
Kritikan SBY kala safari politik ternyata tidak dianggap sebagai masukan oleh Jokowi, tapi mungkin lebih dianggap sebagai ”kompetisi” atas rezim yang dipimpinnya. Hal yang membuat Jokowi bereaksi melebihi gaya politik yang biasa dilakukannya. Konstelasi politik yang terjadi antara SBY dan Jokowi sudah diprediksi oleh Aristoteles pada abad ke-4 SM yang didasari pada analisisnya terhadap 158 negara kota di Yunani.
Aristoteles berpandangan bahwa pemerintahan dapat dikategorikan berdasarkan dua pertanyaan: ”Siapa yang berkuasa?” dan ”Siapa yang memperoleh manfaat dari kekuasaan?” Maka, dalam konteks SBY dan Jokowi saat ini masuk pada kategori dua pertanyaan di atas yang hanya dipisahkan oleh waktu masing-masing rezim berkuasa.
Adalah menarik bila melihat dua pernyataan tadi pada kondisi ”persaingan” tiba-tiba antara penguasa dua rezim yang berbeda. Banyak analisis dan dugaan yang timbul tentang mengapa dua pemimpin dengan dua gaya berbeda ini harus bertemu dalam ranah persaingan yang mengundang reaksi berbagai kelompok masyarakat negara ini.
Jokowi Lengah
Penulis berpendapat peristiwa ini bukan semata-mata sebagai reaksi Jokowi menjawab berbagai kritikan SBY saat melaksanakan safari keliling Jawa. Reaksi cepat Jokowi membalas kritikan SBY, penulis percayai, sebagai jawaban aksi atas isu ingin majunya istri SBY, Ani SBY, ke kancah panggung Pilpres 2019.
Alasannya, kunjungan reaktif Jokowi ke Hambalang bukanlah gaya politik Jokowi yang biasanya tidak reaktif terhadap kritikan. Jokowi kerap lebih memilih bersabar, sedikit komentar, dan membalasnya dengan menunjukkan prestasi kerja. Kunjungan ke Hambalang sangat tergambar reaktif karena belum jelas momentum dan kelanjutannya dalam program kerja pemerintahan Jokowi.
Gaya tebak-menebak saat ditanya awak media terhadap rencana kelanjutan proyek Hambalang sama sekali bukan gaya Jokowi yang biasanya fokus pada rencana kerja. Kunjungan reaktif Jokowi justru membantu meningkatkan publisitas SBY melalui berbagai perbincangan di media sosial hingga warung kopi. Sebuah kondisi yang saya yakini tidak diinginkan Jokowi.
Dalam politik tidak ada 100% publisitas negatif. Bila Jokowi melakukan gaya politik yang biasa dia lakukan dengan menerima berbagai kritikan sebagai masukan, mungkin pembicaraan tentang SBY tetap rendah dan justru tidak menimbulkan reaksi pada nostalgia rezim SBY. Apalagi ternyata perbincangan juga ada yang berdampak negatif ke Jokowi, terutama tentang status hukum proyek Hambalang.
Saat SBY diperbincangkan, rakyat tidak hanya berbicara seputar proyek Hambalang, tapi juga akan membandingkan berbagai kondisi yang terjadi saat ini dengan saat SBY berkuasa. Perbincangan yang bukan mustahil bisa bergerak ke arah positif dan menguntungkan SBY. Terkadang rakyat Indonesia membicarakan nostalgia untuk kondisi yang menyenangkan dan trauma untuk kondisi yang tidak indah. Biasanya nostalgia lebih dipilih untuk diperbincangkan daripada trauma.
Akhirnya bisa jadi perbincangan akan mengarah saat masa menyenangkan era SBY. Mungkin Jokowi perlu diingatkan bagaimana SBY piawai memainkan isu bahwa dirinya dizalimi, isu yang cukup membawanya menjadi presiden dua periode. Mungkin Jokowi agak lengah.
Genderang Irama SBY
SBY sebagai pemimpin terlama sejak pemberlakuan pemilihan umum secara langsung juga sebaiknya bertindak sebagai Bapak Bangsa yang menjadi panutan rakyat. Betul, pada era demokrasi dan keterbukaan informasi SBY juga berhak menyampaikan kritikan dan masukan kepada pemerintah secara terbuka kepada rakyat yang pernah dipimpinnya.
Tapi, terkadang sebagai pemimpin yang masih memiliki pengaruh, peran SBY sebagai Bapak Bangsa terus dinantikan terutama dalam menunjukkan dukungan terus-menerus kepada sang penguasa rezim. Kritikan dapat dilakukan dalam ruang tertutup, empat mata. Gairah politik SBY memang masih terasa hingga saat ini. SBY yang masih dianggap sebagai ahli strategi politik terbaik bangsa ini masih memainkan perannya dengan jitu.
Di DPR misalnya SBY malah meminta partainya untuk menjadi penyeimbang di tengah. Saat dianggap sudah selesai, SBY malah melakukan safari politik untuk menumbuhkan nostalgia dirinya di kalangan rakyat. Terlepas benar atau tidak isu akan majunya Ani SBY ke Pilpres 2019 setidaknya membuat konstelasi politik menuju pilpres yang tadinya didominasi incumbent menjadi sedikit hangat, bahkan Jokowi pun sedikit terusik.
Gelora politik Jokowi yang mampu memanfaatkan momentum politik sejak terpilih menjadi gubernur Jakarta dan akhirnya terpilih sebagai presiden RI tampaknya sedikit bergetar. Setelah mendapat kode pertemanan dan dukungan dari pesaingnya di Pilpres 2014, Prabowo Subianto, kubu Jokowi tampaknya tidak menyangka bahwa SBY keluar kandang dan bergerak menyapa pendukungnya sejak dini.
Kali ini SBY memainkan peran dengan mencoba memanfaatkan kondisi ”memperoleh manfaat dari kekuasaan” yang membuat Jokowi keluar kandang dan menari di irama politik yang dia buat. Walaupun berpotensi menambah kegaduhan, tampaknya ada pelajaran dan keuntungan yang diambil SBY dan Jokowi dalam melaksanakan agenda politiknya.
Hanya SBY dan Jokowi yang tahu kapan ”aroma persaingan” ini akan berakhir ataukah akan ada babak baru didunia politik Indonesia yang kerap dipertanyakan oleh Samuel P Huntington walaupun dalam versi yang berbeda, ”The Clash of Civilization?”
HENDRI SATRIO
Koran Sindo, 22/03/2016
Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Peneliti Lembaga Survei KedaiKOPI @satriohendri
Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Peneliti Lembaga Survei KedaiKOPI @satriohendri
0 comments:
Post a Comment