Sunday, 21 February 2016

Mewaspadai Perang Terbuka Saudi-Iran


Url Berita


Oleh: Riduan Situmorang.
Kita patut waspada terhadap konflik yang kini mendera Iran dan Saudi. Kalau tak sigap, perang ini akan melu­ber menjadi perang global, bisa juga men­jadi perang dunia. Bukti samarnya sudah mu­lai terlihat ketika Arab Saudi mulai meng­galang negara-negara untuk “mela­wan” Iran. De­mi­kian juga sebaliknya. Bah­kan, beberapa su­dah ada yang mendukung se­cara vulgar salah satu dari negara tersebut de­ngan me­narik mundur dubes. Artinya kini, konflik tak lagi terjadi antara dua ne­gara, tetapi sudah mulai dikerumuni ba­nyak negara.

Kita perlu belajar bahwa perang akbar di jagat ini mulanya diawali dengan kisah sepele yang dibiarkan berlarut-larut, dipelihara, dibesarkan, dan diaduk sedemi­kian rupa. Ketika emosi sudah memuncak, sedikit saja pemicunya berkelindan, emosi pun akan meledak-ledak tak terelakkan. Perang Dunia I, misalnya, dipicu oleh ke­ma­tian seorang manusia akibat penem­bakan kepada Archduke Franz Ferdinand, tetapi perang ini kemudian justru meng­akibatkan berjuta-juta kematian, berjuta-juta tersiksa, bangunan-bangunan yang bah­kan sudah didirikan bertahun-tahun pun ha­rus menjadi tempat runtuhan bom. Ke­rugiannya tak terkira.

Unik dan Rumit

Demikian juga Perang Dunia II hanya dia­kibatkan oleh segelintir orang, yaitu para pemangku jabatan, seperti Adolf Hitler. Tetapi, perang yang dikecamukkan oleh segelintir orang ini terbukti malah me­numbalkan beberapa orang yang sama se­kali tak tahu apa itu perang. Dan sialnya, pe­rang, di mana pun itu, tak akan meng­hasilkan apa-apa, kecuali kerusakan dan ke­matian. Perang hanya akan melahirkan penaklukan, bukan kedamaian. Celakanya pula, kedamaian tak akan pernah diraih sebelum ada yang kalah total.

Yang lagi-lagi patut menjadi kewas­pa­daan kita adalah karena konflik Iran-Saudi ini unik dan rumit. Dikatakan demikian ka­rena memang terjepit di antara konflik ne­gara dan mazhab agama. Kita tahu, aga­ma, di mana pun itu, sangat sensitif, juga agresif. Agama bisa membutakan se­hingga ka­renanya kematian demi kematian se­ring tersaji. Bahkan lagi, seringkali ke­matian itu dianggap sebagai yang suci. Ka­rena suci, perang pun menjadi sesuatu yang halal dan kerap diartikan sebagai ama­nah. Perang Salib menjadi contoh konkret untuk ini.

Lagi-lagi harus diperingatkan bahwa agama sangat-sangat sensitif dan agresif. Yang sebatang, tetapi beda ruas (ibarat bambu) bisa menjadi musuh bebuyutan. Protestan dan Katolik, misalnya, pernah menjadi saudara tiri yang saling menolak dan saling memerangi. Padahal, sejatinya mereka menyembah Tuhan yang sama, bahkan dengan cara yang identik.

Tetapi begitulah perang, apalagi kalau itu menyangkut agama. Titik temu yang gampang dicari seringkali malah yang didapati adalah titik perang yang seju­jur­nya susah dicari. Tak ada logikanya karena memang nalarnya lebih pada pembalikan alur berpikir: dari yang dulunya kekuatan logika menjadi logika kekuatan.

Simak saja perang Protestan dan Ka­tolik. Konflik ini bermula dari segelintir orang: Holy Roman Empire, Kaisar Fre­de­rick II (Katolik) dengan pangeran pe­nguasa negara-negara kecil yang menganut Calvinist-Lutheran. Perang, sejatinya lebih co­cok disebut konflik, yang bermula dari per­sonal mendadak menjadi perang sau­dara. Lama-kelamaan menjadi perang dua kubu besar: Katolik dan Protestan. Perang ini kemudian berhenti setelah kehabisan uang, senjata, dan manusia. Tak ada yang ka­lah, tak ada juga yang menang, dan ha­silnya pun tak ada, itulah perang.

Maka itu, siapa pun kita, harus men­du­kung perdamaian antara Iran dan Saudi. Jangan malah nyerocos mendukung yang satu dan mengunjam yang lain. Mendu­kung yang satu akan membuat kita pada posisi memusuhi yang lain. Dan celakanya, efeknya ganda karena dengan posisi ini, kita sudah menempatkan diri di medan perang. Akan ada yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang akan membenci kita.

Membawa Damai

Jadi, yang harus kita lakukan adalah men­dukung perdamaian di kedua pihak. Kita harus menyumbat agar tidak ada ne­gara atau oknum-oknmum lain yang se­makin memperkeruh keadaan. Sebab, kita tahu dengan terang, di sebuah perang, para oportunis akan memanfaatkan perang, en­tah itu melalui politik adu domba yang tersamar atau pun yang vulgar. Simak saja beberapa komentar di media sosial. Sudah ada yang menduga bahwa kini, meski Israel dan Arab saling memusuhi, tetapi me­reka kini saling membantu untuk me­mus­nahkan Iran.

Ya, kita memang sangat menyesal me­lihat peradaban kita sejauh ini semakin mun­dur. Kita semakin sering belajar untuk men­jadi problem solver, tetapi outputnya justru menjadi problem maker. Buktinya, konflik kecil dibuat menjadi konflik besar yang mendekati barbar. Sudah nyata bagi kita bahwa konflik Iran dan Saudi kali ini ha­nyalah masalah sepele. Beda pema­ha­man dan kebetulan beda masyarakat pula. Iran didominasi Syiah dan Arab sebalik­nya.

Dan, konflik di antara mereka pun hanya luberan dari konflik lain. Mereka hanya mem­perkeruh masalah orang lain. Mereka adu jotos dengan menggunakan tangan orang lain. Suriah, Bahrain, dan Yamanlah, misalnya, yang berperang, tetapi di baliknya, Iran dan Saudi memancing di air keruh. Kadang Saudi mendukung peme­rin­tah dan Iran mendukung oposisinya. Be­gitu juga sebaliknya. Fenomena seperti ini­lah yang harus kita hindari. Sebab, kalau tidak, masalah sepele bisa menjadi masalah besar.

Di sisi lain, kita juga perlu harus berterus terang. Tak usah menyimpan dendam. Dendam yang disimpan, entah oleh kita, apalagi oleh orang lain, harus ditempatkan pada tempat yang terang. Harus dibica­ra­kan dan dirundingkan, tanpa bermaksud meng­intimidasi dan mengintai. Jangan di­simpan dan dipelihara. Seperti tadi, ketika emosi disimpan, sedikit saja pemicunya berkelindan, emosi akan meledak-ledak.

Maksud saya mengetengahkan ini ada­lah agar kita tak memanasi kea­daan. Agar tak memperunyam keadaan. Kita tahu, konflik ini bermula dari eksekusi mati terhadap salah satu tokoh Syiah terkemuka di Arab Saudi, Nimr al-Nimr. Eksekusi ini me­mancing emosi yang meledak-ledak dari ko­munitas-komunitas Syiah, khusus­nya di Iran sebagai negara yang mayoritas pen­du­duknya bersekte Syiah, hingga ter­jadi aksi penyerangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran yang berbuntut pada pemutusan diplomatik di antara kedua negara.

Sebelum diakhiri, ini perlu ditanyakan: apalah peran kita terhadap perdamaian kalau, toh, pada akhirnya kita diam? Apa pula keistimewaan kita daripada yang lain kalau kemudian memilih yang satu dan merubuhkan yang lain? Kita harus datang membawa damai, bukan membuka tabir perang terbuka! ***

Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak).

0 comments: