Di punghujung tahun, Jokowi bikin kagetan baru dengan meluncurkan
Kapsul Waktunya di Merauke, Papua. Syukurlah itu diluncurkan di
Papua karena secara simbolis, ini meneguhkan bahwa ke depan, Papua
menjadi aktor penting Indonesia di percaturan internasional. Bahwa ke
depan Indonesia punya mimpi besar itu dilakukan dengan salah satunya
mengandalkan Papua. Mudah-mudahan hasilnya kelak tidak melupakan dan
menelantarkan Papua seperti yang selama ini sudah terjadi berulang-ulang
dan bertahun-tahun. Apa pasal tentang Kapsul Waktu?
Kapsul Waktu adalah sebuah ekspedisi. Di sana ada ritus perjalanan yang idealnya (dan itu sudah dilakukan) harus menempuh setiap daerah Indonesia. Kapsul Waktu ini memuat impian-impian rakyat Indonesia yang dihimpun dari berbagai daerah. Kapsul Waktu ini dibuat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Ayo Kerja. Bermula dari Aceh hingga kemudian dikukuhkan di Papua. Sungguh sebuah simbol yang pada makna. Apalagi konon, ekspedisi Kapsul Waktu ini disambut secara meriah di berbagai daerah. Pertanyaannya, apakah kapsul waktu ini kelak akan pada karya, atau, cukup hanya padat makna dan simbol?
Kata Abdee seperti dikutip siaran pers dari Tim Komunikasi Kepresidenan, Rabu (30/12/2015) “Agar bisa bekerja dengan semangat tinggi, kita harus memiliki impian yang dikejar. Ekspedisi ini memiliki misi mengumpulkan dan merajut impian seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan menyatukannya sehingga kita memiliki impian bersama yang menjadi penyemangat generasi muda Indonesia untuk bekerja berjuang mengejar impiannya yaitu Impian Indonesia.” Konon, kapsul ini akan dibuka pada tahun 2085, atau sekitar 70 tahun lagi.
Kelupaan dan Menyimpang
Sebelum dibuka, marilah mencermati (maksud saya: mengkritisi) poin-poin penting yang sudah diguratkan oleh Jokowi pada Kapsul Waktu itu. Ini perlu dicermati karena agaknya ada yang kelupaan, bahkan mungkin menyimpang. Setidaknya, ada tujuh impian yang dituliskan Jokowi. Mengapa tujuh? Apakah ini semata simbol? Atau, apakah ini pemadatan sehingga karena pemadatan, ada yang kelupaan atau ada yang diintisarikan terlalu dalam sehingga intinya malah sumir dan lari dari jalur?
Baik dikutipkan di sini ketujuh impian Jokowi (Indonesia) itu di sini! Pertama, SDM Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius, dan menjunjung nilai-nilai etika. Ketiga, Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Keempat, masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi. Kelima, terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Keenam, Indonesia menjadi negara yang mandiri dan paling berpengaruh di Asia Pasifik. Dan, ketujuh, Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Sekilas, bahasa-bahasa di atas sangat vulgar menandaskan impian besar Indonesia ke depan. Tetapi, intinya bukan guratan, melainkan bagaimana itu akan dicapai. Di sinilah dibutuhkan langkah-langkah teknis. Untuk yang pertama, misalnya, (sekadar mengkritisi satu soal saja) untuk membuat kecerdasan Indonesia mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia, bagaimana itu akan dilakukan? Apakah cukup dengan gonta-ganti kurikulum yang tak jelas juntrungannya seperti selama ini? Bagaimana kita akan cerdas kalau melulu menyeragamkan dan tak menghormati pribadi tiap pribadi?
Jangankan menghormati, kita justru memberi stigma demi stigma dengan memberi peringkat antara sekolah yang satu dengan sekolah lain. Ada sekolah unggulan, ada akreditasi ini dan itu, ada negeri, ada swasta. Ditinjau lebih dalam, ada kelas unggulan, ada kelas tampungan. Di lihat lebih jauh, ada siswa yang juara satu, ada juara paling buncit. Bukankah ini pengastaan, bahkan merupakan bagian bentuk penghinaan kepada pribadi tiap pribadi? Bukankah mestinya setiap siswa adalah juara satu karena itu tak perlu dibuat peringkatnya seperti yang kini dilakukan oleh Finlandia?
Lagipula, bagaimana kita menentukan juara satu antara pribadi berbobot akademisi dengan pribadi berbobot atletik? Sudah jelas kalah pribadi berbobot akademisi. Maksud saya mengetengahkan ini adalah, demi tercapainya Indonesia yang cerdas dan unggul, sudah semestinya kita membuat desain baru kurikulum yang menghilangkan “daya saing” antara akademisi dengan atletik, artistik, arsitek, dan sebagainya. Kita harus kembali pada logika yang benar bahwa setiap pribadi itu berharga. Setiap pribadi itu juara satu. Jadi, tak perlu pemeringkatan karena itu bentuk lain dari tidak menghargai pribadi yang lain.
Sesungguhnya, banyak yang perlu dikritisi dari Kapsul Waktu. Bukan karena itu mengandung cita-cita vulgar yang mungkin hiporbalis, melainkan karena Kapsul Waktu ini masih normatif, belum teknis. Barangkali di benak para pemikir Kapsul Waktu sudah ada beberapa langkah teknis yang akan dibuat. Nah, kalau itu sudah ada, perlu kiranya diterangbenderangkan agar rakyat mempunyai modal dan imajinasi tersendiri bagaimana cara agar sampai ke sana. Bagaimanapun, untuk sampai ke sana perlu kerja sama dengan rakyat. Pemikir dan pemerintah saja tak cukup.
Tiga Hal Lain
Dan, yang paling utama selain langkah teknis, mungkin karena pemadatan agar tepat tujuh, ada beberapa bagian yang mestinya harus, tetapi malah “dihilangkan”.
Pertama, Jokowi kita kenal dengan sikap kerjanya. Mottonya adalah ayo kerja, kerja, kerja. Motto yang reduplikatif ini menandaskan sebuah ajakan serius untuk bekerja. Hasil akhir dari kerja adalah karya. Keberhasilan sebuah kerja dilihat dari produktivitas dan kebermanfaatan.
Nah, produktivitas ini tak tersebutkan sama sekali. Apakah kita hanya melulu kerja, kerja, kerja, tanpa hasil, apalagi manfaatnya? Mungkin, seperti kata I Basis Susilo, asumsinya produkitvitas itu adalah kecerdasan menyangkut kemampuan untuk menghadapi dan mengelola kehidupan secara bijak, efektif, dan efisien. Tetapi, rasanya perlu disebutkan secara lugas. Jangan sumir dan abstrak!
Kedua, tak ada kata maritim di sana. OK-lah, maritim adalah terobosan dan ambisi pribadi Jokowi melalui Nawa Citanya. Dan karena itu ambisi pribadi demi keindonesiaan yang hebat, itu mutlak haknya dan Jokowi sudah pasti tak akan hidup sampai tahun 2085. Tetapi, maritim adalah realitas tak terbantahkan. Maritim bukan sabda pribadi Jokowi. Indonesia didominasi air. Maka itu, melupakan maritim itu sama artinya dengan melupakan realitas keindonesiaan kita. Mudah-mudahan di Kapsul Waktu atau setidaknya di benak para pemikir dekat Jokowi, langkah-langkah teknis menjadi negara maritim itu ada. Dan kalau belum ada, bagaimana kalau itu ditambahkan?
Ketiga, impian demokrasi nihil. Apakah cita-cita kita kelak menjadi negara kerajaan yang dipimpin oleh para kartel? Sebab, kata-kata demokrasi di sana tidak ada. Kata-kata paling dekat dengannya berupa partisipasi rakyat, musywarah, kerakyatan, itu pun tak ada. Apakah yang tujuh tadi hanya pemadatan?
Mudah-mudahan begitu! Sebab, itu menjadi keharusan karena kita harus menerima realitas dan kita bangga untuk itu di mana Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terhebat di dunia. AS sebagai negeri digdaya bahkan memuji-muji keberhasilan demokrasi kita. Tetapi, mengapa di impian besar hal itu justru tidak ada? Bagaimanapun itu, terlepas dari pemadatan atau (mudah-mudahan bukan) penghilangan, kita pantas bersyukur karena kita telah menjejakkan kaki seperti Tiongkok dan Singapura yang sebelumnya juga telah menggaungkan “kapsul waktu” sebelum akhirnya maju seperti saat ini! ***
RIDUAN SITUMORANG
(Konsultan Bahasa di Prosus Inten, Medan)
Kapsul Waktu adalah sebuah ekspedisi. Di sana ada ritus perjalanan yang idealnya (dan itu sudah dilakukan) harus menempuh setiap daerah Indonesia. Kapsul Waktu ini memuat impian-impian rakyat Indonesia yang dihimpun dari berbagai daerah. Kapsul Waktu ini dibuat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Ayo Kerja. Bermula dari Aceh hingga kemudian dikukuhkan di Papua. Sungguh sebuah simbol yang pada makna. Apalagi konon, ekspedisi Kapsul Waktu ini disambut secara meriah di berbagai daerah. Pertanyaannya, apakah kapsul waktu ini kelak akan pada karya, atau, cukup hanya padat makna dan simbol?
Kata Abdee seperti dikutip siaran pers dari Tim Komunikasi Kepresidenan, Rabu (30/12/2015) “Agar bisa bekerja dengan semangat tinggi, kita harus memiliki impian yang dikejar. Ekspedisi ini memiliki misi mengumpulkan dan merajut impian seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan menyatukannya sehingga kita memiliki impian bersama yang menjadi penyemangat generasi muda Indonesia untuk bekerja berjuang mengejar impiannya yaitu Impian Indonesia.” Konon, kapsul ini akan dibuka pada tahun 2085, atau sekitar 70 tahun lagi.
Kelupaan dan Menyimpang
Sebelum dibuka, marilah mencermati (maksud saya: mengkritisi) poin-poin penting yang sudah diguratkan oleh Jokowi pada Kapsul Waktu itu. Ini perlu dicermati karena agaknya ada yang kelupaan, bahkan mungkin menyimpang. Setidaknya, ada tujuh impian yang dituliskan Jokowi. Mengapa tujuh? Apakah ini semata simbol? Atau, apakah ini pemadatan sehingga karena pemadatan, ada yang kelupaan atau ada yang diintisarikan terlalu dalam sehingga intinya malah sumir dan lari dari jalur?
Baik dikutipkan di sini ketujuh impian Jokowi (Indonesia) itu di sini! Pertama, SDM Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius, dan menjunjung nilai-nilai etika. Ketiga, Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Keempat, masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi. Kelima, terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Keenam, Indonesia menjadi negara yang mandiri dan paling berpengaruh di Asia Pasifik. Dan, ketujuh, Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Sekilas, bahasa-bahasa di atas sangat vulgar menandaskan impian besar Indonesia ke depan. Tetapi, intinya bukan guratan, melainkan bagaimana itu akan dicapai. Di sinilah dibutuhkan langkah-langkah teknis. Untuk yang pertama, misalnya, (sekadar mengkritisi satu soal saja) untuk membuat kecerdasan Indonesia mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia, bagaimana itu akan dilakukan? Apakah cukup dengan gonta-ganti kurikulum yang tak jelas juntrungannya seperti selama ini? Bagaimana kita akan cerdas kalau melulu menyeragamkan dan tak menghormati pribadi tiap pribadi?
Jangankan menghormati, kita justru memberi stigma demi stigma dengan memberi peringkat antara sekolah yang satu dengan sekolah lain. Ada sekolah unggulan, ada akreditasi ini dan itu, ada negeri, ada swasta. Ditinjau lebih dalam, ada kelas unggulan, ada kelas tampungan. Di lihat lebih jauh, ada siswa yang juara satu, ada juara paling buncit. Bukankah ini pengastaan, bahkan merupakan bagian bentuk penghinaan kepada pribadi tiap pribadi? Bukankah mestinya setiap siswa adalah juara satu karena itu tak perlu dibuat peringkatnya seperti yang kini dilakukan oleh Finlandia?
Lagipula, bagaimana kita menentukan juara satu antara pribadi berbobot akademisi dengan pribadi berbobot atletik? Sudah jelas kalah pribadi berbobot akademisi. Maksud saya mengetengahkan ini adalah, demi tercapainya Indonesia yang cerdas dan unggul, sudah semestinya kita membuat desain baru kurikulum yang menghilangkan “daya saing” antara akademisi dengan atletik, artistik, arsitek, dan sebagainya. Kita harus kembali pada logika yang benar bahwa setiap pribadi itu berharga. Setiap pribadi itu juara satu. Jadi, tak perlu pemeringkatan karena itu bentuk lain dari tidak menghargai pribadi yang lain.
Sesungguhnya, banyak yang perlu dikritisi dari Kapsul Waktu. Bukan karena itu mengandung cita-cita vulgar yang mungkin hiporbalis, melainkan karena Kapsul Waktu ini masih normatif, belum teknis. Barangkali di benak para pemikir Kapsul Waktu sudah ada beberapa langkah teknis yang akan dibuat. Nah, kalau itu sudah ada, perlu kiranya diterangbenderangkan agar rakyat mempunyai modal dan imajinasi tersendiri bagaimana cara agar sampai ke sana. Bagaimanapun, untuk sampai ke sana perlu kerja sama dengan rakyat. Pemikir dan pemerintah saja tak cukup.
Tiga Hal Lain
Dan, yang paling utama selain langkah teknis, mungkin karena pemadatan agar tepat tujuh, ada beberapa bagian yang mestinya harus, tetapi malah “dihilangkan”.
Pertama, Jokowi kita kenal dengan sikap kerjanya. Mottonya adalah ayo kerja, kerja, kerja. Motto yang reduplikatif ini menandaskan sebuah ajakan serius untuk bekerja. Hasil akhir dari kerja adalah karya. Keberhasilan sebuah kerja dilihat dari produktivitas dan kebermanfaatan.
Nah, produktivitas ini tak tersebutkan sama sekali. Apakah kita hanya melulu kerja, kerja, kerja, tanpa hasil, apalagi manfaatnya? Mungkin, seperti kata I Basis Susilo, asumsinya produkitvitas itu adalah kecerdasan menyangkut kemampuan untuk menghadapi dan mengelola kehidupan secara bijak, efektif, dan efisien. Tetapi, rasanya perlu disebutkan secara lugas. Jangan sumir dan abstrak!
Kedua, tak ada kata maritim di sana. OK-lah, maritim adalah terobosan dan ambisi pribadi Jokowi melalui Nawa Citanya. Dan karena itu ambisi pribadi demi keindonesiaan yang hebat, itu mutlak haknya dan Jokowi sudah pasti tak akan hidup sampai tahun 2085. Tetapi, maritim adalah realitas tak terbantahkan. Maritim bukan sabda pribadi Jokowi. Indonesia didominasi air. Maka itu, melupakan maritim itu sama artinya dengan melupakan realitas keindonesiaan kita. Mudah-mudahan di Kapsul Waktu atau setidaknya di benak para pemikir dekat Jokowi, langkah-langkah teknis menjadi negara maritim itu ada. Dan kalau belum ada, bagaimana kalau itu ditambahkan?
Ketiga, impian demokrasi nihil. Apakah cita-cita kita kelak menjadi negara kerajaan yang dipimpin oleh para kartel? Sebab, kata-kata demokrasi di sana tidak ada. Kata-kata paling dekat dengannya berupa partisipasi rakyat, musywarah, kerakyatan, itu pun tak ada. Apakah yang tujuh tadi hanya pemadatan?
Mudah-mudahan begitu! Sebab, itu menjadi keharusan karena kita harus menerima realitas dan kita bangga untuk itu di mana Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terhebat di dunia. AS sebagai negeri digdaya bahkan memuji-muji keberhasilan demokrasi kita. Tetapi, mengapa di impian besar hal itu justru tidak ada? Bagaimanapun itu, terlepas dari pemadatan atau (mudah-mudahan bukan) penghilangan, kita pantas bersyukur karena kita telah menjejakkan kaki seperti Tiongkok dan Singapura yang sebelumnya juga telah menggaungkan “kapsul waktu” sebelum akhirnya maju seperti saat ini! ***
RIDUAN SITUMORANG
(Konsultan Bahasa di Prosus Inten, Medan)
0 comments:
Post a Comment