PEMERINTAH kembali membuat kebijakan baru terkait ujian nasional(UN)
2016. Setelah tahun lalu ditetapkan bahwa hasil UN tidak lagi menjadi
syarat kelulusan, kali ini dikeluarkan kebijakan baru yakni adanya UN
perbaikan.
Maksudnya, apabila siswa belum puas dengan hasil ujian maka siswa tersebut dapat mengulang ujian tanpa harus menunggu tahun berikutnya. Lantas, apa signifikansinya? Kalau tidak untuk menentukan kelulusan, apa perlunya mengulang ujian? Tulisan ini tidak bermaksud meributkan kembali penyelenggaraan UN, tetapi memang ada beberapa hal substantif yang perlu koreksi dari penyelenggaraan UN.
Kita khawatir penyelenggaraan UN menjadi sebuah exercise oleh pemegang otoritas pendidikan yang tidak jelas konsistensinya karena pameo ganti menteri ganti kebijakan. Ada tengara pemerintah gamang dalam menentukan sikap antara tetap mempertahankan UN atau menghapus UN. Ambivalensi pelaksanaan UN berawal dari terbitnya PPNomor 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pada pasal 68 peraturan tersebut disebutkan, hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk tiga hal, yaitu pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di sinilah telah terjadi distorsi penafsiran makna kata ujian yang seharusnya examination, bukan evaluation.
Sebagai sebuah examination, parameternya jelas, yakni ketercapaian standar kompetensi yang dipatok dalam kurikulum tiap mata pelajaran. Kalau memang tidak hendak mengukur capaian hasil belajar, akan lebih baik bila labelnya bukan ujian nasional, tetapi ujian pemetaan atau yang lain. Dan, itu dapat dilakukan kapan pun, tidak harus pada akhir termin jenjang pendidikan.
Hasil UN yang bukan lagi sebagai syarat kelulusan sebenarnya patut dipertanyakan dan menyisakan prokontra terutama di kalangan praktisi pendidikan. Kebijakan itu bisa jadi sekadar ingin ìmenyenangkanî orang banyak, termasuk kalangan DPR yang sebelumnya terus mendesak pemerintah agar menghapus UN. Solusi kompromisnya kemudian, UN tetap ada, tetapi bukan sebagai syarat kelulusan.
Keputusan ini aneh karena tidak sesuai dengan peruntukan awal sebuah ujian. Dalam teori evaluasi pembelajaran, ujian akhir, apalagi yang berskala nasional, pada prinsipnya dikategorikan ìhigh stakesî. Artinya, hasil tes akan berkonsekuensi tinggi untuk menentukan ”nasib” peserta ujian.
UN harus dipahami sebagai instrumen sahih dan andal untuk menjustifikasi berhasil-tidaknya siswa menuntaskan jenjang pendidikan. Kalaupun ada fungsi lain dari penyelenggaraan UN hendaknya dipandang sebagai îbonus benefitî , bukan tujuan utama penyelenggaraan ujian.
Perlu Dikoreksi
Menggunakan hasil UN sebagai salah satu syarat masuk universitas juga perlu dikoreksi. Menjadi tidak rasional ketika nilai UN yang tidak diperhitungkan dalam penentuan kelulusan, tetapi justru diperhitungkan ketika masuk perguruan tinggi. Harus dibedakan antara ujian akhir sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi.
Ujian akhir sekolah, dalam hal ini UN, adalah tes untuk mengukur daya serap materi yang pernah diajarkan atau bahasa teknisnya dikenal dengan istilah achievement test, sementara tes masuk perguruan tinggi adalah tes potensi yang bersifat prediktif. Pelaksanaan UN 2016 menjadi tambah kompleks karena ada dua kurikulum yang dipakai yakni Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013.
Meskipun mendikbud jauh hari telah menyatakan tidak ada persoalan dengan materi yang diujikan karena butir soal akan didasarkan pada titik singgungan kedua kurikulum itu, tetapi dalam hal ini pemerintah telah menyederhanakan persoalan dan mencari jalan pintas untuk menyiasati masalah yang ada.
Materi ajar bisa jadi memang sama antarkedua kurikulum, tetapi kedalaman- keluasan cakupan, pendekatan, dan penataannya pada kelas semesternya berbeda. Belum lagi alokasi waktu atau jumlah jam untuk mata pelajaran tertentu yang mengalami perubahan.
Pemerintah mau tetap melaksanakan atau menghapus UN bukanlah persoalan penting bagi masyarakat asalkan pilihan itu didasari pertimbangan rasional akademik, bukan semata teknis administratif apalagi politis. Bila hasil UN tidak berimplikasi pada kelululusan, ada baiknya hajatan UN tidak usah digelar tiap tahun yang menghabiskan dana miliaran rupiah.
Kelulusan siswa biarlah menjadi urusan sekolah dengan rambu-rambu benchmarking yang terkontrol. Untuk keperluan pemetaan mutu pendidikan tidak harus dengan UN, tapi cukup melalui asesmen akademik semisal tes penjajakan atau tes diagnostik yang dilakukan secara periodik, tidak perlu tiap tahun, dan tidak harus serentak nasional.
Maksudnya, apabila siswa belum puas dengan hasil ujian maka siswa tersebut dapat mengulang ujian tanpa harus menunggu tahun berikutnya. Lantas, apa signifikansinya? Kalau tidak untuk menentukan kelulusan, apa perlunya mengulang ujian? Tulisan ini tidak bermaksud meributkan kembali penyelenggaraan UN, tetapi memang ada beberapa hal substantif yang perlu koreksi dari penyelenggaraan UN.
Kita khawatir penyelenggaraan UN menjadi sebuah exercise oleh pemegang otoritas pendidikan yang tidak jelas konsistensinya karena pameo ganti menteri ganti kebijakan. Ada tengara pemerintah gamang dalam menentukan sikap antara tetap mempertahankan UN atau menghapus UN. Ambivalensi pelaksanaan UN berawal dari terbitnya PPNomor 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pada pasal 68 peraturan tersebut disebutkan, hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk tiga hal, yaitu pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di sinilah telah terjadi distorsi penafsiran makna kata ujian yang seharusnya examination, bukan evaluation.
Sebagai sebuah examination, parameternya jelas, yakni ketercapaian standar kompetensi yang dipatok dalam kurikulum tiap mata pelajaran. Kalau memang tidak hendak mengukur capaian hasil belajar, akan lebih baik bila labelnya bukan ujian nasional, tetapi ujian pemetaan atau yang lain. Dan, itu dapat dilakukan kapan pun, tidak harus pada akhir termin jenjang pendidikan.
Hasil UN yang bukan lagi sebagai syarat kelulusan sebenarnya patut dipertanyakan dan menyisakan prokontra terutama di kalangan praktisi pendidikan. Kebijakan itu bisa jadi sekadar ingin ìmenyenangkanî orang banyak, termasuk kalangan DPR yang sebelumnya terus mendesak pemerintah agar menghapus UN. Solusi kompromisnya kemudian, UN tetap ada, tetapi bukan sebagai syarat kelulusan.
Keputusan ini aneh karena tidak sesuai dengan peruntukan awal sebuah ujian. Dalam teori evaluasi pembelajaran, ujian akhir, apalagi yang berskala nasional, pada prinsipnya dikategorikan ìhigh stakesî. Artinya, hasil tes akan berkonsekuensi tinggi untuk menentukan ”nasib” peserta ujian.
UN harus dipahami sebagai instrumen sahih dan andal untuk menjustifikasi berhasil-tidaknya siswa menuntaskan jenjang pendidikan. Kalaupun ada fungsi lain dari penyelenggaraan UN hendaknya dipandang sebagai îbonus benefitî , bukan tujuan utama penyelenggaraan ujian.
Perlu Dikoreksi
Menggunakan hasil UN sebagai salah satu syarat masuk universitas juga perlu dikoreksi. Menjadi tidak rasional ketika nilai UN yang tidak diperhitungkan dalam penentuan kelulusan, tetapi justru diperhitungkan ketika masuk perguruan tinggi. Harus dibedakan antara ujian akhir sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi.
Ujian akhir sekolah, dalam hal ini UN, adalah tes untuk mengukur daya serap materi yang pernah diajarkan atau bahasa teknisnya dikenal dengan istilah achievement test, sementara tes masuk perguruan tinggi adalah tes potensi yang bersifat prediktif. Pelaksanaan UN 2016 menjadi tambah kompleks karena ada dua kurikulum yang dipakai yakni Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013.
Meskipun mendikbud jauh hari telah menyatakan tidak ada persoalan dengan materi yang diujikan karena butir soal akan didasarkan pada titik singgungan kedua kurikulum itu, tetapi dalam hal ini pemerintah telah menyederhanakan persoalan dan mencari jalan pintas untuk menyiasati masalah yang ada.
Materi ajar bisa jadi memang sama antarkedua kurikulum, tetapi kedalaman- keluasan cakupan, pendekatan, dan penataannya pada kelas semesternya berbeda. Belum lagi alokasi waktu atau jumlah jam untuk mata pelajaran tertentu yang mengalami perubahan.
Pemerintah mau tetap melaksanakan atau menghapus UN bukanlah persoalan penting bagi masyarakat asalkan pilihan itu didasari pertimbangan rasional akademik, bukan semata teknis administratif apalagi politis. Bila hasil UN tidak berimplikasi pada kelululusan, ada baiknya hajatan UN tidak usah digelar tiap tahun yang menghabiskan dana miliaran rupiah.
Kelulusan siswa biarlah menjadi urusan sekolah dengan rambu-rambu benchmarking yang terkontrol. Untuk keperluan pemetaan mutu pendidikan tidak harus dengan UN, tapi cukup melalui asesmen akademik semisal tes penjajakan atau tes diagnostik yang dilakukan secara periodik, tidak perlu tiap tahun, dan tidak harus serentak nasional.
Drs. Wiyaka, M.Pd.
Suara Merdeka, 27/02/2016
Mengajar Evaluasi Pembelajaran pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang
0 comments:
Post a Comment