Url Berita
Oleh: Riduan Situmorang. Benar-benar lucu sudah negeri ini. Semua sudah dijungkirbalikkan. Logika tak lagi logis. Moral sudah melulu nakal. Preman menjadi pahlawan. Mafia menjadi bagian dari cita-cita. Garong dipuja-puja. Koruptor dimuliakan. Orang baik dikucil dan dikecilkan. Pendidikan yang mestinya menjadi tumpuan tak mampu menubuh dan menumbuhkan karakter, justru kerap menjadi pemamah biak karakter itu sendiri. Lebur dan hancur.
Hampir di segala lini kita begitu: dikepung kekurangajaran. Ini benar-benar menjadi definisi terbaik dari lingkaran setan. Sebagai lingkaran setan, kita akan menyaksikan bahwa di mana-mana ada setan. Mereka terbahak-bahak dan memalak begitu saja. Nasib orang baik serupa kisah dongeng. Selalu ditempatkan di tengah cerita, tetapi menjadi tumbal atau menjadi bahan ledekan. Bedanya dengan dongeng, kalau di dongeng, orang baik pada akhirnya akan menang, tetapi di kita pada akhirnya hampir selalu malang.
Inilah negeri para komika. Kehidupan yang disukainya adalah lelucon. Kita tahu, lelucon itu tak sekadar hiburan. Lelucon justru seringkali menjadi tragedi. Katakanlah, misalnya, seorang komika berbicara tentang nasib seorang bocah culun (akan lebih sial kalau bocah itu ada di tempat itu dan pada saat itu juga). Sudah pasti, agar kisah itu lucu, bocah tadi akan diledek habis-habisan. Berbagai tuduhan menghebohkan yang jatuh-jatuhnya menghina dilontarkan. Kita pun tertawa terbahak-bahak, bahkan kadang malah mengejek balik bocah tadi. Inilah keadaan lucu sekaligus mengerikan: tertawa di atas penderitaan orang lain.
Lelucon itu Tragedi
Si bocah apa boleh buat. Pada momen ini, dia adalah manusia tak berdaya. Maka itu, meski hatinya teriris, pilihan terbaik adalah ikut tertawa. Padahal, ikut tertawa sebenarnya tak menjadi pilihan tepat karena komika akan lebih ganas menyerang. Atau setidaknya, ikut tertawa menjadi bukti bahwa dia juga mengakui tuduhan itu semua. Di sinilah lelucon menjadi tragedi. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh, ditimpah tangga pula. Tak ada yang menolong. Tak ada yang menghibur, kecuali diri kita sendiri.
Dan celakanya (mungkin untungnya), tampaknya kelucuan di negeri ini tak akan tamat-tamat. Justru akan berkelanjutan. Mereka selalu gesit mencari ide cerita baru untuk kelak dibuat menjadi banyolan. Siapa pun itu di balik ini semua harus diberi apresiasi luar biasa karena sudah berhasil memanggungkan komedi yang tak basi-basi. Mereka benar-benar imajinatif dan kreatif. Bahkan sangat jenius. Kita tahu dan penelitian sudah membuktikan bahwa humor sangat berperan postif untuk menangkal stres dan penyakit jantung.
Tetapi, humor tak akan abadi karena itu selalu butuh hal yang baru. Tak mungkin Anda tertawa mendengar humor yang begitu-begitu saja. Maka itu, para komedian yang sesungguhnya-dikatakan sesungguhnya karena memang ada aktor di balik ini semua-akan selalu membuat kejutan demi kejutan. Hampir tanpa akhir. Mereka terlebih dahulu akan mengaduk-aduk emosi kita. Membuat kita stres. Membuat kita menangis. Wujudnya bisa berupa gonjang-ganjing politik, kelaparan, harga yang tak menentu dan sebutkan lagi sesukamu.
Di saat seperti itu, posisi kita benar-benar dikecam kecamuk. Kita butuh banyolan demi banyolan sebagai hiburan. Dan ternyata benar, tingginya niat orang mendengar humor berkorelasi positif dengan tingginya rasa stres. Jadi, kalau kini siaran televisi kita dibumbui oleh komedian di sana-sini dan bahkan menjadi pemuncak ranting, itu hanyalah jawaban atas tingginya tingkat stres masyarakat. Mengapa stres?
Banyak faktornya. Seorang Jokowi pascakasus "papa minta saham" sendiri pun stres dan "harus" mengundang belasan komika dari para pe-stand up comedy ke istana. Apa urusan para komika ini ke sana kalau bukan untuk menghibur? Karena itu, atas dasar stres tingkat tinggi, Jokowi butuh humor sebagai selingan dan netralisasi psikologis. Betapa tidak, Jokowi yang biasanya kalem terpaksa harus marah. Ini sesuatu yang tak biasa dan menyedot banyak energi.
Kala itu, tidak hanya pada presiden dan pejabat lainnya, Butet juga berpesan agar para komika jangan stres karena kalah lucu dari para pemeran di "mahkamah kehormatan dagelan". Indro bahkan melanjutkan lagi, "Padahal, kami ini sehari-hari sudah lucu. Sementara kami sekarang disuruh ngomong lucu di lingkungan yang…kadang-kadang lebih lucu."
Maksud saya mengutip kedua komika-profesional ini di sini adalah untuk meneguhkan kembali bahwa sesungguhnya ada komika yang lebih profesional dan hebat. Mereka jauh lebih lucu karena tempat mereka pun sangat lucu. Bahkan, mereka hidup dari kelucuan itu sendiri.
Kurang lucu apa lagi kalau seseorang bisa membuat urusan sangat serius menjadi urusan banyolan belaka? Kurang lucu apa pula kalau seseorang sudah terang benderang bersalah, tetapi belakangan menjadi pahlawan yang harus dibela mati-matian? Di mana ini terjadi kalau bukan di negeri komika? Sebab apa pula ini terjadi kalau bukan oleh komika-komika yang sangat profesional?
Badut-badut
Seperti kata Sidharta Susila, apa-apa yang terjadi hari-hari ini persis seperti kisah silam di kampung maling. Ihwal kampung maling menjadi cerita lama yang sudah terbiasa di telinga kita di mana para penghuninya adalah maling. Bahkan, konon katanya, gapuranya terbuat dari hasil jerih payah para maling. Di sana ada RT, ada RW, sebagaimana desa umumnya. Tetapi, tugasnya adalah melindungi para warganya yang adalah maling. Jadi, meski ada laporang kehilangan, mereka akan saling membela dan melindungi. Intinya, kejahatan akan selalu ditutupi meski itu di tempat yang benderang.
Seperti cerita Sidharta Susila di Kompas (04/01/2016) ketika suatu kali orang di kampungnya mendapati maling yang sedang beraksi. Maling itu lalu dikejar beramai-ramai. Tetapi, maling itu lari menuju hamparan sawah yang bersebelahan dengan kampung maling sehingga mereka konon tak akan melanjutkan pengejaran karena maling sudah ada di habitatnya: kampung maling.
Tak ada gunanya mengejar maling sampai ke kampung maling karena itu hanya kesia-siaan, bahkan bisa menjemput sial. Seperti tadi, di kampung maling, mereka akan saling melindungi. RT, RW, bahkan polisi tak menjadi senjata kuat menangkapnya. Intinya, tak akan pernah bisa menangkap maling di kampung maling. Cermatilah itu, bukankah ini kelucuan luar biasa yang keberadaannya hanya ada di negeri komika?
Darimana pasalnya kita tak dapat menangkap maling, padahal ini kampungnya maling di mana-mana ada maling? Di mana ada kisah ketika aneka kejahatan diungkap, pelaku kejahatan sudah ditangkap, bukti-bukti tindak kejahatan pun lengkap, tetapi si pelaku kejahatan licin dijerat, kalau itu bukan di negeri para komika, pendewa yang hidup dari kelucuan? Di negeri mana juga akan terjadi di mana sejumlah orang pasang badan membela tersangka pelaku kejahatan? Sejumlah media cetak dan elektronik lihai membangun kisah membolak-balik nalar dan logika dengan menjejali masyarakat kontes muslihat para pakar?
Akibatnya, masyarakat yang semula melihat gamblang tindak kejahatan mulai kabur dan ragu akan penglihatan serta pemahamannya semula. Pelaku kejahatan pun berubah menjadi pahlawan. Atau minimal diloloskan. Inilah kelucuan itu: kita stres melihatnya, tetapi itu hanya akan sebentar karena akan ada kisah-kisah lucu lainnya yang membuat kita terpingkal-pingkal. Padahal, sesungguhnya, dalam keterpingkal-pingkalan itu, kita hanyalah bocah culun yang terpaksa menertawai diri, sebab, tak ada pilihan lain selain menikmati penghinaan demi penghinaan. Inilah negeri para komika. Kita menjadi badut-badut setelah sebelumnya menjadi budak-budak atas berbagai cerita lucu. ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.
0 comments:
Post a Comment