Sunday, 21 February 2016

Mengkritisi Kapsul Waktu ala Jokowi

Di punghujung tahun, Jokowi bikin kagetan baru dengan me­­luncurkan Kap­­sul Waktu­nya di Merau­ke, Papua. Syukurlah itu di­lun­curkan di Papua karena secara simbolis, ini mene­guhkan bahwa ke depan, Pa­pua menjadi aktor penting Indonesia di percaturan inter­nasional. Bahwa ke depan Indonesia punya mimpi besar itu dilakukan dengan salah satunya mengandalkan Pa­pua. Mudah-mudahan hasil­nya kelak tidak melupakan dan menelantarkan Papua seperti yang selama ini sudah terjadi berulang-ulang dan bertahun-tahun. Apa pasal tentang Kapsul Waktu?

Kapsul Waktu adalah se­bu­ah ekspedisi. Di sana ada ri­tus perjalanan yang idealnya (dan itu sudah dilakukan) ha­rus menempuh setiap da­erah Indonesia. Kapsul Waktu ini memuat impian-impian rak­yat Indonesia yang dihim­pun dari berbagai daerah. Kapsul Waktu ini dibuat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Ayo Kerja. Bermula dari Aceh hingga kemudian diku­kuh­kan di Papua. Sung­guh se­buah simbol yang pada mak­na. Apalagi konon, eks­pe­disi Kapsul Waktu ini di­sam­but se­cara meriah di ber­bagai da­erah. Pertanyaannya, apa­kah kapsul waktu ini ke­lak akan pada karya, atau, cukup ha­nya padat makna dan sim­bol?

Kata Abdee seperti dikutip siaran pers dari Tim Komu­nikasi Kepresidenan, Rabu (30/12/2015) “Agar bisa be­kerja dengan semangat ting­gi, kita harus memiliki im­pian yang dikejar. Ekspedisi ini me­miliki misi me­ngum­­­pul­kan dan me­ra­­jut impian selu­ruh bangsa In­­donesia dari Sabang sam­pai Merauke dan menya­tu­kannya sehingga kita me­mi­liki impian bersama yang men­jadi penyemangat gene­ra­si muda Indonesia un­tuk be­kerja berjuang menge­jar im­piannya yaitu Impian In­do­nesia.” Konon, kapsul ini akan dibuka pada tahun 2085, atau sekitar 70 tahun lagi.

Kelupaan dan Menyimpang

Sebelum dibuka, marilah mencermati (maksud saya: mengkritisi) poin-poin pen­ting yang sudah diguratkan oleh Jokowi pada Kapsul Waktu itu. Ini perlu dicermati karena agaknya ada yang kelupaan, bahkan mungkin menyimpang. Setidaknya, ada tujuh impian yang dituliskan Jokowi. Mengapa tujuh? Apa­kah ini semata simbol? Atau, apakah ini pemadatan sehing­ga karena pemadatan, ada yang kelupaan atau ada yang diintisarikan terlalu dalam sehingga intinya malah sumir dan lari dari jalur?

Baik dikutipkan di sini ke­tujuh impian Jokowi (Indo­ne­sia) itu di sini! Pertama, SDM Indonesia yang kecer­dasan­nya mengungguli bang­sa-bang­­sa lain di dunia. Ke­dua, ma­syarakat Indonesia yang menjunjung tinggi plura­lisme, ber­budaya, religius, dan men­junjung nilai-nilai etika. Ke­tiga, Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Ke­empat, masyarakat dan apara­tur pe­me­rintah yang bebas dari pe­ri­laku korupsi. Kelima, ter­ba­ngunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indo­nesia. Ke­enam, Indonesia men­jadi negara yang man­diri dan pa­­­ling ber­pe­nga­ruh di Asia Pasifik. Dan, ke­tujuh, In­do­­ne­sia men­­jadi ba­ro­meter per­­­tum­bu­han eko­nomi du­nia.

Se­kilas, bahasa-ba­hasa di atas sangat vulgar menan­das­kan impian besar Indo­nesia ke depan. Tetapi, intinya bu­kan guratan, me­lainkan ba­gai­­mana itu akan dicapai. Di si­ni­lah dibu­tuh­kan lang­kah-lang­kah teknis. Untuk yang per­tama, misal­nya, (se­ka­dar meng­kritisi satu soal saja) un­tuk membuat kecer­dasan In­do­nesia me­ngungguli bangsa-bang­sa lain di dunia, bagai­ma­na itu akan dilaku­kan? Apa­kah cukup dengan gonta-gan­ti kuri­ku­lum yang tak jelas jun­tru­ngannya seper­ti selama ini? Bagaimana kita akan cer­das kalau melulu menye­ra­gam­kan dan tak meng­hormati pri­badi tiap pribadi?

Jangankan menghormati, kita justru memberi stigma demi stigma dengan memberi peringkat antara sekolah yang satu dengan sekolah lain. Ada sekolah unggulan, ada akre­ditasi ini dan itu, ada negeri, ada swasta. Ditinjau lebih dalam, ada kelas unggulan, ada kelas tampungan. Di lihat lebih jauh, ada siswa yang juara satu, ada juara paling buncit. Bukankah ini pengas­taan, bahkan merupakan ba­gian bentuk penghinaan kepa­da pribadi tiap pribadi? Bu­kan­kah mestinya setiap siswa adalah juara satu karena itu tak perlu dibuat peringkatnya seperti yang kini dilakukan oleh Finlandia?

Lagipula, bagaimana kita menentukan juara satu antara pribadi berbobot akademisi dengan pribadi berbobot atletik? Sudah jelas kalah pribadi berbobot akademisi. Maksud saya menge­tengah­kan ini adalah, demi terca­painya Indonesia yang cerdas dan unggul, sudah semestinya kita membuat desain baru kurikulum yang meng­hilang­kan “daya saing” antara aka­de­misi dengan atletik, artistik, arsitek, dan sebagainya. Kita harus kembali pada logika yang benar bahwa setiap pri­ba­di itu berharga. Setiap pri­ba­di itu juara satu. Jadi, tak per­lu pemeringkatan karena itu bentuk lain dari tidak menghargai pribadi yang lain.

Sesungguhnya, banyak yang perlu dikritisi dari Kap­sul Waktu. Bukan karena itu mengandung cita-cita vulgar yang mungkin hiporbalis, melainkan karena Kapsul Waktu ini masih normatif, belum teknis. Barangkali di benak para pemikir Kapsul Waktu sudah ada beberapa langkah teknis yang akan dibuat. Nah, kalau itu sudah ada, perlu kiranya dite­rang­ben­derangkan agar rakyat mempunyai modal dan ima­ji­nasi tersendiri bagaimana ca­ra agar sampai ke sana. Ba­gai­manapun, untuk sampai ke sana perlu kerja sama dengan rakyat. Pemikir dan peme­rintah saja tak cukup.

Tiga Hal Lain

Dan, yang paling utama selain langkah teknis, mung­kin karena pemadatan agar tepat tujuh, ada beberapa bagian yang mestinya harus, tetapi malah “dihilangkan”.

Pertama, Jokowi kita ke­nal dengan sikap kerjanya. Mo­t­to­­­­nya adalah ayo kerja, ker­­­ja, kerja. Motto yang re­du­­­pli­katif ini menandaskan se­­­bu­ah aja­kan serius untuk be­­­ker­ja. Hasil akhir dari ker­­ja­ ada­lah karya. Ke­ber­ha­­­si­lan se­buah kerja dilihat da­ri pro­­duk­tivitas dan ke­ber­man­­fa­­atan.

Nah, produktivitas ini tak tersebutkan sama sekali. Apa­kah kita hanya melulu kerja, kerja, kerja, tanpa hasil, apa­lagi manfaatnya? Mungkin, seperti kata I Basis Susilo, asumsinya produkitvitas itu adalah kecerdasan menyang­kut kemampuan untuk meng­hadapi dan mengelola kehi­dupan secara bijak, efektif, dan efisien. Tetapi, rasanya perlu disebutkan secara lugas. Jangan sumir dan abstrak!

Kedua, tak ada kata ma­ritim di sana. OK-lah, mari­tim adalah terobosan dan ambisi pribadi Jokowi mela­lui Nawa Citanya. Dan karena itu ambisi pribadi demi ke­in­do­nesiaan yang hebat, itu mutlak haknya dan Jokowi su­dah pasti tak akan hidup sam­pai tahun 2085. Tetapi, ma­ri­tim adalah realitas tak terban­tah­kan. Maritim bukan sabda pri­badi Jokowi. Indonesia di­dominasi air. Maka itu, melu­pakan maritim itu sama arti­nya dengan melupakan reali­tas keindonesiaan kita. Mu­dah-mudahan di Kapsul Wak­tu atau setidaknya di benak para pemikir dekat Jokowi, langkah-langkah teknis men­jadi negara maritim itu ada. Dan kalau belum ada, bagai­mana kalau itu ditambahkan?

Ketiga, impian demokrasi nihil. Apakah cita-cita kita kelak menjadi negara kera­jaan yang dipimpin oleh para kar­­tel? Sebab, kata-kata de­mo­­krasi di sana tidak ada. Ka­ta-kata paling dekat de­ngan­­nya berupa partisipasi rak­­yat, musywarah, kerak­ya­tan, itu pun tak ada. Apakah yang tujuh tadi hanya pema­da­tan?

Mudah-mudahan begitu! Se­­­bab, itu menjadi keharusan ka­­­rena kita harus menerima rea­­­litas dan kita bangga untuk itu di mana Indonesia men­ja­di salah satu negara demo­kra­si­ terhebat di dunia. AS seba­gai negeri digdaya bah­kan me­mu­­ji-muji keber­hasi­lan de­mo­­­krasi kita. Tetapi, me­nga­pa di impian besar hal itu jus­tru ti­­dak ada? Bagai­ma­na­pun itu, ter­­lepas dari pema­datan atau (mu­­dah-mudahan bukan) peng­­­­hila­ngan, kita pantas ber­­syu­kur ka­rena kita telah men­­je­­jak­kan ka­ki seper­ti Tiong­­­kok dan Si­ng­a­pura yang se­­be­­lum­nya ju­ga telah meng­gaung­­kan “kap­sul wak­tu” se­be­­lum akhir­­nya maju seperti saat ini! ***


RIDUAN SITUMORANG
(Konsultan Bahasa di Prosus Inten, Medan)

0 comments: