Wednesday, 9 March 2016

Komunitas Pemuja Kedangkalan

Hasil gambar untuk orang sesatDunia sastra—mencakup puisi, esai, dan novel—maupun dunia film sejak lama telah dibikin dangkal oleh komunitas pembacanya atau penontonnya.
Agak cukup jelas bahwa di dalam dunia kesenian ini— mungkin juga dalam kesenian lain—kedalaman suatu karya, mutu, atau kualitas tak dianggap penting. Selama suatu karya dianggap sudah memberi hiburan pada pembaca atau penontonnya, karya itu dianggap sudah mencapai tujuan utamanya. Dan, karya itu ditempatkan di dalam alam kesadaran ideal mereka sebagai suatu pujaan.

Para penikmat dua dunia itu diam-diam lalu menjadi suatu komunitas yangbegituberkuasa dan menentukan. Mereka ini komunitas imajiner, yang dengan sendirinya tak jelas sosok pribadi dan tempat tinggalnya. Mereka yang menentukan bahwa suatu karya tak harus ”dalam”, tak harus ”serius”, dan tak harus bermutu. Komunitas itu bukan pencari kedalaman.

Dalam arti tertentu mereka juga bukan pencari ”kebenaran” . Kelihatannya, di dalam hidup ini mereka hanya memburu kenikmatan yang menghibur. Dan, sudah. Bagi mereka, hiburan hanya apa yang serba-”enteng”. Dan, apa yang ”enteng”, ”renyah”, dan tak perlu ”dikunyah” makin disukai. Kita lupa bahwa suatu karya yang ”bermutu” juga merupakan hiburan ”bermutu”. Kita belum memikirkan itu.

Kalau suatu karya bisa ”ceriwis” mengenai ihwal sepele, tetapi bisa menimbulkan tawa terpingkal-pingkal, kita merasa telah sampai pada tahapan tertinggi dalam cara kita berkebudayaan. Komunitas yang tak tampak nyata anggotaanggotanya ini mungkin menjadi sejenis ”invisible hands ” yang sangat berkuasa. Orang-orang yang biasa berpikir serius tiba-tiba menjadi tak berguna.

Suatu karya yang dilahirkan dengan idealisme, penuh kalkulasi, dan memiliki kandungan ”pendidikan”, jika tak ”menghibur”, jelas tak bakal dilirik oleh pasar yang begitu berkuasa tadi. Ungkapan ”selera pasar” merupakan gambaran situasi yang mengecewakan para sastrawan dan orang-orang film—seniman serius—yang berbicara mengenai mutu atau kualitas yang tak boleh absen dalam karya-karya mereka.

Dan, para seniman itu pun dengan penuh harga diri berkata: kita tak boleh didikte selera pasar. Ini pernyataan yang mereka ungkapkan dengan penuh kejengkelan melihat ada sementara seniman yang kelihatannya bersikap realistis: kita berkarya untuk dibaca dan pasar itulah pembaca kita. Ungkapan kemarahan terhadap selera pasar—mungkin maksudnya selera ”rendahan” itu sudah muncul kira-kira sejak 1950-an.

Sastra yang dengan ramah menjawab kebutuhan pasar itu disebut sastra picisan. Lebih khusus ”roman picisan”. Pada 1970-an ada ejekan tentang sastra ”dangdutan”. Maksudnya sastra yang patuh pada selera pasar itu. Dan, orang pun membela diri: sastra ”dangdutan” juga sastra. Dan, muncul begitu banyak karya-karya sastra yang tak perlu ”nyastra”, tak perlu tampak serius menjunjung kaidahkaidah sastra yang penuh idealisme sebagaimana dilakukan para sastrawan serius yang tibatiba menjadi kaum minoritas di dalam dunia mereka sendiri.

Sastrawan serius pun banyak yang tergiur menulis karyakarya yang digemari pasar. Sastra porno, yang juga beralih menjadi film-film porno, kelihatannya disambut dengan gegap gempita oleh pasar. Majalah-majalah berlomba untuk menjadi lebih porno dengan penuh suka cita karena ”selera pasar” telah menjadi sejenis ideologi baru yang membenarkan— bahkan menggalakkan— lahirnya sastra yang begitu ”mendebarkan” jiwa para pembaca remaja.

Bernapas dalam lumpur, sebuah cerita bersambung di suatu majalah, diproduksi menjadi film, dengan judul yang sama, dan menggemparkan dunia rohani. Para rohaniwan marah-marah dan mengutuknya. Tetapi, mungkin ada saja diam-diam juga menonton film tersebut. Pada 1970 hingga 1980-an ada perubahan dalam kecenderungan penulisan sastra.

Bangsa Indonesia tiba-tiba berubah dahsyat menjadi komunitas pemuja kesalehan ritualistik yang tampil mencolok pada berbagai simbol keagamaan yang sangat ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh modern yang gagah, ganteng, atau cantik dan mampu menampilkan sisi-sisi kehidupan yang gemerlap sekaligus saleh dipuja di dunia sastra maupun film sebagai idola publik, terutama di kalangan kawula muda.

Penulis yang turut gigih menampilkan karya porno yang mendebarkan kaum muda seperti disebut tadi bisa dengan serentak berubah menjadi penulis yang kelihatannya paling saleh di antara mereka yang saleh. Karya-karyanya sok rohaniah, tampak ”bersufi-sufi”, dan menggambarkan tokoh yang gemar berzikir dan ke mana-mana berkalung tasbih. Segala simbol suci keagamaan dieksplorasi habis-habisan untuk dijual dengan harga murah di pasaran.

Dan, kita tahu, yang disebut pasar itu komunitas pemuja kedangkalan yang hanya mengejar hiburan, tak peduli akan substansi, konten, kedalaman, dan keseriusan. Simbol suci keagamaan: masjid, mihrab, ayat, sorban, jilbab, tasbih, sajadah, sorban, bahkan Allah, dan cinta diperlakukan sebagai dagangan dunia seni, tak peduli apakah dagangan macam itu disertai kualitas. Tak ada orang yang berbicara kualitas iman di dalam karyanya.

Di sini agama tampil bagian kulit luarnya, dan tak harus ada hubungannya dengan kedalaman iman. Dalam situasi seperti ini, ada seorang penyair wanita, yang bukan bagian dari dunia santri maupun pesantren, dengan beraninya menyebut Allah ketika sedang membacakan puisi di atas panggung kesenian, sebagai sahabat. Allah itu sahabatnya. Saya risi dan malu mendengar puisinya.

Semangat memuja kedangkalan juga membuat kita tak tahu posisi kita di hadapan Allah. Kalau seorang wali besar, Jalaluddin Rumi berbuat begitu, kita mengerti dan mengaguminya. Tapi, terhadap penyair yang menyebut Allah sahabatnya tadi? Kita tak usah memberinya komentar lebih jauh. Di sini kita disuguhi tontonan seolah kebenaran dunia seni bertemu kebenaran agamais.

Seni dan agama seolah telah menemukan dirinya dalam suatu jalinan utuh, harmonis, dan mendalam, serta dihayati dengan baik oleh komunitas yang begitu berkuasa menentukan nasib dunia sastra tersebut. Sastrayangtundukpada selera pasar itu tetap sastra. Sastra dangdutan juga tetap dianggap sastra. Sastra picisan—dalam hal ini roman picisan—tetap sastra dan tetap roman.

Begitu dunia pasar berpikir. Dan, begitu pula akhirnya dunia sastra membuat penilaian atas dirinya sendiri. Kita lalu harus paham bahwa hidup hanya ditujukan pada usaha mengejar kenikmatan yang menghibur. Di dalam suatu siaran televisi yang berbicara serius mengenai sufisme pun harus ada tokoh hiburan, bintang film, yang mengendalikan acara itu.

Siaran mengenai tafsir kitab suci yang sangat serius pun tak boleh berlangsung tanpa ada ”bunga”, yaitu orang dunia hiburan, yang turut menentukan. Televisi, mungkin tanpa disadari oleh para pengelolanya, telah menjadikan agama sebagai hiburan. Inisebuahkecenderungan tentang cara berkebudayaan yang menjengkelkan, tapi kita harus tabah menghadapinya karena bukankah hidup hanya mencari hiburan? Bukankah hidup tak harus susah-susah mencari kedalaman?

Komunitas yang paling berkuasa menentukan nasib dunia sastra maupun film, tak terdiri dari mereka yang gemar mencari kedalaman. Mereka sudah merasa berbahagia menjadi komunitas pemuja kedangkalan, tanpa mengetahui sama sekali bahwa merek telah lama kandas di atas kedangkalan dan kedangkalan. 
Mohamad Sobary
Koran Sindo, 10/03/2016
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

0 comments: