Sunday, 27 March 2016

Beragama itu Kebodohan

Riduan Situmoran--Bagi saya pribadi, beragama itu adalah kebodohan. Sebab, karena agama seringkali orang jadi pasrah, pesimis, dan bahkan takluk. Lebih sering lagi, karena beragama, orang sering saling menaklukkan. Kalau dipelototi sejarahnya, tampaklah kalo agama itu tak ubahnya mesin jagal paling sadis. Mungkin juga paling produktif di dunia ini.
Apakah Tuhan serupa pemimpin parpol yang suka banyak pengikut tanpa memperhatikan bagaimana pengikut itu diraih? Ada yang dipaksa, ada yang terpaksa, dan hampir mustahil ada yang ikhlas? Apakah itu artinya juga bahwa bagi Tuhan keikhlasan sudah tak perlu lagi? Wah, kalo begitu adanya, betapa jahanamnya Tuhan itu!

Tapi, yang paling lucu sebenarnya adalah ketika kita tetap mengasyiki dan bahkan mengagumi kebodohan itu. Betapapun karena agama kita sudah saling hantam, agama tetap kita buat sebagai yang sakral. Perangkat-perangkatnya menjadi benar sepanjang masa, di mana saja, dan kapan saja, dan bahkan oleh siapa saja.

Kebodohan kita inilah yang kemudian diperalat oleh oknum-oknum. Mereka itu bisa politisi tengik, tokoh masyarakat rakus, rohaniwan nakal, juga terorisme jahanam. Politis tengik misalnya mengonversi kebodohan kita menjadi amunisi pengumpul suara.

Kelak, suara-suara ini dikalkulasikan menjadi sebuah legitimasi bagi dia untuk memimpin. Eh, setelah memimpin, dia berulah lebih tengik lagi. Dan, setelah ditangkap, misalnya, karena korupsi, dia tak juga tobat. Dia justru semakin tengik.

Komat-kamitlah mulutnya melantunkan doa di pengadilan, memakai pakaian religius, bersumpah ini-itu,. Tapi, setelah betul-betul tersangka, dia tak juga melaksanakan sumpah itu. Yang lebih menghebohkan, kita tak menuntut politisi tengik itu untuk melaksanakan sumpahnya.

Kita terlalu percaya agama sehingga mempercayakan kalo urusan pembalasan hanya mutlak dari Tuhan. Apabila ditanya, kapan Tuhan akan membalas? Kita akan menjawab: tunggu saja tanggal mainnya! Eh, nyatanya dia keluar bebas. Inikah pembalasan itu? Atau, apakah Tuhan terlalu pengasih sehingga orang bebal pun dibebaskan begitu saja?

Ada lagi tokoh masyarakat rakus. Mereka ini sama saja dengan para rohaniwan nakal. Kita, karena sudah melihat agama sebagai yang betul-betul sakral, langsung buta. Lihat itu, di film Spotligt yang memenangi OSCAR terbaru menceritakan bagaimana pastor berbuat binal. Lihat juga pemimpin agama yang lebih doyan berkotbah di televisi dengan mematok bayaran, tetapi ketika disuruh terjun ke lapangan, dia menolak mentah-mentah.

Yang lebih keji dan itu karena kebodohan kita adalah ketika bagi kita Kitab Suci agama menjadi sesuatu yang abadi. Ketika rumah ibadah menjadi sesuatu yang selalu dikultuskan dan dianggap selalu suci. Ingat saja bagaimana beberapa dari kita baru-baru ini mendadak marah tingkat dewa hanya karena Alquran dibuat sebagai bukti kekerasan. Kita meradang, marah, memaki-maki, dan menyebut kalo agama sedang dijajah oleh negara.

Padahal, kalo kita mikir, siapa bilang rumah ibadah tak bisa menjadi tempat maksiat atau tempat teroris bersarang? Siapa bilang Alkitab, Alquran, dan Kitab Suci lainnya tak bisa menjadi alat bukti kejahatan? Sudah pernah saya bilang. Kalo kau marah padaku yang lalu memukuli kepalaku dengan Alkitab tebal, ayo, alat bukti kekerasannya apa? Alkitab bukan?

Sekali lagi, beragama itu bagi saya adalah urusan kebodohan. Bukan karena agama itu bodoh, tetapi karena kita terlalu mengagungkan agama. Kita misalnya masih dengan berani agar mempercayakan hidup pada Tuhan.

Kita bilang, jangan kuatir sebab burung di udara saja dikasih makan. Tapi, di balik keberanian itu, kita adalah orang-orang takut. Dengan mulut mengaku bilang jangan kuatir akan masa depan, tetapi, kita masih menabung, masih  mencari, bahkan mencuri.

Lagipula, kalo Tuhan memang mengatakan jangan kuatir, bukankah itu sesuatu kebodohan kalo kita mengkutinya begitu saja sehingga kita bermalas-malasan, pasrah, dan mematikan semangat kerja kita begitu-begitu saja? Apa Tuhan sedang merayu-rayu kita agar menjadi orang yang malas? Di sinilah agama melahirkan jarak yang tipis antara ambiguitas dengan ketidakpastian.

Tetapi begitupun, di samping beragama adalah kebodohan, saya juga meyakini kalo tidak beragama adalah juga sebuah kegilaan. Tak bisa saya bayangkan hidup ini tanpa agama. Akan ada pembantaian, akan ada peperangan, juga barangkali akan ada kebaikan.

Tapi, bagaimana kita menilai sesuatu itu akan baik atau buruk kalo tidak ada pijakan? Bukankah baik dan buruk itu lahir dari penilaian? Dikatakan baik karena mengikuti ini? Dikatakan buruk karena mengabaikan itu?

Maka itulah saya lebih memilih menjadi bodoh daripada gila. Lebih milih beragama ketimbang tidak beragama. Salah satu tujuannya adalah agar punya pijakan. Memang, ini tetaplah sesuatu kebodohan. Apakah, misalnya, saya tak bisa memilih yang lain yang lebih elegan?

Ah, sudahlah, bagi saya agama cukuplah itu urusan identitas. Cukuplah itu urusan hati. Cukuplah itu urusan pribadi. Tak usah direcoki. Kalo aku bodoh, biarkan aja, ga usah repot. Emangnya lu udah pintar? Kalo aku gila, ga usah repot juga. Emanya lu udah waras?

Dalam hatiku, Tuhan itu bukan pemimpin parpol. Tuhan itu bukan pemimpin ormas. Tuhan itu bukan teroris. Tuhan itu bukan preman. Tuhan itu masih melihat keikhlasan. Dan, Tuhan itu tidak bodoh. Dia sudah mengirimkan buku-buku petunjuk. Beragam bentuknya.

Kalo di dunia elektronik, ada untuk Toshiba, ada untuk Samsung, ada untuk Polytron. Jadi, kalo Anda Samsung, sederhana aja: gunakan buku petunjuk Samsung. Tak usah mengganti baut Anda menjadi baut Polytron, menjadi layar Toshiba. Yang lebih fatal, jangan memakai petunjuk Samsung jika Anda adalah Sharp. Bisa-bisa Anda meledak.

Ya, memang tak boleh dibantah barangkali kalo aku terlahir secara kebetulan. Kebetulan misalnya karena orang tua saya Samsung maka saya akan Samsung. Betul, ini adalah kebetulan. Tetapi, apakah orang tua saya menikah secara kebetulan tanpa pendekatan sehingga saya lahir jadi sebuah kebetulan?

Ternyata tidak, Tuhan sudah melahirkan saya dan bahkan sudah merencanakan sesuatu yang mewah dari saya sebagai seorang Samsung. Karena itu, saya harus berlagak pada horizon Samsung yang maksimal.

Tapi, jangan pikir buku petunjuk Samsungku kelak tak bisa jadi bukti kekasaran. Jika buku petunjuk itu kumasukkan kemulutmu, maka petunjuk itu sudah alat kekerasan. Maksudku, tak usah mengagungkan buku petunjuk. Jalani saja isi buku petunjuk itu.

Ah, tak bisa lagi kulanjutkan tulisan ini. Habis ideku. Kenapa ya? Oh, iya, saya rupanya sudah lebih memilih bodoh daripada gila dari tadi. Hehehehe. Saya ketawa bukan ngejek, tapi kalo kalian pun tak juga paham isi tulisan ini, tak usah ambil pusing. Kenapa? Ah, jawab sendirilah…

Riduan Situmorang
Pencinta Humor yang Tak Lucu 

0 comments: