kita bukan manusia palsu?
Mari saya simpulkan bahwa hidup kita ini panggung sandiwara, panggung manusia-manusia palsu. Jika putih terlihat kelabu. Jika kelabu terlihat hitam. Penuh pura-pura. Oh, semoga tulisan ini bukan palsu!

Pegiat Literasi, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan

0 comments: