Ada sebuah kabar akbar bagi warga Sumut di awal tahun ini, yaitu untuk kali pertama, ada lima menteri yang mengaku serius mengelola Danau Toba. Bagaimana menanggapi ini? Apakah ini sebuah kemajuan? Kepedulian? Atau, apakah ini hanya lelucon awal tahun? Yang pasti, secara khusus, hati masyarakat di sekitaran Danau Toba kini dikuyupi sebuah rasa gembira yang tak terungkapkan.
Mereka sudah tak sabar melihat birunya air setelah selama ini dihantam sampah-sampah busuk. Mereka dipenuhi kerinduan teramat dalam untuk kembali melihat hijaunya hutan setelah sebelumnya gundul dibabat. Mereka berpengharapan besar suatu saat nanti dapat menikmati danau secara bersama, bukan untuk segelintir orang yang punya modal, punya kuasa, punya akses! Kerinduan mereka membuncah pada satu hal dan sangat sederhana: Danau Toba untuk kesejahteraan semua orang secara adil.
Secara mitologis, Danau Toba merupakan lambang peringatan agar janji dijaga dengan baik. Kisah mitos ini ramai diceritakan dan dilakonkan, termasuk oleh kami baru-baru ini ke Jerman dengan muatan pesan: Danau Toba harus diselamatkan karena memang, sebelumnya, danau ini juga sudah menyelamatkan manusia.
Menyelamatkan Manusia
Konon, seekor ikan menjelma menjadi wanita cantik. Kedatangan wanita ini menjadi sebuah oase di mana sebelumnya dan sudah pada waktu yang sangat lama, seorang pria kehausan. Serba kehausan, terutama jiwanya. Tersebutlah pria ini berhasil bertahan hidup dari sebuah masa haleon (krisis) dengan cara makan paruh burung dan akar-akar rumput. Sanak saudaranya menghilang dan kampung lenyap ditelan bencana. Dia sebatang kara. Tak ada yang menemani.
Disebutkan, hidupnya setelah berhasil melewati haleon itu penuh gelimang harta. Sawah berpetak-petak dan panen melimpah. Tetapi, semua berjalan begitu saja. Tidur, bangun, bekerja, makan, minum, pulang kerja, lalu tidur lagi. Kehidupannya kering. Dia kehausan hingga pada sebuah siang, dia memancing di sebuah sungai. Seorang diri. Tiba-tiba pancingnya direnggut seekor ikan besar. Aliran darah pria itu tiba-tiba mendesing. Dia sudah biasa mendapatkan ikan, tetapi desiran darah kali ini lebih terasa. Ada aura yang berbeda.
Dengan hati berjingkrak-jingkrak dan penasaran, ikan itu kemudian disimpan. Pada sebuah pagi, Sang pria ingin melihat ikan itu setelah semalaman dikepung gelisah. Betapa terkejut dan bangganya dia, di tengah kesebatangkaraan yang bahkan sudah tak pernah lagi melihat manusia, dia tiba-tiba melihat seorang manusia. Bukan sekadar seorang manusia, dia manusia-wanita. Bukan sembarang wanita, dia wanita-cantik, kelak dinamai Sondang Nauli (sinar yang berbinar). Sungguh sebuah berkat mahabesar.
Kedatangan ikan ini—lagi-lagi menurut mitos—adalah untuk menyelamatkan Sang Pria pemancing (manusia). Ikan itu titipan dari Yang Mahakuasa. Secara simbolis, ini mengandung makna bahwa Tuhan menjadikan alam sebagai penyelamat manusia. Penyelamatan ini gratis, tapi bukan murahan. Karena itu, ada perjanjian yang harus dipegang teguh: Sang Pria tak boleh menyebut asal ikan yang kini jadi wanita.
Menyebut asal (rahasia penyelamatan) secara vulgar setara dengan menyumpahi. Saat itu, janji adalah sebuah kesucian. Setiap kata-kata bermakna magis dan sakral. Pengingkaran atas janji mengandung makna mengutuki diri sendiri. Jika manusia berasal dari tanah, maka dia akan kembali ke tanah, jika dari ikan, akan kembali menjadi ikan. Tetapi, manusia tetaplah manusia. Sesuka hatinya menista alam. Apalagi laki-laki, sesuka hatinya pula mengobral janji. Serakah dan penuh murka.
Dalam bukunya yang berjudul Woman at Lake’s Edge tentang mitologi Danau Toba, Lena Simanjuntak-Mertes menukilkan kata-kata puitis yang penuh harapan dari Sondang Nauli kepada Sang Pria (manusia): “Kalau air menjadi danau dan di tengahnya muncul daratan, sesekali aku akan menjemur tubuhku di pulau itu. Kalian harus menjaga kebersihan dan kesucian air danau tempatku hidup supaya supaya pada saat bulan purnama kalian dapat melihat bayangku dalam air bersama seluruh penghuni serta keindahan danau. Dan, danau ini suatu saat akan menjadi sumber kehidupan manusia.”
Baru-baru ini, Danau Toba telah ditolak UNESCO menjadi salah satu bagian dari geopark. Para pegiat, donatur, simpatisan, dan pejuang Danau Toba saat itu sempat murung karena segala niat baik yang tanpa pamrih dan yang sudah dilakukan bertahun-tahun serasa menemui jalan buntu. Ya, menjadikan Danau Toba sebagai geopark merupakan impian besar masyarakat Sumut sebab itu merupakan simbol pengakuan internasional.
Pun, melalui predikat geopark ini nantinya akan ada semacam gagasan untuk mengawinkan pengelolaan warisan geologi (geological heritages) dengan warisan budaya (cultural heritages) menjadi sebuah kekuatan yang tentu saja dapat mengangkat martabat masyarakat. Tujuannya kembai ke mitos tadi: Danau Toba kembali jaya dan menyelamatkan manusia.
Tetapi, menjadikan Danau Toba sebagai geopark bukanlah perkara mudah. Unsur intrinsik, berupa perawatan danau, terutama unsur ekstrinsik, berupa kesepakatan pemerintah di sekitaran danau sangat-sangatlah sulit. Tidak tahu di mana letak persoalannya. Apakah karena pemerintah yang satu merasa dilangkahi, atau pemerintah yang lain merasa belum pantas sehingga ada suatu masa semacam sebuah kemandekan di mana administrasi demi pengusulan Danau Toba sebagai geopark menemui jalan buntu. Ini proyek lokal.
Kini, kabar gembira didengungkan pemerintah pusat dan menjadi proyek nasional. Bukti keseriusan mereka terlihat terang dengan digelontorkannya dana yang tak tanggung-tanggung: Rp21T. Pejabat pemerintah pusat turun gunung dari Jakarta. Penanggung jawab dan eksekutornya pun dari istana. Ini meneguhkan bahwa Danau Toba sudah menjadi proyek nasional. Pertanyaannya, akan di bawa ke mana Danau Toba ini kelak? Apakah menyelamatkan manusia? Lalu, manusia yang mana?
Jangan Melanggar Janji
Di kolom kecil ini, kami yang berdekatan, bahkan seseharinya hidup dari Danau Toba hanya mengatakan agar Danau Toba tidak menindas masyarakat kecil atas nama proyek. Silakan bangun infrastruktur yang memadai, nyaman, dan tepat karena itu memang keharusan agar orang dengan senang hati dan dengan mudah menikmati Danau Toba. Tetapi, jangan biarkan para pengunjung kecewa karena melihat hutan-hutan gundul, air danau yang jorok dan bau, serta masyarakat yang kumal-kumal. Artinya, perbaiki dulu dari dalam sebelum akhirnya dibuka akses yang lancar. Jangan biarkan masyarakatnya kumal, apalagi berkebiasaan kumal!
Dalam pembangunannya, masyarakat juga harus dilibatkan karena mereka punya passion yang intim dengan Danau Toba. Hanya memang, penanggung jawabnya harus tunggal. Manajemen yang punya penanggung jawabnya banyak lebih sering gaduh ketimbang teduh. Maka itu, bentuk badan otorita tunggal: single management dan single destination. Karena ini proyek nasional, penanggung jawabnya harus dari pusat. Penanggung jawab inilah kelak yang akan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat setempat.
Kembali ke mitos, Danau Toba adalah lambang perjanjian agar tak dilanggar. Kedatangan pemerintah pusat ke Danau Toba bukan sebagai bukti penghakiman, kenekatan, dan pemaksaan. Ini bentuk lain dari sebuah janji. Jika kelak janji kembali dilanggar, akan lahir bencana sebagaimana timbunan air yang dulu melenyapkan Sang Pria (manusia). Kita berdoa agar janji tak lagi dilanggar. Janji kali ini sudah melingkupi proyek nasional. Melanggar janji nasional barangkali sama dengan menenggelamkan negeri ini ke bencana nasional.
Ayo, selamatkan kami dari haleon ini sebelum paruh burung dan akar-akar pohon susah ditemukan!
Penulis adalah Pemerhati Danau Toba dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan
0 comments:
Post a Comment