Monday, 7 March 2016

KTT OKI dan Teladan Rekonstruksi Kakbah

Hasil gambar untuk ka'bahEkmeleddin Ihsanoglu, Sekjen Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) 2004- 2014 asal Turki, pernah menyelenggarakan sidang khusus di Mekkah tahun 2005 untuk membicarakan eksistensi dan masa depan OKI.
Dalam sidang yang dihadiri para intelektual Islam dari negara-negara anggota OKI tersebut muncul pertanyaan: apakah kehadiran OKI masih penting, relevan, atau tidak? Jika tidak, kenapa OKI tidak dibubarkan saja? Jawabannya ternyata cukup menggembirakan: OKI masih tetap penting dan perlu dipertahankan. Namun agenda-agenda OKI harus inovatif dan relevan dengan perkembangan zaman!

Lantas, apa agenda inovatif OKI yang relevan dengan perkembangan zaman? Apakah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan mazhab? Mohamad Husain Haekal, seorang cendekiawan Mesir, pernah menyatakan secara satiris bagaimana momen-momen persatuan negara Islam terjadi. Pertama ketika mendengarkan lagulagu Ummi Kalsum, penyanyi legendaris Mesir. Kedua ketika membicarakan pembebasan Palestina dari pendudukan Israel.

Saat Haekal menyatakan hal itu, tahun 1960-an, kedua asumsi itu mungkin benar (meski tak semua negara Islam, khususnya yang non-Arab, menyukai lagulagu Ummi Kalsum). Tapi sekarang? Isu pembebasan Palestina pun sudah ”kendur”—tidak lagi menjadi alat pemersatu negaranegara Islam. Bahkan di lingkup internal Palestina sendiri terjadi perpecahan antara faksi Fatah dan Hamas. Kedua faksi ini sering bertengkar, bahkan pernah berperang! Saat ini, kondisi persatuan anggota OKI sedang berada di titik nadir.

Perang antara Iran yang mewakili kelompok Syiah dan Arab Saudi yang mewakili kelompok Sunni makin merebak di mana-mana. Krisis Yaman, misalnya, kini menjadi ajang peperangan proxy antara Iran dan Saudi. Krisis Suriah yang semula bersifat internal kini mulai berubah menjadi adu kuat antara kelompok Syiah dan Sunni. Bukan tidak mungkin, perang proxy antara Iran dan Saudi ini akan berkembang lagi di Libya, Irak, dan negaranegara Arab lain yang secara politik dan ekonomi rapuh.

Indonesia boleh bangga ketika diminta menjadi tuan rumah KTT OKI 2016. Ini sebuah indikasi bahwa Indonesia yang ”bukan negara Islam” sudah dianggap sebagai ”negara Islam” oleh negara-negara Islam yang mayoritas berasal dari Timur Tengah. Pengakuan ini penting karena Indonesia yang mempunyai penduduk beragama Islam terbanyak di dunia selama ini belum menjadi ”penentu” kebijakan- kebijakan OKI karena dianggap bukan sepenuhnya sebagainegara Islam. Padahaldari sisi populasi dan politik internasional, keislaman Indonesia tidak diragukan lagi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, dalam pelbagai pertemuan internasional masih tetap lantang memperjuangkan pembebasan Palestina. Bahkan sejak kampanye Pilpres 2014 lalu, Jokowi sudah menyatakan dukungan terhadap pembebasan Palestina merupakan agenda penting dalam politik luar negerinya. Persoalannya, mungkinkah negara-negara Islam bisa dipersatukan? Inilah yang sulit dipecahkan.

Sejak Kesultanan Turki Osmani hancur di paruh pertama abad ke-20, muncul negaranegara Islam di wilayah bekas Turki Osmani tersebut. Kita tahu dalang yang memecah belah Turki Osmani tersebut, terutama setelah Perang Dunia Pertama dan Kedua, adalah Inggris dan Amerika. Kedua negara itulah sesungguhnya yang menjadi kreator terbentuknya kekuatan- kekuatan politik di Timur Tengah dengan mendirikan negara-negara Arab (yang mayoritas penduduknya muslim).

Apalagi setelah diketahui negara-negara Islam di Timur Tengah mempunyai cadangan minyak yang sangat besar, campur tangan Inggris dan Amerika terhadap permasalahan politik di Timur Tengah menjadi semakin kuat. Dukungan Amerika dan Inggris terhadap Israel, misalnya, merupakan bentuk watchdog terhadap gerak-gerik politik negara-negara Islam di Timur Tengah tersebut. Israel sengaja didirikan Inggris dan Amerika untuk menjadi ”penyeimbang” sekaligus watchdog politik Inggris dan Amerika di Timur Tengah itu tadi.

Kondisi negara-negara Islam di Timur Tengah sekarang ini makin runyam lagi setelah Amerika— pinjam pendapat Paul Tresno (penulis buku ISIS, 2015)—menciptakan ISIS. Kita tahu, ISIS mulai terbentuk pascakejatuhan Saddam Husein yang dihukum gantung rezim Irak boneka Amerika. Padahal, Saddam Husein sebagai pemimpin Partai Ba’ath yang sosialis dan mendamba persatuan Arab terkenal sekuler dan antimilitansi Islam. Namun George Bush berpendapat Saddam sebagai dalang di balik terorisme Al-Qaeda yang menghancurkan World Trade Center, New York (11/9/01).

Kenapa George Bush anti- Saddam? Jawabannya karena Saddam adalah tokoh sosialis Arab yang sangat mendambakan persatuan negara-negara Arab. Hal yang sama terjadi pada Muammar Khadafi. Amerika sangat membencinya karena Khadafi merupakan tokoh sosialis Arab yang terobsesi untuk mempersatukan Arab.

*** Dalam tulisan ini, saya mengidentikkan Arab dengan Islam. Meski hal itu kurang tepat, faktanya menunjukkan sebagian besar negara-negara anggota OKI adalah negara-negara Islam yang berbahasa Arab. Bagi Indonesia, kondisi tersebut memang agak unik.

Soalnya, Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya mempunyai berbagai macam bahasa lokal dan kemudian bersatu menjadi satu negara bangsa (Indonesia dengan bahasa persatuan Indonesia), sedangkan negara-negara Arab adalah negara-negara yang penduduknya berbahasa Arab (bahasa persatuan bangsa-bangsa Arab) tetapi wilayahnya terpecahpecah menjadi berbagai negara.

Dalam konteks inilah Indonesia yang ingin menjadi pemersatu negara-negara Islam (Arab) niscaya mengalami keterasingan budaya dan psikologi karena pengalaman sejarahnya sangat berbeda (bahkan bertolak-belakang) dengan negara- negara yang ingin disatukannya tersebut. Meski demikian, Indonesia tetapmasihpunyaharapan, yaitu mempersatukan anggota OKI dengan sunah Rasul. Nabi Muhammad mendapat julukan Al- Amin (sebagai orang yang dipercaya) setelah mempersatukan kabilah-kabilah waktu merekonstruksi Kakbah. Nabi Muhammad saat itu meletakkan hajar aswad di tengah kain yang ujungujungnya dipegang oleh tiap kabilah.

Setelah itu, hajar aswad tersebut diletakkan di Kakbah. Semua kabilah merasa senang karena mendapat kehormatan yang sama dalam meletakkan hajar aswad di Kakbah tersebut. Pertengkaran antarsuku atau kabilah itu pun tidak terjadi. Dalam konteks kekinian, adakah inovasi politik untuk mempersatukan ”kabilah-kabilah” dalam OKI tersebut? Setelah ”Palestina dan Umi Kalsum” tak mampu lagi mempersatukan negara-negara Arab (Islam), mungkin masih ada isu lain yang dapat mempersatukannya, yaitu masalah kemiskinan atau ekonomi.

Nabi Muhammad bersabda, kemiskinan akan menyebabkan kekufuran. Dan siapa yang menjadi penyebab kekufuran adalah terlaknat di hadapan Allah dan Rasul- Nya. Jika isu kemiskinan menjadi fokus kerja sama antaranggota OKI, niscaya persatuan negara-negara Islam bisa terwujud seperti kisah rekonstruksi Kakbah tadi. Semoga!

M Bambang Pranowo
Koran Sindo, 07/03/2016
Guru Besar UIN Ciputat, Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten 

0 comments: