Thursday, 17 March 2016

Karena Susu Setitik Baik Susu Sebelanga

Riduan Situmorang--Inilah cerita Ahok di suatu media cetak, Agustus 2014 tentang posisinya dalam penertiban Pasar Tanah Abang. Saat itu, dia masih Wakil Gubernur. “Seorang nenek jatuh ke laut dari kapal yang dijubeli penumpang. Kagak ada yang mau nolong. Tahu-tahu ada pemuda yang nyebur ke air. Dia kelihatan kaget dan panik, tapi berhasil menyelamatkan si nenek. Penumpang sorak-sorak, memuji si pemuda. Bukannya bangga, si pemuda malah marah-marah, “Tadi siapa yang mendorong saya ke laut?” Sambil terbahak, Ahok berkata, “Nah, saya seperti pemuda itu. Telanjur kecemplung di Tanah Abang.”

Begitulah Ahok. Dia ibarat setitik (susu atau nila) yang dijatuhkan ke lautan (belanga). Celakanya, orang yang menjatuhkannya menjadikan Ahok sebagai barang percontohan. Apakah menjadi susu atau nila, tetapi keduanya ditata untuk tetap dapat memberi kontribusi positif bagi mereka. Kalau susu, mereka berharap agar Ahok menjadi vitamin. Vitamin itu, misalnya, diperoleh setelah disebut sebagai king-maker atau partai pendengar suara rakyat.

Jika menjadi nila, mereka pun tak akan rugi. Sebab, atas nama demokrasi dan kesetaraan, mereka akan dicap sebagai orang yang adil. Sejarah akan kembali ditoleh. Diambillah, misalnya, fakta-fakta dari sejarawan Lance Castle. Di sana disebutkan bahwa orang Tionghoa sudah lama di Indonesia. Begini rinciannya. Pada 1673, Jakarta dihuni orang Eropa sebanyak 2.750 jiwa, Tionghoa 2.747, Mardijker 5.326; pribumi, yang terdiri atas Jawa-Sunda 6.339, Bali 981, Melayu 611, dan yang terbesar kaum budak 13.278.

“Bodoh”

Dua abad kemudian, tepatnya pada 1893, tercatat populasi orang Eropa sudah sebanyak 9.017, Tionghoa 26.5697, dan pribumi total 72.241. Orang Mardijker alias para budak Portugis yang dimerdekakan sudah dianggap tak ada dan perbudakan telah dihapuskan. Orang Arab sudah ada 318 orang. Sejarah inilah yang kemudian diterjemahkan bahwa Tionghoa adalah orang pribumi. Memberi mereka kesempatan untuk memimpin adalah sebuah simbol kesetaraan. Apabila Ahok gagal, itu bukan kegagalan partai, melainkan kegagalan Ahok. Alih-alih kegagalan partai, ini justru diskemakan sebagai niat baik dari partai untuk “memerdekakan” Tionghoa.

            Sialnya, skema ini berbelok total. Ahok memang menjadi susu, tetapi tidak menjadi vitamin bagi para penceburnya ke lautan. Betapa tidak, dalam sebuah kehebohan politik pasca-Pilres, Ahok dengan berani melepaskan baju partainya dari Gerindra. Dalam hitung-hitungan politik, tentu tindakan ini adalah sebuah kebodohan. Apalagi kata William Randolph (penguasa lahan Virginia abad ke-17), politikus adalah orang-orang yang akan melakukan apa pun untuk mempertahankan posisinya, termasuk melakukan hal-hal yang patriotik.

            Tetapi, Ahok tidak melakukan itu. Gayanya jauh dari persuasif. Ahok justru sangat konfrontatif. Kata-katanya acap bernuansa makian, bahkan cenderung kasar dan tak beretika (dengan menyebut taik, misalnya) sehingga lawan politiknya sering berang. Sekali lagi, ini kebodohan Ahok dalam berpolitik. Ini juga kebodohannya dalam berbahasa. Kalau harus dibandingkan dengan teori kepemimpinan ala Thomas Jefferson, Ahok jelaslah bukan pemimpin ideal karena dia sangat tidak luwes. Mudah sekali bagi kita untuk menilaimerahkan Ahok dari segi kesopanan berbahasa dan gestur.

            Ya, Ahok adalah orang yang “bodoh” dan sepertinya selalu menyukai “kebodohan”. Tak lama ini, dalam proses pencalonan dirinya sebagai cagub, Ahok lagi-lagi mengambil jalan yang sama sekali tidak taktis. Dia mengancam partai sebesar PDI-P dengan memberi tenggat waktu. Dalam logika politik, ini sesuatu yang sangat konyol. Apalagi pemikiran kita masih kaku dan menganggap bahwa partailah yang lebih kuat dari figur sehingga partai harus dipertuan. Posisi seperti inilah yang membuat kader menjadi sapi perahan. Ini terbukti ketika parpol diposisikan menjadi lembaga terkorup ketiga setelah DPR dan polisi.

            Tetapi, Ahok bukanlah politisi. Parpol baginya hanyalah kendaraan. Ahok hanya penumpang. Sebagai penumpang, terserah Ahok memilih turun dan naik di mana. Terserah Ahok pula memilih kendaraan mana. Parpol tak bisa mengekang dan mengikatnya. Parpol boleh korup, tetapi penumpang belum tentu. Niccolo Machiavelli pernah mengatakan bahwa politik tak ada hubungannya dengan moral. Dalam hal ini, Ahok jelas bukanlah politisi. Ahok masih bermoral.

Karena moral itulah, Ahok seringkali tak memperhatikan keselamatan dirinya, apalagi keamanan posisinya sebagai gubernur. Dia tidak ewuh-pakewuh, tetapi straight to the point, main tembak langsung. Dia tidak turut-turut pada suara partai. Dia tidak ikut arus dan netral. Netral memang pilihan aman, tetapi bukan pilihan bagi seorang pemimpin. Hanya politisilah yang labil dan “netral”. Ahok tampaknya mengimani apa yang dikatakan Martin Luther King Jr bahwa tempat yang paling panas di neraka disiapkan bagi orang-orang yang mengambil sikap netral dalam masa berlangsungnya konflik moral.

            Tetapi, Ahok tidak demikian. Dia tidak labil dan mau dipermainkan partai. Dia tidak netral. Baginya jelas, kalau partai berniat mendukung, ya, harus mendukung. Bukan mengumbar ketidakpastian yang lalu bersembunyi di balik tameng bahwa politik adalah seni mengolah kemungkinan. Sialnya, parpol di kita kebanyakan masih angkuh. Angkuh dalam kebodohan, angkuh karena tradisi.

Kader Lebih Mulia

Ironisnya, kebodohan ini tidak menjadi bahan permenungan. Kebodohan ini justru dipelihara dengan cara membuat rakyat menjadi bodoh. Kebodohan menjadi tradisi. Kebodohan dibuat menjadi komoditas dan bahan pangan bagi parpol. Inilah barangkali yang pernah dikatakan oleh Napoleon Bonaparte bahwa kebodohan dalam politik bukan rintangan. Barangkali Napolen mau mengatakan bahwa kebodohan justru peluang.

            Ya, sekali lagi, Ahok bukan politisi. Dia tidak terampil dan dia bodoh sebagai politisi. Pada majalah Forbes edisi September 2014, Ahok pernah bilang, I want to make history, not money. History yang terukir hingga kini adalah “kebodohan” itu. Sebab, di negeri antah berantah ini, kejujuran dan kebaikan kerap disinonimkan dengan kebodohan.

Ahok jujur mengatakan taik (maaf, saya tidak menyensor kata-kata ini) pada para birokrat nakal. Dia bodoh dalam hal ini. Kalau dia pintar (tepatnya licik sebab di kita licik disejajarkan dengan pintar) mestinya dia akan mengatakan taik itu sebagai bolu bungkus. Lawan politiknya akan senang dan rakyat pun tak heboh. Dan yang terpenting, dengan mengatakan itu, posisinya sebagai gubernur (politisi) akan awet.

Ya, Ahok sudah jatuh ke belanga. Kalau dari kacamata moral, dia adalah setitik susu yang telah membuat nila baik sebelanga. Tetapi dari sudut politik, ini justru sebaliknya, kecuali parpol sudah berubah haluan. Berubah haluan itu adalah berubahnya logika: dari yang dulunya bus pencari penumpang menjadi bus pengantar penumpang. Kedua bus ini sangat berbeda. Bus pencari penumpang akan mencari fulus dari kebodohan, sementara bus pengantar penumpang hanya bertugas mengantar orang-orang yang pintar dan pantas. Atau, mencerdaskan orang-orang “bodoh”. Tanpa iming-iming, kecuali biaya administratif.
 
Sudah ada dalam samar-samar partai yang menjadi bus pengantar, mungkin itu Nasdem, mungkin juga yang lainnya. Mudah-mudahan ini menjadi sebuah fenomena setitik susu yang membuat baik susu sebelanga, baik itu di bidang moral, terutama dalam bidang politik. Inilah mestinya yang menjadi terapan revolusi mental bagi parpol. Yang terpenting, semoga ini menjadi momentum terceburnya setitik susu untuk membuat baik nila selautan. Ahok sudah mencontohkannya. Yang lain, tinggal mengikuti. Parpol penting, tetapi kader lebih mulia.



Pegiat Literasi, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan

0 comments: