Tuesday, 23 February 2016

Tafsir Bebas pada Puisi Chairil Anwar


Riduan Situmorang
Aku binatang jalang, kata Cahiril Anwar. Mengapa harus binatang tentu masih menyimpan berbagai tafsir yang kaya. Aristoteles juga pernah mengatakan man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not accidentally is either beneath our notice or more than human. Mengapa harus dianalogikan dengan binatang dan mengapa pula kedua ungkapan itu tetap awet hingga kini? Apakah kita tak ubahnya seperti binatang?
Sadar atau tidak, manusia sesungguhnya pernah berhala pada binatang. Binatang dianggap lebih kuat dan memiliki roh. Lihatlah, misalnya, bagaimana orang Mesir menyembah Spinx, makhluk berkepala singa, bersayap garuda dan berekor ular, dan Orang Yunani pada Centaurus, yaitu manusia yang bertubuh kuda. Dalam Perjanjian Lama bahkan dikisahkan bagaimana mereka yang sudah dibebaskan oleh Musa malah menyukurinya dengan menyembah patung anak lembu.
Di sini, selain sebagai yang sakral, binatang dipandang sebagai yang lebih besar. Arti turunan langsungnya, manusia pada saat itu menganggap apa yang di sekelilingnya sebagai yang mistis dan penuh gaib sehingga manusia merasa takut dan cemas. Karena takut, mereka akhirnya memberi sesaji sebagai bentuk membujuk. Tidak saja cemas, mereka juga merasa dirinya sangat kecil menghadapi amarah dari roh tersebut. Artinya, rasio saat itu belum dominan.
Pemuas Hawa Nafsu

Setelah itu, zaman binatang sebagai yang punyah roh perlahan memudar. Manusia mulai menganggap binatang sebagai mahluk hidup biasa, bahkan lebih rendah. Maka, jadilah pemburuan secara massal. Tidak cukup, binatang dipandang bukan lagi sekadar alat pemuas kebutuhan biologis, melainkan juga sebagai komoditas untuk ekonomi, termasuk gengsi. Praktis, binatang yang dulu masih ada dianggap sakral dan jago seperti harimau, singa, dan gajah mendadak tidak. Semua dipandang rata sebagai alat pemuas hawa nafsu.

Pada tahap ini, rasio mulai mempunyai panggung utama. Masalahnya, belakangan, binatang itu pelan-pelan habis. Dengan rasionya, manusia kemudian berpikir untuk mengatasinya. Maka, jadilah masalah reproduksi binatang yang dulunya alami dan lambat direkayasa sedemikian rupa. Dalam hal ini, selain rasio, manusia menjadikan dirinya sebagai sang Pencipta yang dapat merekayasa genetika, mengatur siklus lahir, mengatur kapan panen, dan sebagainya. Jangankan sebagai pemuas nafsu, binatang kini dipandang semata sebagai objek percobaan yang sama sekali tidak punya nilai hidup. Dimatikan saja sesuka hatinya.

Sekarang ini, khususnya di negeri ini, manusia rupa-rupanya tidak bosan-bosan bereksplorasi. Tidak puas membalaskan dendam, manusia juga mengimitasi sebagian besar sifat-sifat hewani. Manusia tak puas bertubuh manusia, mereka harus berhati binatang. Maka, lahirlah adagium yang mengatakan bahwa manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia. Ini merupakan rumus turunan dari apa yang pernah dimaklumatkan Aristotels:  animale rationale. Celaka, manusia menjadi manusia sekaligus menjadi binatang. Serakah!

Jelas saja, manusia yang dulunya pernah tahu cara berbagi mendadak tidak. Lihatlah DPR kita. Mereka mencari kesepahaman, tiba-tiba berseteru sehingga meja terguling. Mereka mencari keputusan, tiba-tiba keluar dari rapat, ketika diputuskan malah bertanya balik, kok begitu? Ini tidak adil! Mereka yang dibayar mestinya memperjuangkan rakyat, tiba-tiba hanya berdebat dan berdebat yang tidak ada pangkal ujungnya.
Sastra pun dibawa-bawa masuk sehingga puisi yang adalah mata menjadi senjata. Sastra yang mestinya bermula dari kejernihan dan kewarasan justru diseruduk dari kedengkian dan kebencian. Mereka mengatakan ini sebagai kerja sama, pada praktiknya hanyalah demi kelompok untuk tidak menyebut demi gerombolan.
Sebagaimana perilaku hewan, yang kini dominan pula adalah naluri untuk memuaskan syahwat. Otak, apalagi perasaan tidak menemui tempatnya. Kalaupun ada otak, gunanya hanya mengatur strategi bagaimana mencari, bahkan mencuri kekuasaan. Di sini, kita tidak usah lagi melihat perasaan, apalagi hati sanubari, dia sudah “pingsan”, bahkan mungkin sudah menemui kiamatnya. Sastra hampir tak berdaya menyingkap, bahkan sering, seperti tadi, diperalat dan menjadi barang pesanan.

Hukum Rimba
Inilah menurut saya salah satu terjemahan aku binatang jalang karya Chairil Anwar, yaitu ketika kita hidup tak lagi dunia nalar, tetapi dunia rimba. Lihatlah, koruptor yang adalah mencuri untuk bisa bermewah-mewah dibebaskan. Kalaupun dipenjarakan, mereka menempati ruang eklusif, bahkan masih bisa bertamasya, membawa pacar dan bercinta di sana. Sebaliknya, yang mencuri untuk sekadar makan malah dipenjarakan begitu saja, di tempat yang kejam pula. 
Padahal kalau logika dan perasaan bermain, maksud saya, kalau kita memang manusia, bukan manusia-binatang, kita akan tahu, yang mencuri tadi balik mencuri karena koruptor lebih dahulu mencuri haknya. Ya, kita hanya binatang jalang karena hidup di sebuah dagelan pertunjukan para binatang. Pelakonnya manusia berperilaku binatang. Penontonnya dibinatangkan.Mahbub Djunaidi pernah mencatat, Indonesia itu bagaikan binatang marmut walau sebenarnya babi lebih gawat dalam hal angka kelahiran dan keserakahan. Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, lebih tepat bebek. Dari ranah pemerintah, khusus DPR, mereka bisa menjadi banteng yang dipertandingkan, kuda yang ditunggangi seseorang, maksud saya seseorang berhati binatang, singa yang diraja, bekicot yang lamban, atau “binatang cerdas” yang tidak punya perasaan yang menganggap rakyatnya sebagai binatang.
Inilah evolusi manusia, tepatnya manusia Indonesia. Yang dulu manusia takut pada binatang, lalu membunuh binatang, mengatur hidup-matinya, saya termenung, tepatnya takut mengakaui, kalau kini kita berevolusi menjadi manusia berhati binatang, manusia “bertubuh” binatang. Hehehe, negeri ini rupanya kebun binatang. Binatang jalang tepatnya. Kita ini manusia-manusia binatang. 
Mungkin beberapa dari kita masih ada manusia benaran, tetapi elite di negeri ini akan membinatangkannya. Jadi meski Anda yakin masih manusia benaran, manusia-manusia binatang itu telah memperlakukan kita secara binatang. Sudahlah, mari merawat kebun binatang kita ini dengan baik. Berdoa pula semoga evolusi ini berkelanjutan: dari yang mulanya binatang ke manusia, mudah-mudahan kita berhasil ber-evolusi dari binatang menjadi manusia. Cahiril Anwar sudah terlebih dahulu mengaku sebagai binatang jalang. Betapa jalangnya kita kalau tak mengaku, bahkan tak mau bertobat untuk kembali menjadi manusia. Oh!
Penulis Adalah Peminat Sastra, Bergelut di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

0 comments: