Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung
menurun karena faktor krisis global. Pada 2010 pertumbuhan ekonomi
mencapai 6,2% dan pada 2011 mencapai 6,49%.
Namun, selama empat tahun terakhir pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan, termasuk target pertumbuhan pada 2016 yang dipatok 5,3%. Pertumbuhan yang dicapai ini masih cukup tinggi, mengingat kondisi perekonomian sedang diselimuti perlambatan ekonomi global. Seiring dengan pemulihan tersebut, perekonomian domestik masih memiliki potensi untuk tumbuh dan memiliki ketahanan terhadap ancaman krisis.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan kehidupan rakyat masih diselimuti kemiskinan, tentu saja pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat diperlukan. Dalam lima tahun terakhir pencapaian pemerintah dalam mengatasi kemiskinan perlahan terus membaik. Artinya, jumlah rakyat miskin semakin berkurang, namun ketimpangan ekonomi justru meningkat.
Berturut turut sejak 2010 hingga 2015 persentase angka kemiskinan adalah 13,3%, 12,5%, 11,7%, 11,5%, 11%, dan September 2015 sekitar 11,31%. Secara absolut jumlah penduduk miskin selama 2010-2015 dari 31 juta menurun hingga 28,51 juta pada September 2015. Sedangkan koefisien gini/rasio gini dalam lima tahun sejak 2010 sampai 2015 adalah 0,38; 0,41; 0,41; 0,41; 0,41; dan 0,40.
Data tersebut memperlihatkan bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan begitu, tidak sulit menggambarkan dengan jelas siapa yang sesungguhnya menikmati pertumbuhan ekonomi karena justru rata-rata gini rasio menunjukkan angka peningkatan.
Pencapaian pendapatan domestik bruto (PDB) yang tinggi ternyata masih tak mampu menangkap dan menggambarkan berbagai fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Tak heran jika saat sebagian kalangan bangga dengan prestasi pertumbuhan PDB yang kita capai, mayoritas rakyat justru kurang merasakan ada perbaikan.
Pada satu sisi, pencapaian pertumbuhan mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbesar jumlah kelas menengah. Namun, pada sisi lain juga mempelebar ketimpangan ekonomi. Menurut Bank Dunia, manfaat dari pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sementara sekitar 80% penduduk– lebih dari 205 juta orang– merasa tertinggal.
Memperbaiki ketimpangan ekonomi tidak bisa dikesampingkan bersamaan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menekan ketimpangan yang semakin melebar. Survei persepsi masyarakat pada 2014 yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menilai distribusi pendapatan di Indonesia ”sangat tidak setara” atau ”tidak setara sama sekali”.
Di samping itu, 47% responden juga menganggap isu ketimpangan kesejahteraan ini sangat penting untuk ditangani pemerintah dan 41% menganggap cukup penting. Ketika responden diminta memilih antara mendorong pertumbuhan ekonomi atau ketimpangan, lebih 50% bahkan menjawab memilih mengurangi ketimpangan.
Ketimpangan ekonomi harus menjadi agenda perekonomian seiring upaya pemerintah memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Pencapaian pertumbuhan yang tinggi tanpa dibarengi kualitas distribusi pendapatan justru dapat menimbulkan perlambatan pertumbuhan dan peningkatan risiko konflik sosial. Berdasarkan riset yang dilakukan Bank Dunia, saat total pendapatan kelompok 20% orang kaya naik 5%, pertumbuhan ekonomi malah melambat 0,4%.
Sebaliknya, ketika pendapatan kelompok 20% orang miskin naik 5%, ekonomi tumbuh 1,9%. Sedangkan negara dengan tingkat ketimpangan kesejahteraan yang tinggi berpotensi mengalami konflik 1,6 kali lebih besar. Hal itu karena ada perbedaan pendapatan dan pelayanan antara satu daerah dan daerah lain.
Dalam jangka panjang kondisi tersebut juga akan menggerus perekonomian. Ketimpangan ekonomi juga dialami banyak negara termasuk negara maju. Namun, ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung melaju lebih cepat. Hal ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam upaya memperbaiki distribusi pendapatan antarpenduduk. Ketimpangan ekonomi yang terjadi dalam perekonomian tidak dapat dilepaskan dari kondisi struktural ekonomi yang masih timpang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak menciptakan peluang, namun di sisi lain peluang yang tumbuh lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki peluang secara sosial seperti memiliki kedudukan atau pendidikan yang lebih baik. Akses penduduk yang memiliki pendidikan dan kedudukan rendah tidak sebesar mereka yang memiliki modal sosial lebih tinggi, baik strata sosial, pendidikan, dan kedudukan sosial.
Kondisi awal yang timpang ini menentukan kurangnya peluang dan perspektif masa depan. Hal yang sama juga dialami mereka yang memiliki ketimpangan pendidikan yang berimbas pada pasar tenaga kerja. Mereka yang memiliki strata pendidikan rendah cenderung memiliki produktivitas rendah sehingga mereka menjadi terperangkap dalam upah dan pendapatan yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi juga memberikan peluang lebih banyak bagi para pemilik modal untuk mengembangkan aset seperti tanah, properti, saham, dan produk keuangan lain. Dengan demikian, mereka memperoleh manfaat lebih banyak dalam menikmati pertumbuhan ekonomi daripada kelompok lemah atau miskin. Kelompok miskin juga rentan terhadap kondisi ekonomi atau mudah terkena dampak krisis. Stabilitas moneter yang goyah seperti inflasi yang tinggi dan gejolak nilai tukar sangat memengaruhi kondisi ekonomi kelompok miskin.
Untuk mencegah semakin melebarnya ketimpangan kesejahteraan, pemerintah memiliki sejumlah instrumen baik moneter maupun fiskal. Dari sisi moneter, pemerintah harus menciptakan stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. Gejolak ekonomi yang mendorong kenaikan inflasi dan gejolak nilai tukar sangat dirasakan dampaknya bagi kelompok miskin. Bila inflasi naik dan nilai tukar rupiah jatuh, mereka yang sebelumnya masuk kelompok hampir miskin langsung masuk dalam kategori miskin.
Akses kelompok miskin terhadap lembaga keuangan selama ini juga rendah, di samping akses terhadap pembiayaan juga kurang mendukung akibat suku bunga yang tinggi. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dimaksudkan untuk mendorong akses usaha kecil bahkan masih memiliki suku bunga yang masih tinggi.
Untuk itu, stabilitas moneter sangat diperlukan dalam menjaga keberlanjutan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan. Di sisi lain, pemerintah harus memperhatikan aspek fiskal yang diarahkan untuk membantu mengurangi kemiskinan. Jika pencapaian prestasi pembangunan yang tinggi lebih banyak memberikan efek positif bagi pertumbuhan kelas menengah, tetapi hanya sedikit mengurangi kemiskinan, itu menunjukkan pengelolaan anggaran belum efektif.
Fungsi anggaran negara di antaranya untuk menjaga distribusi pendapatan melalui alokasi anggaran untuk kelompok kurang mampu. Bila kelompok kurang mampu selalu memperoleh anggaran, mengapa ketimpangan selalu naik dan bukan menurun? Anggaran untuk pengentasan kemiskinan bahkan cenderung naik setiap tahun. Demikian pula dengan dana transfer daerah yang terus meningkat.
Padahal, dana transfer daerah inilah yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan daerah, mengurangi ketimpangan, kesenjangan, serta kemiskinan. Dengan dasar itulah, pemerintah harus memperbaiki desentralisasi fiskal sehingga memberikan efek yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan keadilan ekonomi sehingga tercipta pemerataan pembangunan.
Namun, selama empat tahun terakhir pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan, termasuk target pertumbuhan pada 2016 yang dipatok 5,3%. Pertumbuhan yang dicapai ini masih cukup tinggi, mengingat kondisi perekonomian sedang diselimuti perlambatan ekonomi global. Seiring dengan pemulihan tersebut, perekonomian domestik masih memiliki potensi untuk tumbuh dan memiliki ketahanan terhadap ancaman krisis.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan kehidupan rakyat masih diselimuti kemiskinan, tentu saja pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat diperlukan. Dalam lima tahun terakhir pencapaian pemerintah dalam mengatasi kemiskinan perlahan terus membaik. Artinya, jumlah rakyat miskin semakin berkurang, namun ketimpangan ekonomi justru meningkat.
Berturut turut sejak 2010 hingga 2015 persentase angka kemiskinan adalah 13,3%, 12,5%, 11,7%, 11,5%, 11%, dan September 2015 sekitar 11,31%. Secara absolut jumlah penduduk miskin selama 2010-2015 dari 31 juta menurun hingga 28,51 juta pada September 2015. Sedangkan koefisien gini/rasio gini dalam lima tahun sejak 2010 sampai 2015 adalah 0,38; 0,41; 0,41; 0,41; 0,41; dan 0,40.
Data tersebut memperlihatkan bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan begitu, tidak sulit menggambarkan dengan jelas siapa yang sesungguhnya menikmati pertumbuhan ekonomi karena justru rata-rata gini rasio menunjukkan angka peningkatan.
Pencapaian pendapatan domestik bruto (PDB) yang tinggi ternyata masih tak mampu menangkap dan menggambarkan berbagai fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Tak heran jika saat sebagian kalangan bangga dengan prestasi pertumbuhan PDB yang kita capai, mayoritas rakyat justru kurang merasakan ada perbaikan.
Pada satu sisi, pencapaian pertumbuhan mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbesar jumlah kelas menengah. Namun, pada sisi lain juga mempelebar ketimpangan ekonomi. Menurut Bank Dunia, manfaat dari pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sementara sekitar 80% penduduk– lebih dari 205 juta orang– merasa tertinggal.
Memperbaiki ketimpangan ekonomi tidak bisa dikesampingkan bersamaan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menekan ketimpangan yang semakin melebar. Survei persepsi masyarakat pada 2014 yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menilai distribusi pendapatan di Indonesia ”sangat tidak setara” atau ”tidak setara sama sekali”.
Di samping itu, 47% responden juga menganggap isu ketimpangan kesejahteraan ini sangat penting untuk ditangani pemerintah dan 41% menganggap cukup penting. Ketika responden diminta memilih antara mendorong pertumbuhan ekonomi atau ketimpangan, lebih 50% bahkan menjawab memilih mengurangi ketimpangan.
Ketimpangan ekonomi harus menjadi agenda perekonomian seiring upaya pemerintah memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Pencapaian pertumbuhan yang tinggi tanpa dibarengi kualitas distribusi pendapatan justru dapat menimbulkan perlambatan pertumbuhan dan peningkatan risiko konflik sosial. Berdasarkan riset yang dilakukan Bank Dunia, saat total pendapatan kelompok 20% orang kaya naik 5%, pertumbuhan ekonomi malah melambat 0,4%.
Sebaliknya, ketika pendapatan kelompok 20% orang miskin naik 5%, ekonomi tumbuh 1,9%. Sedangkan negara dengan tingkat ketimpangan kesejahteraan yang tinggi berpotensi mengalami konflik 1,6 kali lebih besar. Hal itu karena ada perbedaan pendapatan dan pelayanan antara satu daerah dan daerah lain.
Dalam jangka panjang kondisi tersebut juga akan menggerus perekonomian. Ketimpangan ekonomi juga dialami banyak negara termasuk negara maju. Namun, ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung melaju lebih cepat. Hal ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam upaya memperbaiki distribusi pendapatan antarpenduduk. Ketimpangan ekonomi yang terjadi dalam perekonomian tidak dapat dilepaskan dari kondisi struktural ekonomi yang masih timpang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak menciptakan peluang, namun di sisi lain peluang yang tumbuh lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki peluang secara sosial seperti memiliki kedudukan atau pendidikan yang lebih baik. Akses penduduk yang memiliki pendidikan dan kedudukan rendah tidak sebesar mereka yang memiliki modal sosial lebih tinggi, baik strata sosial, pendidikan, dan kedudukan sosial.
Kondisi awal yang timpang ini menentukan kurangnya peluang dan perspektif masa depan. Hal yang sama juga dialami mereka yang memiliki ketimpangan pendidikan yang berimbas pada pasar tenaga kerja. Mereka yang memiliki strata pendidikan rendah cenderung memiliki produktivitas rendah sehingga mereka menjadi terperangkap dalam upah dan pendapatan yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi juga memberikan peluang lebih banyak bagi para pemilik modal untuk mengembangkan aset seperti tanah, properti, saham, dan produk keuangan lain. Dengan demikian, mereka memperoleh manfaat lebih banyak dalam menikmati pertumbuhan ekonomi daripada kelompok lemah atau miskin. Kelompok miskin juga rentan terhadap kondisi ekonomi atau mudah terkena dampak krisis. Stabilitas moneter yang goyah seperti inflasi yang tinggi dan gejolak nilai tukar sangat memengaruhi kondisi ekonomi kelompok miskin.
Untuk mencegah semakin melebarnya ketimpangan kesejahteraan, pemerintah memiliki sejumlah instrumen baik moneter maupun fiskal. Dari sisi moneter, pemerintah harus menciptakan stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. Gejolak ekonomi yang mendorong kenaikan inflasi dan gejolak nilai tukar sangat dirasakan dampaknya bagi kelompok miskin. Bila inflasi naik dan nilai tukar rupiah jatuh, mereka yang sebelumnya masuk kelompok hampir miskin langsung masuk dalam kategori miskin.
Akses kelompok miskin terhadap lembaga keuangan selama ini juga rendah, di samping akses terhadap pembiayaan juga kurang mendukung akibat suku bunga yang tinggi. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dimaksudkan untuk mendorong akses usaha kecil bahkan masih memiliki suku bunga yang masih tinggi.
Untuk itu, stabilitas moneter sangat diperlukan dalam menjaga keberlanjutan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan. Di sisi lain, pemerintah harus memperhatikan aspek fiskal yang diarahkan untuk membantu mengurangi kemiskinan. Jika pencapaian prestasi pembangunan yang tinggi lebih banyak memberikan efek positif bagi pertumbuhan kelas menengah, tetapi hanya sedikit mengurangi kemiskinan, itu menunjukkan pengelolaan anggaran belum efektif.
Fungsi anggaran negara di antaranya untuk menjaga distribusi pendapatan melalui alokasi anggaran untuk kelompok kurang mampu. Bila kelompok kurang mampu selalu memperoleh anggaran, mengapa ketimpangan selalu naik dan bukan menurun? Anggaran untuk pengentasan kemiskinan bahkan cenderung naik setiap tahun. Demikian pula dengan dana transfer daerah yang terus meningkat.
Padahal, dana transfer daerah inilah yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan daerah, mengurangi ketimpangan, kesenjangan, serta kemiskinan. Dengan dasar itulah, pemerintah harus memperbaiki desentralisasi fiskal sehingga memberikan efek yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan keadilan ekonomi sehingga tercipta pemerataan pembangunan.
AUNUR ROFIQ
Koran Sindo, 02/03/2016
Praktisi Bisnis/Ketua Dewan Pembina Alumni IPB
Praktisi Bisnis/Ketua Dewan Pembina Alumni IPB
0 comments:
Post a Comment