Kita
patut waspada terhadap konflik yang kini mendera Iran dan Saudi. Kalau
tak sigap, perang ini akan meluber menjadi perang global, bisa juga
menjadi perang dunia. Bukti samarnya sudah mulai terlihat ketika Arab
Saudi mulai menggalang negara-negara untuk “melawan” Iran. Demikian
juga sebaliknya. Bahkan, beberapa sudah ada yang mendukung secara
vulgar salah satu dari negara tersebut dengan menarik mundur dubes.
Artinya kini, konflik tak lagi terjadi antara dua negara, tetapi sudah
mulai dikerumuni banyak negara.
Kita perlu belajar bahwa perang akbar di jagat ini mulanya diawali dengan kisah sepele yang dibiarkan berlarut-larut, dipelihara, dibesarkan, dan diaduk sedemikian rupa. Ketika emosi sudah memuncak, sedikit saja pemicunya berkelindan, emosi pun akan meledak-ledak tak terelakkan. Perang Dunia I, misalnya, dipicu oleh kematian seorang manusia akibat penembakan kepada Archduke Franz Ferdinand, tetapi perang ini kemudian justru mengakibatkan berjuta-juta kematian, berjuta-juta tersiksa, bangunan-bangunan yang bahkan sudah didirikan bertahun-tahun pun harus menjadi tempat runtuhan bom. Kerugiannya tak terkira.
Unik dan Rumit
Demikian juga Perang Dunia II hanya diakibatkan oleh segelintir orang, yaitu para pemangku jabatan, seperti Adolf Hitler. Tetapi, perang yang dikecamukkan oleh segelintir orang ini terbukti malah menumbalkan beberapa orang yang sama sekali tak tahu apa itu perang. Dan sialnya, perang, di mana pun itu, tak akan menghasilkan apa-apa, kecuali kerusakan dan kematian. Perang hanya akan melahirkan penaklukan, bukan kedamaian. Celakanya pula, kedamaian tak akan pernah diraih sebelum ada yang kalah total.
Yang lagi-lagi patut menjadi kewaspadaan kita adalah karena konflik Iran-Saudi ini unik dan rumit. Dikatakan demikian karena memang terjepit di antara konflik negara dan mazhab agama. Kita tahu, agama, di mana pun itu, sangat sensitif, juga agresif. Agama bisa membutakan sehingga karenanya kematian demi kematian sering tersaji. Bahkan lagi, seringkali kematian itu dianggap sebagai yang suci. Karena suci, perang pun menjadi sesuatu yang halal dan kerap diartikan sebagai amanah. Perang Salib menjadi contoh konkret untuk ini.
Lagi-lagi harus diperingatkan bahwa agama sangat-sangat sensitif dan agresif. Yang sebatang, tetapi beda ruas (ibarat bambu) bisa menjadi musuh bebuyutan. Protestan dan Katolik, misalnya, pernah menjadi saudara tiri yang saling menolak dan saling memerangi. Padahal, sejatinya mereka menyembah Tuhan yang sama, bahkan dengan cara yang identik.
Tetapi begitulah perang, apalagi kalau itu menyangkut agama. Titik temu yang gampang dicari seringkali malah yang didapati adalah titik perang yang sejujurnya susah dicari. Tak ada logikanya karena memang nalarnya lebih pada pembalikan alur berpikir: dari yang dulunya kekuatan logika menjadi logika kekuatan.
Simak saja perang Protestan dan Katolik. Konflik ini bermula dari segelintir orang: Holy Roman Empire, Kaisar Frederick II (Katolik) dengan pangeran penguasa negara-negara kecil yang menganut Calvinist-Lutheran. Perang, sejatinya lebih cocok disebut konflik, yang bermula dari personal mendadak menjadi perang saudara. Lama-kelamaan menjadi perang dua kubu besar: Katolik dan Protestan. Perang ini kemudian berhenti setelah kehabisan uang, senjata, dan manusia. Tak ada yang kalah, tak ada juga yang menang, dan hasilnya pun tak ada, itulah perang.
Maka itu, siapa pun kita, harus mendukung perdamaian antara Iran dan Saudi. Jangan malah nyerocos mendukung yang satu dan mengunjam yang lain. Mendukung yang satu akan membuat kita pada posisi memusuhi yang lain. Dan celakanya, efeknya ganda karena dengan posisi ini, kita sudah menempatkan diri di medan perang. Akan ada yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang akan membenci kita.
Membawa Damai
Jadi, yang harus kita lakukan adalah mendukung perdamaian di kedua pihak. Kita harus menyumbat agar tidak ada negara atau oknum-oknmum lain yang semakin memperkeruh keadaan. Sebab, kita tahu dengan terang, di sebuah perang, para oportunis akan memanfaatkan perang, entah itu melalui politik adu domba yang tersamar atau pun yang vulgar. Simak saja beberapa komentar di media sosial. Sudah ada yang menduga bahwa kini, meski Israel dan Arab saling memusuhi, tetapi mereka kini saling membantu untuk memusnahkan Iran.
Ya, kita memang sangat menyesal melihat peradaban kita sejauh ini semakin mundur. Kita semakin sering belajar untuk menjadi problem solver, tetapi outputnya justru menjadi problem maker. Buktinya, konflik kecil dibuat menjadi konflik besar yang mendekati barbar. Sudah nyata bagi kita bahwa konflik Iran dan Saudi kali ini hanyalah masalah sepele. Beda pemahaman dan kebetulan beda masyarakat pula. Iran didominasi Syiah dan Arab sebaliknya.
Dan, konflik di antara mereka pun hanya luberan dari konflik lain. Mereka hanya memperkeruh masalah orang lain. Mereka adu jotos dengan menggunakan tangan orang lain. Suriah, Bahrain, dan Yamanlah, misalnya, yang berperang, tetapi di baliknya, Iran dan Saudi memancing di air keruh. Kadang Saudi mendukung pemerintah dan Iran mendukung oposisinya. Begitu juga sebaliknya. Fenomena seperti inilah yang harus kita hindari. Sebab, kalau tidak, masalah sepele bisa menjadi masalah besar.
Di sisi lain, kita juga perlu harus berterus terang. Tak usah menyimpan dendam. Dendam yang disimpan, entah oleh kita, apalagi oleh orang lain, harus ditempatkan pada tempat yang terang. Harus dibicarakan dan dirundingkan, tanpa bermaksud mengintimidasi dan mengintai. Jangan disimpan dan dipelihara. Seperti tadi, ketika emosi disimpan, sedikit saja pemicunya berkelindan, emosi akan meledak-ledak.
Maksud saya mengetengahkan ini adalah agar kita tak memanasi keadaan. Agar tak memperunyam keadaan. Kita tahu, konflik ini bermula dari eksekusi mati terhadap salah satu tokoh Syiah terkemuka di Arab Saudi, Nimr al-Nimr. Eksekusi ini memancing emosi yang meledak-ledak dari komunitas-komunitas Syiah, khususnya di Iran sebagai negara yang mayoritas penduduknya bersekte Syiah, hingga terjadi aksi penyerangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran yang berbuntut pada pemutusan diplomatik di antara kedua negara.
Sebelum diakhiri, ini perlu ditanyakan: apalah peran kita terhadap perdamaian kalau, toh, pada akhirnya kita diam? Apa pula keistimewaan kita daripada yang lain kalau kemudian memilih yang satu dan merubuhkan yang lain? Kita harus datang membawa damai, bukan membuka tabir perang terbuka! ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak).
Kita perlu belajar bahwa perang akbar di jagat ini mulanya diawali dengan kisah sepele yang dibiarkan berlarut-larut, dipelihara, dibesarkan, dan diaduk sedemikian rupa. Ketika emosi sudah memuncak, sedikit saja pemicunya berkelindan, emosi pun akan meledak-ledak tak terelakkan. Perang Dunia I, misalnya, dipicu oleh kematian seorang manusia akibat penembakan kepada Archduke Franz Ferdinand, tetapi perang ini kemudian justru mengakibatkan berjuta-juta kematian, berjuta-juta tersiksa, bangunan-bangunan yang bahkan sudah didirikan bertahun-tahun pun harus menjadi tempat runtuhan bom. Kerugiannya tak terkira.
Unik dan Rumit
Demikian juga Perang Dunia II hanya diakibatkan oleh segelintir orang, yaitu para pemangku jabatan, seperti Adolf Hitler. Tetapi, perang yang dikecamukkan oleh segelintir orang ini terbukti malah menumbalkan beberapa orang yang sama sekali tak tahu apa itu perang. Dan sialnya, perang, di mana pun itu, tak akan menghasilkan apa-apa, kecuali kerusakan dan kematian. Perang hanya akan melahirkan penaklukan, bukan kedamaian. Celakanya pula, kedamaian tak akan pernah diraih sebelum ada yang kalah total.
Yang lagi-lagi patut menjadi kewaspadaan kita adalah karena konflik Iran-Saudi ini unik dan rumit. Dikatakan demikian karena memang terjepit di antara konflik negara dan mazhab agama. Kita tahu, agama, di mana pun itu, sangat sensitif, juga agresif. Agama bisa membutakan sehingga karenanya kematian demi kematian sering tersaji. Bahkan lagi, seringkali kematian itu dianggap sebagai yang suci. Karena suci, perang pun menjadi sesuatu yang halal dan kerap diartikan sebagai amanah. Perang Salib menjadi contoh konkret untuk ini.
Lagi-lagi harus diperingatkan bahwa agama sangat-sangat sensitif dan agresif. Yang sebatang, tetapi beda ruas (ibarat bambu) bisa menjadi musuh bebuyutan. Protestan dan Katolik, misalnya, pernah menjadi saudara tiri yang saling menolak dan saling memerangi. Padahal, sejatinya mereka menyembah Tuhan yang sama, bahkan dengan cara yang identik.
Tetapi begitulah perang, apalagi kalau itu menyangkut agama. Titik temu yang gampang dicari seringkali malah yang didapati adalah titik perang yang sejujurnya susah dicari. Tak ada logikanya karena memang nalarnya lebih pada pembalikan alur berpikir: dari yang dulunya kekuatan logika menjadi logika kekuatan.
Simak saja perang Protestan dan Katolik. Konflik ini bermula dari segelintir orang: Holy Roman Empire, Kaisar Frederick II (Katolik) dengan pangeran penguasa negara-negara kecil yang menganut Calvinist-Lutheran. Perang, sejatinya lebih cocok disebut konflik, yang bermula dari personal mendadak menjadi perang saudara. Lama-kelamaan menjadi perang dua kubu besar: Katolik dan Protestan. Perang ini kemudian berhenti setelah kehabisan uang, senjata, dan manusia. Tak ada yang kalah, tak ada juga yang menang, dan hasilnya pun tak ada, itulah perang.
Maka itu, siapa pun kita, harus mendukung perdamaian antara Iran dan Saudi. Jangan malah nyerocos mendukung yang satu dan mengunjam yang lain. Mendukung yang satu akan membuat kita pada posisi memusuhi yang lain. Dan celakanya, efeknya ganda karena dengan posisi ini, kita sudah menempatkan diri di medan perang. Akan ada yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang akan membenci kita.
Membawa Damai
Jadi, yang harus kita lakukan adalah mendukung perdamaian di kedua pihak. Kita harus menyumbat agar tidak ada negara atau oknum-oknmum lain yang semakin memperkeruh keadaan. Sebab, kita tahu dengan terang, di sebuah perang, para oportunis akan memanfaatkan perang, entah itu melalui politik adu domba yang tersamar atau pun yang vulgar. Simak saja beberapa komentar di media sosial. Sudah ada yang menduga bahwa kini, meski Israel dan Arab saling memusuhi, tetapi mereka kini saling membantu untuk memusnahkan Iran.
Ya, kita memang sangat menyesal melihat peradaban kita sejauh ini semakin mundur. Kita semakin sering belajar untuk menjadi problem solver, tetapi outputnya justru menjadi problem maker. Buktinya, konflik kecil dibuat menjadi konflik besar yang mendekati barbar. Sudah nyata bagi kita bahwa konflik Iran dan Saudi kali ini hanyalah masalah sepele. Beda pemahaman dan kebetulan beda masyarakat pula. Iran didominasi Syiah dan Arab sebaliknya.
Dan, konflik di antara mereka pun hanya luberan dari konflik lain. Mereka hanya memperkeruh masalah orang lain. Mereka adu jotos dengan menggunakan tangan orang lain. Suriah, Bahrain, dan Yamanlah, misalnya, yang berperang, tetapi di baliknya, Iran dan Saudi memancing di air keruh. Kadang Saudi mendukung pemerintah dan Iran mendukung oposisinya. Begitu juga sebaliknya. Fenomena seperti inilah yang harus kita hindari. Sebab, kalau tidak, masalah sepele bisa menjadi masalah besar.
Di sisi lain, kita juga perlu harus berterus terang. Tak usah menyimpan dendam. Dendam yang disimpan, entah oleh kita, apalagi oleh orang lain, harus ditempatkan pada tempat yang terang. Harus dibicarakan dan dirundingkan, tanpa bermaksud mengintimidasi dan mengintai. Jangan disimpan dan dipelihara. Seperti tadi, ketika emosi disimpan, sedikit saja pemicunya berkelindan, emosi akan meledak-ledak.
Maksud saya mengetengahkan ini adalah agar kita tak memanasi keadaan. Agar tak memperunyam keadaan. Kita tahu, konflik ini bermula dari eksekusi mati terhadap salah satu tokoh Syiah terkemuka di Arab Saudi, Nimr al-Nimr. Eksekusi ini memancing emosi yang meledak-ledak dari komunitas-komunitas Syiah, khususnya di Iran sebagai negara yang mayoritas penduduknya bersekte Syiah, hingga terjadi aksi penyerangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran yang berbuntut pada pemutusan diplomatik di antara kedua negara.
Sebelum diakhiri, ini perlu ditanyakan: apalah peran kita terhadap perdamaian kalau, toh, pada akhirnya kita diam? Apa pula keistimewaan kita daripada yang lain kalau kemudian memilih yang satu dan merubuhkan yang lain? Kita harus datang membawa damai, bukan membuka tabir perang terbuka! ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak).
0 comments:
Post a Comment