Sunday, 21 February 2016

Negeri Para Komika


Url Berita
Oleh: Riduan Situmorang. Benar-benar lucu sudah negeri ini. Semua sudah dijung­kirbalikkan. Logika tak lagi logis. Moral sudah melulu nakal. Preman menjadi pah­lawan. Mafia menjadi bagian dari cita-cita. Ga­rong dipuja-puja. Ko­rup­tor dimulia­kan. Orang baik di­kucil dan dikecil­kan. Pendidikan yang mestinya menjadi tumpuan tak mampu menu­buh dan menum­buh­kan karakter, justru kerap men­jadi pemamah biak karakter itu sendiri. Lebur dan hancur.

Hampir di segala lini kita begitu: dikepung kekurangajaran. Ini benar-benar menjadi definisi terbaik dari lingkaran setan. Sebagai lingkaran setan, kita akan menyaksikan bahwa di mana-mana ada setan. Mereka terbahak-bahak dan memalak begitu saja. Nasib orang baik serupa kisah dongeng. Selalu ditempatkan di tengah cerita, tetapi menjadi tumbal atau men­jadi bahan ledekan. Beda­nya dengan dongeng, kalau di dongeng, orang baik pada akhirnya akan menang, tetapi di kita pada akhirnya hampir selalu malang.

Inilah negeri para komika. Kehi­dupan yang disukainya ada­lah lelu­con. Kita tahu, lelucon itu tak se­kadar hiburan. Lelucon justru se­ring­kali menjadi tragedi. Kata­kan­lah, misalnya, se­orang komika ber­bicara tentang nasib seorang bocah culun (akan lebih sial kalau bocah itu ada di tempat itu dan pada saat itu juga). Sudah pasti, agar kisah itu lucu, bocah tadi akan diledek habis-habisan. Berbagai tuduhan menghe­bohkan yang jatuh-jatuhnya meng­hina dilontarkan. Kita pun tertawa ter­bahak-bahak, bahkan kadang malah mengejek balik bocah tadi. Inilah keadaan lucu sekaligus me­ngerikan: tertawa di atas penderitaan orang lain.

Lelucon itu Tragedi

Si bocah apa boleh buat. Pada momen ini, dia adalah manu­sia tak berdaya. Maka itu, meski hatinya teriris, pilihan terbaik adalah ikut tertawa. Padahal, ikut tertawa sebenarnya tak men­jadi pilihan tepat karena komika akan lebih ganas menyerang. Atau setidaknya, ikut tertawa menjadi bukti bahwa dia juga mengakui tuduhan itu semua. Di sinilah lelucon menjadi tra­gedi. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh, ditimpah tangga pula. Tak ada yang menolong. Tak ada yang meng­hibur, kecuali diri kita sendiri.

Dan celakanya (mungkin untung­nya), tampaknya kelucuan di negeri ini tak akan tamat-tamat. Justru akan berkelanjutan. Mereka selalu gesit mencari ide cerita baru untuk kelak dibuat menjadi banyolan. Siapa pun itu di balik ini semua harus diberi apresiasi luar biasa karena sudah ber­hasil memanggungkan komedi yang tak basi-basi. Mereka benar-benar imajinatif dan kreatif. Bahkan sangat jenius. Kita tahu dan pene­litian sudah membuktikan bahwa humor sangat berperan postif untuk menangkal stres dan penyakit jantung.

Tetapi, humor tak akan abadi karena itu selalu butuh hal yang baru. Tak mungkin Anda tertawa mendengar humor yang begitu-begitu saja. Maka itu, para komedian yang sesungguh­nya-dikatakan se­sung­guhnya karena memang ada aktor di balik ini semua-akan selalu membuat kejutan demi kejutan. Hampir tanpa akhir. Mereka terlebih dahulu akan mengaduk-aduk emo­si kita. Membuat kita stres. Membuat kita menangis. Wujudnya bisa beru­pa gonjang-ganjing politik, kelapa­ran, harga yang tak menentu dan sebutkan lagi sesukamu.

Di saat seperti itu, posisi kita benar-benar dikecam kecamuk. Kita butuh banyolan demi banyolan sebagai hiburan. Dan ternyata benar, tinggi­nya niat orang mendengar humor ber­korelasi positif dengan tingginya rasa stres. Jadi, kalau kini siaran televisi kita dibumbui oleh komedian di sana-sini dan bahkan menjadi pemuncak ranting, itu hanyalah jawaban atas tingginya tingkat stres masyarakat. Mengapa stres?

Banyak faktornya. Seorang Joko­wi pascakasus "papa minta saham" sendiri pun stres dan "harus" me­ngundang belasan komika dari para pe-stand up comedy ke istana. Apa urusan para komika ini ke sana kalau bukan untuk menghibur? Karena itu, atas dasar stres tingkat tinggi, Jokowi butuh humor sebagai seli­ngan dan netralisasi psikologis. Betapa tidak, Jokowi yang biasanya kalem terpaksa harus marah. Ini sesuatu yang tak bia­sa dan menye­dot banyak energi.

Kala itu, tidak hanya pada presi­den dan pejabat lainnya, Butet juga berpesan agar para komika jangan stres karena kalah lucu dari para pemeran di "mahkamah kehormatan dagelan". Indro bahkan melanjutkan lagi, "Padahal, kami ini sehari-hari sudah lucu. Sementara kami seka­rang disuruh ngomong lucu di lingkungan yang…kadang-kadang lebih lucu."

Maksud saya mengutip kedua komika-profesional ini di sini adalah untuk meneguhkan kembali bahwa sesungguhnya ada komika yang lebih profesional dan hebat. Mereka jauh lebih lucu karena tempat mere­ka pun sangat lucu. Bahkan, mereka hidup dari kelucuan itu sendiri.

Kurang lucu apa lagi kalau sese­orang bisa membuat urusan sangat serius menjadi urusan banyo­lan belaka? Kurang lucu apa pula kalau seseorang sudah terang benderang bersalah, tetapi belakangan menjadi pahlawan yang harus dibela mati-matian? Di mana ini terjadi kalau bukan di negeri komika? Sebab apa pula ini terjadi kalau bukan oleh komika-komika yang sangat profe­sional?

Badut-badut

Seperti kata Sidharta Susila, apa-apa yang terjadi hari-hari ini persis seperti kisah silam di kampung maling. Ihwal kam­pung maling menjadi cerita lama yang sudah terbiasa di telinga kita di mana para penghuninya adalah maling. Bah­kan, konon katanya, gapuranya ter­buat dari hasil jerih payah para maling. Di sana ada RT, ada RW, sebagaimana desa umumnya. Teta­pi, tugasnya adalah melindungi para warganya yang adalah ma­ling. Jadi, meski ada laporang kehilangan, mereka akan saling membela dan melindungi. Intinya, kejahatan akan selalu ditu­tupi meski itu di tempat yang benderang.

Seperti cerita Sidharta Susila di Kompas (04/01/2016) ketika suatu kali orang di kampungnya menda­pati maling yang sedang beraksi. Maling itu lalu dikejar beramai-ramai. Tetapi, maling itu lari menuju hamparan sawah yang bersebelahan dengan kampung maling sehingga mereka konon tak akan melanjutkan pengejaran karena maling sudah ada di habitatnya: kampung maling.

Tak ada gunanya mengejar ma­ling sampai ke kampung maling karena itu hanya kesia-siaan, bahkan bisa menjemput sial. Seperti tadi, di kampung maling, mereka akan saling melindungi. RT, RW, bahkan polisi tak menjadi senjata kuat me­nang­kapnya. Intinya, tak akan per­nah bisa menangkap maling di kam­pung maling. Cermatilah itu, bu­kankah ini kelucuan luar biasa yang kebera­daannya hanya ada di negeri komika?

Darimana pasalnya kita tak dapat menangkap maling, padahal ini kampungnya maling di mana-mana ada maling? Di mana ada kisah ketika aneka kejahatan diungkap, pelaku kejahatan sudah ditangkap, bukti-bukti tindak kejahatan pun lengkap, tetapi si pelaku kejahatan licin dijerat, kalau itu bukan di negeri para komika, pendewa yang hidup dari kelucuan? Di negeri mana juga akan terjadi di mana sejumlah orang pasang badan mem­bela tersangka pelaku kejahatan? Sejumlah media cetak dan elektro­nik lihai membangun kisah mem­bolak-balik nalar dan logika dengan menjejali masyarakat kontes musli­hat para pakar?

Akibatnya, masyarakat yang semula melihat gamblang tindak kejahatan mulai kabur dan ragu akan penglihatan serta pemahamannya semula. Pelaku kejahatan pun beru­bah menjadi pahlawan. Atau mini­mal diloloskan. Inilah kelucuan itu: kita stres melihatnya, tetapi itu ha­nya akan sebentar karena akan ada kisah-kisah lucu lainnya yang membuat kita terpingkal-ping­kal. Padahal, sesungguhnya, dalam ke­terpingkal-ping­kalan itu, kita hanya­lah bocah culun yang terpaksa me­nertawai diri, sebab, tak ada pilihan lain selain menikmati peng­hinaan demi penghinaan. Inilah negeri para komika. Kita menjadi badut-badut setelah sebelumnya menjadi budak-budak atas berbagai cerita lucu. ***

Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.

0 comments: